Bab 3

1796 Kata
Sekarang, sebuah ember dengan berisikan air sudah berada di depan Clara, begitu pula dengan lap pel yang berada di tangannya. Gadis itu memandangi kedua benda itu tanpa henti secara bergantian. Ternyata, oh ternyata. Di kantor ini tengah menyediakan lowongan kerja, yaitu dibutuhkannya seorang Cleaning Service. Jauh dengan apa yang diperkirakan oleh gadis berusia 19 tahun itu, yang ada dipikirannya adalah, dia akan menjadi seorang sekretaris saat melamar pekerjaan di tempat ini. Sekretris yang akan menemani sang direktur kemana-mana. Yaa, Clara maklumi. Dia hanya gadis yang berpendidikan rendah. Mana mungkin dia menjadi sekretaris atau pejabat tinggi. Itu hanya bisa dialaminya lewat mimpi. Dia tipe gadis yang selalu berkhayal, jadi hal seperti ini tak akan membuatnya kecewa. Clara mulai mengepel lantai dengan semangat, mendapat pekerjaan ini pun dia sudah bersyukur. Akhirnya ia mendapatkan pekerjaan setelah berbulan-bulan menganggur. Berhari-hari hidup serba hemat di kota terbesar. Mulai sekarang, ia akan mendapatkan uang pemasukan, jadi tak perlu berlebihan dalam berhemat. Sesuatu terlintas dalam benaknya, Clara menghentikan aktifitasnya saat itu juga. Dia teringat akan Ayahnya di Desa, untuk itu, gadis dengan pakaian biru muda dan celana jeans hitam itu segera mengambil ponselnya. Segera menyambungkan telfon pada nomor sang Ayah, tak sabar memamerkan pekerjaan yang didapatnya. Yaa, walaupun pasti akan terdengar memalukan. "Ayaaaaah," sapanya riang. Terlihat rentetan giginya yang rapi dari tawanya. Saat itu, Arsya dan sekretaris perempuannya sedang berjalan sambil mengobrol kecil. Di tangan Arsya, ada beberapa berkas yang harus ditandatanganinya. "Iiih Ayah harusnya bersyukur! Karena anak Ayah yang paliiing cantik ini akhirnya dapet kerjaan. Clara dapet kerjaan Ayah!" Arsya menghentikan langkahnya saat melihat seorang Cleaning Service yang asing. "Kamu duluan ke ruangan saya, saya mau ke sana dulu," kata Arsya pada sekretarisnya sambil terus memandangi gadis yang tengah asyik bertelfonan itu. "Baik, Pak." Arsya segera membawa langkahnya mendekati Clara yang membiarkan lap pelnya tersimpan di dalam ember. "Maaf," ucap Arsya setibanya di sana. Clara yang mendengar itu langsung berbalik ke samping, saat itu juga sambungan telfonnya terputus tanpa aba-aba. "Hallo hallo Ayah? Hallo?" Clara seperti tidak menghiraukan pria berjas hitam di sebelahnya, dia sibuk memainkan gadgetnya, bermaksud untuk mengecek saldo pulsa yang tersisa. Clara menepuk jidatnya dan menarik napas panjang. Pulsanya sudah habis tanpa menyisakan satu angka pun. Yang tertera hanyalah angka nol. "Kamu karyawan baru?" tanya Arsya langsung. "Pak, saya boleh pinjem hp bapak gak?" tanya balik Clara dengan wajah memelas. Arsya tergelak, sesuatu sudah menyentil alat pendengarannya. Benar-benar, jadi sedari tadi dia berdiam diri di sini dan bertanyapun gadis itu sama sekali tidak menanggapinya. Arsya segera memanggil seorang yang berjalan tak jauh dari tempatnya. Ia melambaikan tangan. Tak lama, seorang pria dengan umur di atasnya tiba. Dia adalah kepala karyawan di kantor milik Arsya "Ada apa, Pak?" "Tolong, kamu jangan asal-asalan masukin pegawai baru di sini. Saya gak suka, kalau mereka lagi kerja, mereka malah telfonan sama pacarnya." "Apa kata bapak? Saya asal-asalan?" selidik Clara yang tidak terima dengan ucapan pria yang entah siapa itu. "Pacar?" "Maaf, Pak," kepala karyawan itu membungkukan sedikit badannya. "Kamu," Arysa menunjuk Clara dengan jari kelingkingnya. "Untuk kali ini, saya masih maafin kamu, karena kamu masih baru di sini. Tapi kalau kamu kaya gini terus, saya gak akan segan-segan buat pecat kamu secara langsung. Apalagi kalau saya denger kamu pinjem barang saya." "Tapi itu penting pak, saya harus kabarin Ayah saya. Itu bukan pacar, saya tadi telfonan sama Ayah saya, A Y A H." "Terus? Apa saya harus peduli itu?" Clara mengerucutkan bibirnya. Pria di depannya ini benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia orang kaya jadi bisa seenaknya menuduhnya. "Kamu urus dia," perintah Arsya pada kepala karyawan. Clara membuka setengah mulutnya sebal. Arsya melangkahkan kakinya meninggalkan keduanya dengan membawa kekesalannya. Semenjak kejadian pahit yang menimpanya, semuanya sudah tahu bahwa Arsya sekarang lebih sering bersikap tegas dan kadang selalu mempermasalahkan hal sepele. Semuanya memaklumi itu, karena mereka cukup mengerti akan keadaan bos mereka. "Untung pak Arsya gak marahin saya abis-abisan. Kamu denger dia kan? Kesempatan kamu udah abis. Jadi kalau kamu keliatan kerja yang gak bener lagi, maaf, saya harus pecat kamu. Ngerti?" "Padahal kan saya cuma telfonan. Kenapa dia mesti marah sih? Emang dia siapa?!" seloroh Clara tak terima. "Dia itu direktur utama di sini. Jadi kamu jangan coba-coba. Kamu tau direktur utama? Dia adalah orang yang jabatannya paling tinggi dalam suatu perusahaan. Apalagi sekarang, saya tau kamu belum tau apa-apa. Tapi, saya minta kalau kamu pengen tetep kerja di tempat ini, kamu harus patuh dan jangah bersikap macem-macem walaupun itu cuma hal yang kecil." Clara mengembuskan napas resah, "Kenapa harus orang galak yang pegang kekuasaan?" Dia hanya mengangkat kedua bahunya. Beberapa saat kemudian, ia meleos pergi meninggalkan Clara dengan pertanyaannya yang sama sekali tidak digubris. Gadis itu mendelikan kedua matanya, baru saja dia merasa senang, sekarang ada saja yang terjadi supaya membuatnya kembali kesal. Tangannya kembali memegang gagang lap pel dengan mood yang menurun. *** "Ini bangku aku kenapa kamu tempatin?!" tanya Gio menahan amarahnya. Siapa yang tidak kesal jika seseorang mengambil alih tempat duduknya yang berada di bagian paling depan, apalagi anak seperti Gio. Dia sangat mudah terpancing emosi. "Biarin! Aku mau duduk di sini jadi kamu gak ada hak buat larang-larang. Anggap aja ini balasan dari aku karena kamu kemarin udah pukul hidung aku sampai berdarah," balas Bima. Dia adalah anak laki-laki yang tempo hari bertengkar dengan Gio. "Kenapa kamu masih ungkit-ungkit itu? Bukannya masalahnya udah selesai?!" balas Gio lagi dengan sengit. "Sekarang pindah dari sini! Ini kursi aku!" Bima beridiri dan melotot, "Aku gak mau!" tolaknya tak kalah sengit. Akibat teriakan kedua anak itu, murid yang lain ikut tertarik dan menyaksikan kedua temannya yang lagi-lagi bertengkar. Gio dan Bima saling memandang dengan geram. Kedua mata mereka sama-sama memancarkan amarah yang luar biasa. Keduanya sama saja, anak yang gampang marah dan tak mau kalah. Mereka sama-sama mengatup rahangnya keras-keras. Tak ada satu orang murid pun yang berani melerainya. "Ini kuris milik sekolah, jadi siapa aja bebas buat duduk di sini. Apa ini milik kamu?" Bima membuka mulut. Ia mengalihkan pandangannya pada teman-teman lainnya. "Temen-temen, liat Gio. Dia udah kaya orang yang paling berkuasa di sini. Apa kalian masih mau temenan sama dia? Anak yang sombong dan gampang marah. Aku benci sama dia, kemarin aku cuma bilang kalau dia gak punya Ibu, dia langsung mukul aku sampai berdarah. Kalian liat sendiri kan kemarin?" Mereka yang mendengar mulai setuju dengan apa yang dikatakan Bima. Gio mematung di tempatnya, dia tak berani bersuara. Darah di tubuhnya sudah bergejolak menahan amarah, lagi-lagi dia mendengar bahwa dia tidak mempunyai seorang Ibu. Kedua tangannya mengepal kencang. "Hahahaha. Gara-gara gak punya Ibu, sih. Jadi gitu," ledek Bima tertawa. "Iya Gio. Kamu jangan gitu dong, bangku di sini kan milik kita semua. Jadi biarin Bima rasain gimana rasanya duduk di depan," ucap salah satu murid perempuan. Gio tidak bisa menahan lagi, dia langsung mendorong tubuh Bima dengan begitu keras. Semuanya terkejut dan menjerit. Sepertinya pertengkaran kedua akan terjadi lagi di antara mereka. Gio tidak mendengar ucapan Ayahnya kemarin dan sama sekali tidak mempedulikannya. Sekarang amarahnya sudah merangkak cepat dan tidak dapat dikendalikan lagi. *** Ayumi sedang berjalan-jalan di area kampusnya, dia mencari seorang pria yang ingin sekali dijumpainya. Langkahnya terhenti kala melihat pria yang dicarinya tengah duduk di kursi taman sambil bergurau mesra dengan seorang gadis. Ayumi membeku, menelan air liurnya susah payah, lagi-lagi ia harus melihat pemandangan buruk seperti ini. Gadis yang telah memanas itu berbalik ke belakang, dia menyeka air matanya yang hampir saja keluar. Kekasihnya selalu seperti itu, tak pernah menanggapnya ada. Padahal semuanya telah dilakukannya hanya untuk pria itu, tapi mengapa dia selalu melakukan hal yang sama, selalu tak menghargai pengorbanananya. Baru saja kemarin ia memberikan semua uang sakunya pada Denis, membantunya untuk membayar kost-kostan. Tapi... lagi-lagi Denis tidak tahu apa itu kata 'terima kasih'. Jika dalam kamus seorang Ibu, sama saja dengan perumpamaan 'Air s**u dibalas dengan air tuba'. "Aaah gue benci sama lo. Pokoknya gue gak akan bantu lo lagi," gumam Ayumi yang merasa marah tapi ia sama sekali tidak bisa marah. Rasa cintanya pada Denis terlalu dalam hingga ia harus terjebak di dalamnya. Tak peduli seberapa kali pun pria itu menyakitinya, Ayumi masih saja ingin mencintainya. Setiap kali Denis meminta sesuatu, tak pernah sekalipun ada tolakan dari bibir Ayumi. Ayumi sudah kebal dengan ini semua, ia pun melangkahkan kakinya meninggalkan tempat sebelumnya, menganggap bahwa ia tak pernah melihat apa-apa. "Apa kamu tau, apa cita-cita aku?" Denis memainkan rambut gadis di sebelahnya, sinar matahari menyilaukan kedua indera pengelihatannya. "Apa?" "Jadi orang kaya," bisik Denis dengan suara tajam tapi tipisnya. "Caranya gimana? Kuliah aja kamu kayak yang males, gimana mau jadi orang kaya." "Pakai jalan pintas, lah!" Perempuan itu mengerutkan kening dan bergumam dengan nada penasarannya. Denis mengalihkan pandangannya ke depan, tak melirik lagi pacar yang entah berada di urutan ke berapa. Sekarang pikirannya mulai terfokus pada satu perempuan, kekasihnya yang sangat kaya raya. Siapa lagi jika bukan Ayumi Denopati? Bukankah dia bagian dari keluarga yang mempunyai usaha besar dan terkenal? *** Arsya menutup sambungan telfonnya dan menyimpan benda itu di atas meja dengan penuh penekanan. Mengapa hal seperti ini selalu berkelanjutan tanpa henti? Padahal baru kemarin dia menasehati putranya, tapi kenapa dia menutup telinganya dan tak mau mendengar? Gio memang anak yang sangat nakal! Perkataan itulah yang sekarang memenuhi penatnya. Arsya segera beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu. Saat membuka pintu, 'Pyaaarrr' secangkir kopi jatuh membasahi baju kameja warna ungu mudanya. Seorang gadis yang membawa minuman itu tercengang dengan kedua mata yang membulat. Arsya tertegun saat merasakan panas dan melihat bajunya yang sudah kotor. Clara menutup mulut dengan tangannya, dia mulai kalang kabut dan merasa sangat bersalah, dicampur dengan rasa takutnya. Dia segera masuk ke dalam dan menyimpan nampan di atas meja kerja Arsya, dia juga mengambil beberapa helai tisu di sana dengan gesit dan lantas berlari mendekati Arsya lagi. Langsung mengelap kotoran yang membasahi kameja atasannya. "Aduuuh maaf, Pak, saya bener-bener gak sengajaa. Maaf," sesal Clara sembari sibuk mengelapinya dengan tisu walau tak akan bersih seperti semula. "Tolong jangan marah pak, saya minta maaf." "Udah udah," Arsya menyingkirkan tangan Clara dan membuka dasinya dengan cekatan. Clara hanya terdiam, ia tahu pasti sekarang Arsya sudah sangat kesal padanya. "Maaf paak," Clara menundukkan kepala. Arsya tidak peduli, dia pergi tanpa berucap dan meninggalkan dasinya di atas lantai. Sekarang bukan waktunya untuk meladeni Cleaning Service menyebalkan itu. Karyawannya hanya perlu intropeksi diri akan kesalahan-kesalahannya. Clara yang masih menundukkan kepala melihat benda itu dengan cairan hitam yang mengotorinya. Saat ini dia benar-benar sangat bersalah, mengapa dirinya bisa seceroboh ini? Gadis itu segera memungut dasi bercorak garis-garis dengan warna hitam putih. Clara sudah tak kesal dan benci lagi terhadap direktur utama yang tadi pagi sempat memarahinya. Yang ada, sekarang dialah yang merasa kasihan padanya setelah mendengar cerita dari karyawan-karyawan lain. Clara memaklumi bagaimana rasanya ditinggalkan orang tercinta. Dan untung saja, tadi atasannya itu tidak memarahinya. Clara memandangi benda berbahan kain di tangannya, seperti akan melakukan sesuatu padanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN