Dua

1583 Kata
Zea memejamkan matanya. Dia berusaha menajamkan inderanya yang lain. Mempelajari keadaan di sekelilingnya dan merasakan emosi-emosi yang berkecamuk. Ada seseorang yang sedang frustasi. Langkahnya tak terarah. Degup jantungnya tak beraturan. Berulangkali dia menabrak pejalan kaki dan mengucapkan 'maaf'. Lalu dia menghilang di ujung blok, di depan toko alat musik yang memajang gitar Gibson buatan Amerika Serikat. Inderanya kembali menajam. Seorang pemuda sedang berusaha merayu seorang gadis. Kata-katanya terdengar meyakinkan. Tapi helaan napas yang berulang kali menandakan kebohongan yang ditutup-tutupi. Sayangnya beberapa gadis senang mendengar dusta. Mungkin mereka terlalu lelah hidup dalam kenyataan pahit sehingga menelan dusta seperti mengunyah oatmeal untuk sarapan pagi. Bunyi gemerisik kertas. Gadis tersebut pasti memberikan alamat rumah atau nomor ponselnya. Desah napas lega terdengar dari rongga udara si pemuda. Misinya berhasil. Mungkin nanti malam mereka akan berkencan dan menenggak bir di sebuah bar hingga cukup mabuk untuk saling melucuti pakaian di kediaman si gadis. Berani bertaruh, si gadis tinggal di flat sempit dengan seorang teman sekamar. Hal-hal semacam itu yang biasa terjadi di jantung kota seperti ini. Stuttgart. Perjalanan panjang telah membawanya ke kota yang berjarak lebih dari 500 km dari Berlin. Dibanding Stuttgart, sebenarnya Zea lebih menyukai Hamburg. Tapi dia tidak sedang liburan. Keberadaannya di Stuttgart adalah karena misi. Sama seperti perjalanannya yang lain. Zea menyebutnya misi pelenyapan. Karena setiap kedatangannya ke satu negara atau kota berarti melenyapkan satu atau lebih nyawa. Membiarkan seseorang tinggal nama dan pulang hanya berupa jasad tanpa nyawa. Zea bagai algojo kematian yang mendatangi korbannya satu persatu. Tak pernah ada yang bisa mendeskripsikan sosoknya secara tepat. Karena tak pernah ada orang yang dibiarkan hidup setelah dia membisikkan namanya. Zea. Zea. Zea. Dia datang dari Jakarta. Mengelilingi dunia untuk menemukan para korbannya. Mereka yang seharusnya hidup untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi mereka memilih berlari dan bersembunyi. Dan ketika Zea ditugaskan untuk menjemput mereka, mereka akan pulang dalam peti mati. Zea telah membuat seorang istri kehilangan suami. Anak kehilangan ayah. Orangtua kehilangan anak. Sebuah keluarga menjadi miskin papa saat peti mati datang di ruang tamu mereka. Sebuah keluarga menangis berbulan-bulan atas aib yang menimpa. Tak ada kematian yang wajar yang dikirim Zea. Semua mengerikan. Semua menyesakkan. Zea memberikan trauma berkepanjangan dalam benak keluarga korbannya. Dia sengaja. Sengaja memberi pelajaran agar tidak ada yang berani mengulangi perbuatan serupa. Sengaja mengirim pesan bagi mereka yang mendengar kabar tentang kematian mengerikan. Pesan agar tidak berani berbuat macam-macam dan menentang bosnya. Seseorang yang telah mempekerjakannya. Seseorang yang membayarnya. Mendidiknya sedari kecil. Seseorang yang telah menciptakan monster dalam diri Zea. Mengingatnya membuat Zea bergidik. Masa-masa suram itu. Hari-hari dingin. Pembunuhan nurani. Matinya rasa belas kasih. Tahun-tahun panjang yang telah mengubahnya menjadi Zea yang sekarang. Gadis kecil yang dulu mengulurkan tangan ingin ditimang, dibalas dengan hempasan dan teriak kesakitan. Rasa sedih dan sepi itu pun tergantikan dengan amarah yang meluap. Keinginan menyakiti. Seolah hanya dengan menyakiti, perasaan sepi itu bisa hilang. Seolah dengan menyakiti, Zea bisa membalas seluruh waktunya yang tanpa kasih sayang. Zea mengernyit. Kedua alisnya semakin mendekat seperti akan bergandengan. Konsentrasinya terpecah oleh kenangan. Dia menghela napas. Mengatur desahnya agar kembali seirama. Dia berusaha menajamkan kembali inderanya. Tapi gagal. Zea sudah tidak berminat mengamati keadaan di sekelilingnya. Zea membuka matanya. Telinganya menangkap keriuhan pagi yang semakin lama semakin ramai. Muesli-nya belum tersentuh. Zea hanya meneguk air putih dengan irisan-irisan lemon segar yang tenggelam di dasarnya. Perutnya tidak lapar. Memesan semangkuk muesli hanya upayanya agar bisa memesan tempat duduk di pinggiran kafe. Dia ingin memandangi aktivitas dari balik kaca yang sedikit gelap. Ke arah kios kecil di seberang jalan yang menjual keperluan sehari-hari. Sudah beberapa hari ini Zea mengamati kios kecil dengan pot panjang berisi tulip kakaktua di depannya. Seorang perempuan berambut merah dan berdada besar terlihat sedang menarik penutup kaca di kios itu. Dari tempatnya, Zea bisa tahu betapa hangatnya suasana di dalam kios. Dia juga bisa merasakan jika pemiliknya sangat ramah dan bersahabat. Beberapa kali si rambut merah menegur orang yang melewati kiosnya. Dengan senyuman lebar, dia juga menyapa pelayan di kios kanan-kirinya. Tapi bukan si rambut merah yang menarik perhatian Zea setiap hari. Tepat ketika si rambut merah berdiri di balik mesin hitung, seorang perempuan tak seberapa tinggi, bertubuh sintal dan berambut hitam sebahu berjalan menuju kios itu sambil mendorong kereta bayi. Si rambut merah bergegas menyambut kedatangannya dan menggendong balita yang sudah mengulurkan dua tangan ke arahnya. Si rambut merah mencium balita tersebut dan menggendongnya beberapa saat sambil bercakap-cakap dengan si rambut sebahu. Lalu setelah bujukan dan usaha yang sedikit alot untuk melepaskan balita itu, si rambut merah melambaikan tangan kepada si rambut sebahu dan kereta bayinya. Kembali ke aktivitasnya di dalam kios. Rutinitas yang sama setiap hari. Tiga hari sudah Zea hanya mengamati tanpa bertindak. Tidak seperti Zea yang biasanya. Kali ini nuraninya sedikit bergetar ketika mengingat apa yang harus dia lakukan dengan si rambut sebahu. Empat hari lalu, ketika dia menapakkan kaki di bandara Berlin Schönefeld, smartphone-nya bergetar. Sebuah surel diterimanya dari akun yang sangat dia kenal. Sambil berjalan menuju ruang kedatangan untuk mengambil bagasinya, Zea membuka surel tersebut untuk melihat siapa target dia selanjutnya. Kerongkongannya nyaris tak bisa mengalirkan udara. Paru-parunya seolah mengempis dengan cepat. Rasa dingin menjalar dari kuku-kuku jari tangannya. Zea berusaha tenang, kendati kakinya seperti kehilangan pijakan. Setelah mengatur napasnya beberapa saat, Zea mengirim surel balasan. Informasi diterima. Perempuan? Surelnya dibalas cepat. Ya. Hidup atau mati. Lebih suka hidup. Tidak seperti biasanya, pikir Zea. Kali ini bosnya memberi tugas untuk melenyapkan seorang perempuan dan dia lebih suka hidup? Zea memandangi foto perempuan itu lekat-lekat. Foto-foto candid yang diambil dari beberapa CCTV dan kamera bertele panjang. Walaupun tidak ada foto yang bisa menampilkan wajah perempuan itu secara penuh, tapi Zea bisa meraba seperti apa wajahnya. Perempuan itu bisa dibilang manis, berkulit sewarna buah zaitun. Zea bisa merasakan kelembutan di balik sorot matanya yang tajam. Ada sedikit kelelahan dan kegetiran yang terpancar dari mata yang memandang pada satu titik. Bibir tipisnya tanpa senyuman. Tapi Zea tahu, di waktu-waktu silam, bibir itu pernah tertawa. Sorot mata Zea meredup. Rasa kasih yang dimatikan mendadak bertunas kembali. Zea merasakan angin laut bertiup di dadanya. Selama perjalanan ke sebuah hotel di pusat kota Berlin, Zea membaca semua informasi tentang perempuan itu. Namanya Hastuti Wennemer. Dia masih menggunakan nama belakang suaminya kendati mereka telah resmi bercerai. Saat ini status pernikahannya tidak jelas. Apakah sudah menjadi Nyonya Wijatmoko atau belum? Mereka diduga meninggalkan Jakarta dua tahun silam. Entah bagaiman caranya mereka bisa keluar dari hutan kecil di belakang rumah singgah Margono. Entah bagaimana pula mereka bisa mendapat semua bantuan sehingga bisa melarikan diri ke luar negeri. Pertama kali mereka terlihat di Kanada, lalu Amerika Serikat. Dan saat ini Jerman. Sepertinya mereka berusaha mencari suaka politik di negara-negara tersebut. Sepertinya perburuan suaka itu harus dihentikan. Bukan saja karena Hastuti dan Wijatmoko mulai kehabisan dana, tapi juga karena Margono mengutus Zea untuk memburu mereka. Margono murka, ketika mengetahui Hastuti berhasil kabur dari tangannya. Tapi pikirannya teralihkan oleh beberapa bisnis yang lebih menyita perhatiannya. Dia membiarkan pelanduk kecil peliharaannya bersenang-senang beberapa saat di luar negeri. Setelah permasalahan mendesaknya diselesaikan, Margono mulai mengintai pergerakan Hastuti. Dia yakin Hastuti tidak akan membocorkan seluruh pergerakannya. Hastuti tidak mempunyai bukti apa pun untuk menjeratnya ke hadapan penembak jitu. Tapi Margono bukan tipe orang yang membiarkan seseorang yang sudah terperangkap lepas begitu saja. Jika dalam buku takdirnya seseorang harus mati, maka orang itu harus mati. sebaliknya, jika seseorang dia perbolehkan hidup, maka Margono akan memberi kesempatan padanya untuk menjadi berguna. Dan di sinilah Zea saat ini. Mencari kesempatan untuk mendekati Hastuti dan mencari cara untuk membuatnya berhenti bernapas. Tapi empat hari dia di Jerman berlalu begitu saja. Dia belum melakukan kontak fisik apapun dengan Hastuti. Dia hanya berani menatapnya dari kejauhan, seperti yang dilakukannya pagi ini. Zea mendesah. Tugas adalah tugas. Dia sudah mengubur nuraninya bertahun silam. Setelah meninggalkan beberapa euro, Zea melangkah keluar kafe dan berusaha mencari sosok Hastuti. Dia sangat hapal pergerakan perempuan itu, jam segini, menit sekian, detik berapa, dia ada di mana. ~o0o~ "Hai!" Zea mengulurkan tangannya. Perempuan di hadapannya mundur selangkah dan pandangannya sangat curiga. Sikapnya begitu waspada. "Saya Zea dari Indonesia. Saya baru di Stuttgart. Saya tidak sengaja mendengar perbincangan Anda di telepon dengan Bahasa Indonesia. Well, saya sedikit kesulitan mencari alamat ini." Zea mengulurkan selembar kertas. "Saya kuliah di Universitas Stuttgart dan sedang mencari kerja paruh waktu." Zea menjelaskan lebih lanjut ketika mata Hastuti masih terus waspada kepadanya. Senyumnya terkembang ramah. Hastuti mengamati sosok di hadapannya dengan seksama. Tinggi. Langsing. Berkulit sewarna dirinya. Berambut sehitam dirinya. Itu keyakinan Hastuti saat melihat pangkal rambut Zea yang berwarna hitam. Kontras sekali dengan rambutnya yang dicat warna tembaga. Pupil matanya berwarna cokelat terang. Tapi dia yakin itu lensa kontak untuk menyembunyikan warna aslinya. Dalam bayangan Hastuti, gadis ini sedang berusaha menyamarkan identitas aslinya agar lebih mudah membaur dengan lingkungannya yang baru. "Kamu berada jauh sekali dari alamat ini. Masih beberapa blok ke utara." Hastuti mengembalikan kertas itu pada Zea. "Kamu tidak berniat pergi dengan jalan kaki, kan? Itu bisa bikin kakimu pegal," tanya Hastuti ketika dilihatnya Zea hendak berjalan ke arah yang berlawanan. "Ikutlah denganku. Aku punya sepeda yang bisa kamu pinjam. Kamu tinggal di mana?" Zea menyebutkan sebuah alamat. Hastuti mengangguk tanda mengerti. "Itu tidak jauh dari sini. Pakai saja dulu sepedaku untuk pergi ke alamat tujuanmu." Hastuti mengajak Zea berjalan di sebelahnya. Menyusuri trotoar sambil mendorong kereta bayi. Jika dugaannya benar, Zea akan bertemu Wijat tak lama lagi. Entah mengapa, Margono hanya mengincar Hastuti dan membiarkan Wijat. Mungkin itu caranya untuk membalas dendam. Menghabisi Hastuti dan membiarkan Wijat merana tanpanya. Tapi dia kembali teringat surel yang dia terima. Lebih suka hidup.©
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN