Lucky: Jangan Tinggalin Gue
"Ky," Pita menarik ujung kaus gue.
"Hm?" Gue bergumam, mengusap sisa makanan di sudut bibir cewek itu.
Pita mendekat, memeluk gue dari samping. "Jangan tinggalin gue, ya," bisiknya, pelan.
Gue mengembuskan napas kasar. Antara merasa bersalah dan kesal sama diri sendiri. Kalau aja gue nggak memaksa Pita pergi menemui papanya, mungkin aja cewek itu masih baik-baik aja perasaannya.
Sebagai seorang suami, gue kurang memahami Pita.
Harusnya gue paham kenapa Pita selalu menolak setiap kali gue ajak pergi ke sana biarpun cuma menyapa dan duduk kurang dari sepuluh menit.
Kak Evan cerita soal Pita dan Papa mertua gue yang nggak pernah akur. Mereka selalu bersinggungan. Entah karena Papa mertua gue yang terlalu keras, atau mungkin juga karena Pita terlalu bandel di sekolah. Membolos, membuat huru-hara, bertengkar dengan teman-teman kelas, bahkan berani mengganggu guru di sekolah.
Gue memijat kening pelan, mendengar semua kerusuhan yang Pita lakukan sempat membuat gue merasa menyesal mau menikahi cewek berusia delapan belas tahun itu. Mengatur hidup gue sendiri aja
kadang suka susah, apa lagi mengatur hidup cewek remaja macam Pita.
Karena gue udah mengambil keputusan menikahi cewek itu di depan kedua keluarga, gue tetap pada pendirian gue. Masalah Pita dan segala macam kelakuan cewek itu bisa dipikirkan nanti.
Sebelum menikahi Pita, gue sama dia diberi waktu sekitar dua minggu untuk saling mengenal satu sama lain. Nggak ada yang istimewa. Gue jalan sama dia, nggak ke mana-mana selain pergi ke rumah orang tuanya atau dia main ke tempat kos gue. Pita begini, Pita begitu. Pita kayak gini Pita kayak gitu. Cewek
itu menceritakan semua tentang dirinya secara detail. Nggak ada yang ketinggalan satu pun. Jangan berpikiran Pita akan menceritakan sesuatu yang baik-baik mengenai dirinya. Karena nyatanya, yang diceritakan Pita adalah kenakalannya. Nggak tahu emang sengaja cerita begitu supaya gue mundur, atau mungkin karena dia tipe cewek yang suka terang-terangan mengatakan sesuatu.
Sebelum gue tanya kenapa dia cerita soal kejelekannya sendiri, cewek itu buru-buru menyahut, "Gue nggak mau aja ada yang ditutup-tutupin setelah kita menikah." Cewek itu menoleh dan mengembungkan pipinya. "Kalau lo tanya apa kelebihan gue, jawabannya nggak ada." Kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri.
Ah, gue baru sadar kenapa Pita menceritakan soal
keburukannya ketimbang kelebihannya. Karena ya, Pita nggak punya kelebihan apa-apa selain merengek, teriak-teriak, main games. Cuma itu yang gue tahu. Tapi, gue nggak mempermasalahkan itu. Pita masih
muda, gue pikir suatu hari dia akan berubah dengan sendirinya.
"Kyyyy!" Pita mengeratkan pelukannya di pinggang gue.
"Apa?" Kedua tangan gue menangkup pipinya.
Kepala Pita mendongak, bibirnya mencebik lucu mirip bebek.
"Jangan tinggalin gue, ya?" pintanya dengan wajah memelas. "Lo nggak akan nurutin apa yang dibilang Papa, kan?" tanyanya. Dahi gue berkerut bingung. "Gue takut lo berubah pikiran. Lo nyesel punya istri
kayak gue." Pita menurunkan kedua bahunya lesu, "Selain nggak berguna, gue juga anak hasil dari perselingkuhan."
Gue meremas bahu Pita pelan lalu menarik kursi di depan cewek itu. "Rugi gue ninggalin lo," kata gue, setengah cengengesan.
Pita mengerutkan dahi, memandangi gue dengan ekspresi datarnya. "Kenapa gitu?" tanyanya.
Gue memiringkan kepala, mendesis pelan seolah mencari jawaban yang tepat. "Di mana lagi gue bisa dapetin istri kayak lo." Pita siap-siap akan protes. Gue mengelus rambut panjangnya. "Masih remaja, cantik, hobi teriak-teriak, bisa mudah gue bodoh-bodohin."
Mata Pita membelalak mendengar kalimat terakhir gue
barusan. Cewek itu mengangkat sebelah tangannya ke udara seolah ingin memukul kepala gue. "Jadi, lo nikahin gue karena itu alasannya?"
Dalam hitungan ketiga, tawa gue menyembur, menarik Pita dan memeluknya gemas. Seriusan. Gue nggak bermaksud bilang kayak gitu. Yang gue maksud bisa dibodoh-bodohin, adalah setiap kali mengerjai Pita soal hantu, gue bisa sekalian modus. Pita paling takut
sama hantu, seringkali gue sengaja menakuti cewek itu supaya bisa sering-sering memeluk Pita tanpa harus ditanya kenapa peluk-peluk dia. Kalau gue ada alasan karena cewek itu takut, Pita nggak akan tanya lagi.
"Bercanda, Pit. Ya ampun." Gue terkejut, Pita tahu-tahu
menangis. Gue nggak tahu Pita bisa sesensitif ini cuma karena candaan barusan. Entah karena memang sedang kesal sejak kemarin tapi nggak bisa dilampiaskan, atau memang dia merasa tersinggung karena kalimat gue. Gue nggak bermasud membuat Pita menangis, sumpah.
"Sekarang gue cuma punya lo aja," gumam Pita di sela-sela isakannya. "Nggak apa-apa lo bodoh-bodohin gue, asal jangan ke mana-mana."
Rasa bersalah gue jadi lebih besar ke Pita. Nggak cukup bikindia dimaki-maki sama Papa mertua gue, sekarang menangis karena candaan gue yang mungkin aja menurut dia kelewatan. "Maaf," bisik gue di telinga Pita. "Gue cuma bercanda, nggak beneran bilang kayak
gitu."
"Iya juga nggak apa-apa," jawabnya, Pitamenyembunyikan wajahnya di d**a gue.
"Beneran cuma bercanda, Pit. Seriusan," kata gue menangkup pipinya, "Gue nikahin lo bukan buat dibodoh-bodohin. Tapi gue jaga, gue sayangi, gue lindungi." Pita memandangi gue dengan mata
berkaca-kaca. "Maaf, ya. Gue nggak bercanda kayak gitu lagi. Ini pertama dan terakhir kalinya gue bikin lo nangis."
Bukannya berhenti, cewek itu malah menangis lebih keras sampai bikin Aree keluar kamar sembari memeluk guling. sebelum Aree mengeluarkan kata-kata nyinyir, gue memberi isyarat agar cowok itu diam dan kembali ke kamarnya.
"Bucin. Dasar," ejek Aree, lantas menutup pintu kamar.
"Udah dong nangisnya." Kedua tangan gue melingkari kepala Pita, menciumi puncak kepala cewek itu berulang-ulang. "Duh." Gue pura-pura meringis.
"Kenapa?" tanya Pita sembari mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangannya.
"Rambut lo bau. Belum keramas berapa minggu, sih?" Pita memukul d**a gue pelan. Kemudian, berhambur memeluk gue lagi, lebih erat.