1. Memalukan

1316 Kata
 Tidak semua orang di kampus Naya mengenal Dean. Dean hanyalah mahasiswa manajemen kelewat rajin yang hobinya membaca buku. Dean tidak cupu, hanya memang hobinya saja membaca buku. Selain membaca buku, lelaki satu itu juga dikenal mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan musik. Naya pernah dengar, katanya Dean bisa memainkan segala macam alat musik setelah mempelajari selama dua hari saja. Di kehidupan sosial, Dean termasuk ambivert. Dia terlihat dingin dan cuek saat pertama kali bertemu. Namun jika sudah nyemplung ke circle-nya, jangan heran kalau bisa sering melihat senyum Dean. Julukan si es batu disematkan padanya oleh orang-orang yang memang tidak begitu kenal dengan Dean. Sikap dingin dan irit omong Dean bertolak belakang dengan wajahnya. Bukannya berwajah resting b***h face, Dean malah memiliki wajah baby face. Pipinya sedikit tembam dengan mata bulat, tapi tetap tampan. Paham, kan? Jika di kampus Naya tak sengaja berpapasan dengan Dean, dia akan mengangguk sambil tersenyum. Dean pun hanya akan membalas dengan anggukan kecil tanda kesopanan. Lisya pernah menyuruh Naya untuk mengajak Dean ngobrol, sekadar memberi tahu jika dia kagum atas nyanyian dan permainan gitarnya. Tentu saja Naya menolak, meski baby face begitu Naya tetap segan pada Dean. "Bodoh! Bodoh! Muka lo mau ditaruh dimana sekarang, Nay?!" Naya mengetuk kepalanya sendiri. Masih terbayang kejadian tadi. Dia tanpa sadar memberi Dean flying kiss yang seharusnya untuk Juna. Duh, menyapa langsung saja dia segan, ini malah memberi flying kiss. Tadi setelah sadar atas perbuatannya, Naya segera berlari masuk ke kamar. Ia tak peduli lagi pada Dean yang menatapnya penuh tanya. Sampai sekarang, Naya belum keluar dari kamar. Inginnya sih dia keluar besok saja sekalian ke kampus. Sayangnya tubuh Naya tidak bisa diajak berkompromi. Kulit Naya yang tergolong sensitif mulai gatal karena biang keringat. Kalau tidak segera mandi, dapat dia pastikan kulitnya akan memerah dan gatal parah satu jam ke depan. Naya bimbang. Dia ingin segera mandi agar badannya tak keburu gatal. Akan tetapi dia takut keluar dan berpapasan dengan Dean. Duh! Pasti wajahnya akan memerah karena malu. Akhirnya dengan penuh pertimbangan, Naya memutuskan untuk mandi. Dia tidak mungkin tidur dengan tubuh gatal. Baju ganti dan peralatan didekapnya, sementara handuk tersampir di bahu. Membuka pintu sedikit, Naya memastikan jika tidak ada Dean di luar kamar. Aman, batin Naya. Ia lalu keluar kamar perlahan. "Eh, anak baru, ya?" Seseorang yang sedang membawa secangkir minuman menyapa Naya. Tebak Naya, sih, dia baru dari dapur. "Iya, namaku Naya." Naya mengulurkan tangan. Perempuan yang rambutnya digelung itu menerima tangan Naya. "Sania. Aku anak semester tujuh, kamu semester berapa?" "Baru semester tiga, Kak." "Oh, kelihatan, sih." Sania sedikit terkikik. "Kelihatan apanya, Kak?" "Mukamu belum sekusut mukaku. Maklum, masih semester awal." Naya hanya meringis. Jika saja Sania tahu apa yang dia rasakan, pasti Sania ikutan miris. Materi perkuliahannya susah, banyak buku tebal yang harus dia hafalkan. Naya terlihat segar dan ceria memang begitu bawaannya, bukan karena dia tidak punya beban kuliah. "Kak Sania prodi apa?" "Aku pembangunan wilayah. Kalau kamu?" "Saya kedokteran." Sania menatap Naya dengan tatapan kagum. "Gila, anak kedokteran ternyata. Pinter, dong?" "Nggak juga, Kak. Nyatanya saya kalau ujian blok juga kelimpungan." Sania tertawa. Dia punya beberapa teman anak kedokteran, jadi sudah sering mendengar curhatan tentang pusingnya mereka jika ada ujian blok. "Eh Kak saya mau mandi dulu." Naya yang melihat Dean keluar dari kamarnya langsung tancap gas. Dia langsung mengunci diri di kamar mandi. Pokoknya dia tidak mau malu karena melihat wajah Dean. Naya baru menggantung handuknya saat pintu kamar mandi diketuk. "Sebentar, lagi mandi," ujar Naya. Ia kira yang mengetuk adalah salah satu penghuni kost yang ingin buang air. Eh, tapi kamar mandi di sini ada tiga, kenapa tidak memakai yang lain saja? "Keluar." Sebuah suara berat disertai ketukan membuat Naya menahan napas. Itu suara Dean! Jangan-jangan lelaki itu ingin membahas masalah tadi siang. Mendengar ketukan lagi, Naya akhirnya membuka pintu. "Kenapa, ya?" tanya Naya takut. Bukan apa-apa, kini Dean tengah menatapnya dengan tatapan tajam. "BH kamu jatuh," ujar Dean tanpa basa-basi. Naya melebarkan mata ketika bra warna merahnya diangkat dengan tidak terhormat. Tangan Naya langsung meraih bra itu, lalu dia menutup pintu kamar mandi. Astaga, sekarang Naya malu tingkat kuadrat! *** "Hahaha! Lagian kamu b**o banget! Bisa-bisanya BH pakai acara jatuh." Lisya tampak puas menertawakan Naya. "Ya Allah Sya, nggak mungkin kan aku sengaja jatuhin braku? Mana mukanya tuh galak-galak lempeng. Aku kan jadi makin malu." Naya menenggelamkan kepalanya ke meja. "Terus? Kamu mau pindah kost-kostan?" "Ya kali, Sya. Baru juga pindah kemarin. Lagian nggak enak sama Juna yang udah bantu." Lisya manggut-manggut. "Berarti kamu harus belajar nebelin muka. Sesibuk-sibuknya kalian, pasti bakal ketemu lagi, kan?" Naya cemberut dan merasa lemas karena ucapan Lisya benar. Mau menghindar bagaimana pun, dia akan bertemu dengan Dean lagi. "Bagi, dong!" Farah yang baru datang langsung menyambar tempe mendoan milik Naya. "a*u! Panas!" "Heh mulutnya!" Naya menepuk paha Farah. Naya memang berkuliah di lingkungan yang kebanyakan berbicara Bahasa Jawa. Namun di antara mereka bertiga, Farahlah yang paling terpengaruh bahasa per-misuh-an. Alasannya tentu saja karena pacar kebanggaan Farah itu jamet. "Ya kamu nggak bilang kalau mendoannya panas." "Kamu yang main ngambil." "Udah izin ya." "Ya izinnya pas udah diangkat kan tempenya?" "Kenapa malah bahas tempe mendoan? Rah, Naya punya berita hangat, loh." Farah langsung menatap Naya penuh antusias. Dia ini selain pacar jamet juga ratu gosip. Meski begitu, otak Farah termasuk paling encer di antara mahasiswa kedokteran lain. Mungkin benar, orang jenius itu beda tipis dengan orang aneh. Lalu keluarlah cerita itu dari mulut Naya. Dia memang telah bercerita tentang kekagumannya pada Dean, jadi Naya tak perlu bercerita dari awal sekali. Berbeda dari Lisya yang menertawakannya, Farah hanya ber-oh. "Kok cuma oh doang?" protes Lisya saat melihat respons pelit Farah. "Ya cuma BH jatuh doang." "Ck, emangnya kamu nggak malu kalau BHmu ditenteng-tenteng sama Rio?" "Ya nggaklah! Kalau mas pacar nenteng BHku, aku bukannya malu tapi mau!" "Dasar omes!" Naya sukses melempar sebiji cabai ke kening Farah. "Lagian ya Nay, dia tuh baik tau. Coba kalau dia nggak inisiatif ngembaliin BH kamu. Terus dia sengaja nunggu di luar kamar mandi biar bisa liat kamu keluar nggak pakai BH. Kamu malunya bisa empat belas turunan kali." Naya tidak bisa membantah, karena yang dikatakan Farah benar. Sikap Dean yang mengembalikan branya itu normal. Pertanyaan "Ngapain kamu?" dari Dean waktu dia memberi flying kiss juga normal-normal saja. Nayanya saja yang kelewat malu dan overthinking. "Tapi ada untungnya kejadian kemarin." Kini Lisya yang berbicara. "Apa untungnya? Aku ketiban malu tujuh turunan?" "Nggak gitu. Selama ini kan kamu cuma jadi pengagum rahasia aja. Siapa tau karena kejadian itu Kak Dean jadi ngenalin kamu. Habis gitu kamu gampang kalau mau bilang ngefans sama dia." "Idih! Lagian gue kagum sama musikalitasnya, bukan kagum dalam artian suka." "Ya kagum sama musikalitasnya emang nggak boleh diungkap?" Naya menggeleng. Dia malah berharap Dean lupa padanya. "Eh tapi Dean udah punya cewek." "Tau dari mana, Rah?" "Farha." "Anak sini?" "Bukan. Pacar dari SMA. Anak kampus deket sini." "Bentar, kok kamu tau banyak?" Naya menatap Farah curiga. "Kamu kan temanku. Jadi pas pertama kali kamu cerita soal Kak Dean, aku langsung cari informasi." Naya berdecak. Padahal sumpah dia hanya kagum pada suara dan cara Dean bermain gitar. *** Dean baru ingin mengeluarkan ponsel jika ia tak segera melihat Maura yang melambai ke arahnya. Dean balas melambai tak kalah tinggi. "Udah lama nunggu?" tanya Maura. "Nggak, kok. Mau langsung makan?" "Boleh." Mereka berdua berjalan beriringan masuk ke salah satu restoran cepat saji. Bukannya Dean pelit, namun tanggal-tanggal begini dia harus hemat. "Jadi kost-kostan kita nambah orang?" "Jadi." "Gimana?" "Gimana apanya?" Dean tampak sibuk sendiri memakan burgernya. "Ya orangnya dong, Sayang. Aku kan belum sempat pulang. Nanti biar kalau ketemu aku bisa ngobrol gitu." Tangan Maura mengambil tisu, lalu terulur untuk mengelap sudut bibir Dean. "Rame. Tadi malam aku bikin kopi. Dia kayaknya lagi ngobrol heboh di telepon." "Cantik?" "Namanya juga cewek." "Sama aku cantikan siapa?" "Nggak tau. Model cantiknya beda." Maura mengerucutkan bibir mendengar respon Dean. Bilang "Cantik kamu, kok." apa salahnya sih? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN