Kepindahan Ardan tentunya mendapatkan penolakan dari keluarga besarnya, bahkan mereka semua tetap menyalahkan sang putri atas keputusan ini.
"Gila yah Lo, di sini karir Lo udah bagus, kenapa harus pindah demi anak si Sialan itu? Kasih aja dia ke ibunya, atau gak kalau emang ibu nya gak mau bawa ke panti asuhan yang Lo kelolah, toh sama aja tetep lo nya yang biaya semua." Pekik sepupunya yang kebetulan semua sedang berkumpul di rumah orang tua Ardan.
Ardan mengepalkan kedua tangannya, duda yang sedang duduk di singel sofa itu masih memilih diam saja. Ia malah harus ribut ribut apa lagi menggunakan otot untuk berbicara dengan mereka.
"Keputusan aku udah bulat, aku bakal pindah ikut Arsyad ke Medan. Mulai hidup baru di sana, gimana pun anak aku butuh ketenangan dan jauh dari manusia manusia sampah."
"APA MAKSUD KAMU? KAMU NGATAIN PAPA SAMA MAMA SAMPAH?" Teriak mama nya yang begitu keras, seolah tidak terima dengan ucapan Ardan yang menurutnya sangat lancang.
Ardan sendiri terkekeh geli mendengarnya, ia tidak ada menyebutkan nama atau menuduh salah satu dari mereka, tapi lihat lah responnya? Hanya diam saja.
"ARDAN, JAWAB MAMA!"
"Apa yang harus aku jawab, Ma? Mama sendiri yang menyimpulkan seperti itu kan?"
Ruangan seketika hening, hari ini memang sengaja ia menyambangi rumah kedua orang tuanya untuk menyampaikan niatan ia pindah. Tapi seperti dugaannya dari awal respon keluarganya adalah menolak dengan mengkambing hitamkan sang putri.
"Ardan dan Adiba butuh suasana baru. Kepergian Andini mungkin bisa dikatakan catatan kelam dalam hidup keluarga kita, terlebih Ardan dan Adiba, Adiba tidak ada salah apa apa tapi kalian hakimi, jiwa kecilnya terluka, mental nya telah kalian rusak, bahkan sekarang putri aku ketakutan setiap aku menyebut kalian." Jelas Ardan yang berharap minsed keluarganya bisa berubah, namun harapan tinggal harapan. Yang ada bukannya merubah pandangan keluarganya semakin murka dan mencaci maki bocah berusia tiga tahun yang tidak tahu apa apa itu.
"Emang pantes sih dia kayak gitu, karma bunda nya kali jatuh ke dia," sahut Ariska kakak dari Ardan sendiri.
Dan sahutan Ariska ini mendapatkan tanggapan yang beragam, kebanyakan mendukung ucapan wanita yang sampai detik ini belum dikaruniai seorang anak bahkan setelah lima enam tahun pernikahan nya.
Ardan tertawa sinis menatap wanita di hadapannya. "Pantes sih sampe sekarang gak dikasih keturunan. Belum pantes," ujar nya pedas. Tanpa mempedulikan lagi hati kakak nya yang baru saja ia serang balik.
Tampak semua orang menatapnya kaget, bahkan wanita yang ia tanggapi tadi seketika matanya berkaca-kaca dengan tangah yang terkepal kuat.
"Kenapa? Salah yang gue omongin?"
"ARDAN! KETERLALUAN KAMU, KAMU SADAR GAK APA YANG BARU KAMU UCAPKAN ITU?" Teriak ayah nya tepat di depan wajah Ardan. Namun duda anak satu itu masih terlihat tenang, menatap kakak nya tajam seolah ucapan ayah nya ia anggap angin lalu.
Berjalan secara perlahan menuju Ariska dan begitu sampai di hadapan wanita yang berstatus kakaknya itu, Ardan menilai penampilan Ariska dengan mengejek.
"Lo cantik, Lo sempurna kalau soal fisik. Tapi Lo cacat sebagai seorang wanita karena gak bisa hamil. Tuhan pun malu buat ngasih Lo rahim sampai rahim itu dicabut. Dan sekarang? Suami Lo nikah lagi, bahkan Lo harus rela berbagi suami. Gimana?" Tanya nya pelan namun menusuk.
Ariska menangis di tempat. Ia tidak menyangka adiknya yang terlihat tenang ternyata bermulut pedas seperti ini. Bahkan sangking pedasnya ia merasa terbakar luar dan dalam.
"Lancang banget Lo ngomong gitu ke bini gue!" Teriak seorang laki laki yang memakai kemeja abu abu berada di depan pintu, sepertinya baru saja tiba.
"Wow ... Pahlawan datang. Eh, pahlawan kan nyelamatin yah, gimana kalau pahlawan nya adalah penjahat yang berkamuflase?" Sinis nya pelan. "Kalau perihal lancang, bahkan elo lebih lancang dari gue, b******n! Elu dengan gak ada otak nya duain kakak gue. Lo yang buat rahim dia di angkat, b*****t!"
Ardan menatap lelaki itu dengan tajam, semua emosi yang ia pendam beberapa tahun yang lalu akhirnya keluar juga. Bagaimana pun Ariska dia tetaplah kakak nya, saudaranya. Tidak mungkin ia tetap memilih diam di saat kakak nya merasa tersiksa dengan pernikahan yang dijalani.
"Jangan beranggapan Lo semua manusia suci! Kalau dibandingin anak gue, kalian itu cuma seonggok bangkai yang dikasih nyawa sama tuhan, dan buat Lo Ariska. Gue emang benci laki Lo, tapi gue lebih benci Lo! Setelah ini gue harap gak ada satu pun di antara kalian yang cari gue lagi!"
Setelah mengatakan itu, Ardan pergi dari rumah yang telah menjadi tempat berlindung nya selama puluhan tahun. Membawa serta harapan baru menuju tempat yang ia harap bisa menyembuhkan hati anaknya.
Mengusap pelan matanya yang berair, ia berusaha terlihat baik baik saja begitu memasuki rumah Arsyad yang kebetulan Adiba ia titipkan di sana.
"Ayah..." Teriakan lemah itu menyambut kedatangan Ardan, meski hatinya teriris melihat kondisi putrinya, namun ia tetap berusaha tegar. Sudah dua hari anaknya ini pulang, namun belum ada perubahan yang signifikan.
"Ayah dari mana?" Tanya suara mungil itu.
"Dari sekolah, Adiba mau gak kalau ayah ajak jalan jalan ke rumah om Arsyad?"
"Ini kan rumah om Alsyad ayah." Sahut nya tidak mengerti, Arsyad hanya melihat interaksi anak dan ayah itu dengan sendu, gadis sekecil ini malah harus merasakan hal yang bahkan jika dirinya saja belum tentu kuat.
"Bukan rumah yang ini, rumah satu lagi jauh."
"Ayah ikut?" Ardan mengangguk. "Ya udah deh, Adiba juga ikut. Tapi Nda ikut?"
Ardan terdiam, begitu juga dengan Arsyad yang menatap keduanya sedari tadi. Menyadari jika Ardan sudah tidak bisa lagi menjelaskan apa apa, Arsyad akhirnya mengambil alih keadaan.
"Bunda ikut, tapi nyusul. Kita pergi duluan, gimana?" Tanya pemuda itu menatap gadis kecil yang tampak tengah berfikir. Ketika kepala dengan rambut dikucir kuda itu mengangguk. Barulah keduanya tersenyum senang.
Arsyad menepuk pelan pundak Ardan dan sedikit meremas nya, menguatkan teman sedari kecil nya itu agar tetap tegar!
"Gue tunggu di luar yah," ujar nya yang diangguki oleh Ardan. Kepergian Arsyad membuat dua orang yang sedang duduk berhadapan saling diam. Hingga pertanyaan dari Adiba membuat Ardan menatap anak nya dengan sendu.
"Bunda gak bakal balik lagi kan, Yah? Adiba tahu kok kalau bunda gak bakal balik lagi, Adiba juga tahu bunda udah gak sama ayah lagi. Tapi Adiba bakal telus di samping ayah, ayah jangan sedih yah."
Menetes sudah Air mata yang beberapa hari ini selalu Ardan tahan ketika di hadapan putrinya. Entah salah apa gadis yang paling ia cintai ini sampai harus merasakan hal yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi, bagaimana jika anaknya tidak bisa sembuh? Bagaimana jika ia tidak bisa menjadi sosok ayah dan ibu sekaligus? Bagaimana nanti jika anaknya kekurangan kasih sayang? Dan semua pikiran pikiran itu membuat Ardan hanya bisa. menangis pasrah, tidak tahu harus melakukan apa lagi, bahkan keberadaan Andini saja ia tidak mengetahui nya sekarang.
"Andini, di mana pun kamu berada. Semoga kamu selalu ingat jika aku lah rumah paling nyaman untuk kamu." Batin nya yang masih mengharapkan istrinya itu kembali.