Jelas Justin yang melihatnya pun tahu kalau Queen memang dari dulu tak suka dengan suara petir. Ia pun langsung menggenggam tangan Queen dan menggadapkan posisi tubuhnya ke arah wanita itu agar ia merasa lebih tenang.
Ketika Suara Petir itu mulai merendah, perlahan Queen pun membuka kedua matanya dan ia pun melihat bahwa yang berada di hadapannya ini adalah Justin bukan Nicho. Sontak, hal itu pun langsung membuat Queen melepaskan genggaman tangannya dari mantannya tersebut.
"Sorry."
Hanya kata itu yang diucapkan oleh Queen kepada Justin namun ia sama sekali tak menatap wajahnya.
"Kita pulang aja, Queen. Gue anterin pulang ya. Di sini dingin, gue nggak mau lo sakit." Ucapnya yang masih berusaha untuk membujuk wanita itu.
Queen masih terdiam, perlahan Ia pun mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghidupkannya lalu ia melihat tak ada pesan dari Nicho satupun. Bahkan, justru yang lebih banyak adalah pesan dari Justin yang sampai saat ini belum ia baca.
Matanya pun tertuju ke arah layar ponselnya yang menunjukkan pukul 17.55.
"Queen ... Ayo kita pulang. Lihat di sekitar sini orang-orang juga udah pada pulang. Percuma lu mau menghubungin taksi online pun Kalau hujannya deres kayak gini mereka juga nggak bakalan berani."
Queen kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu perlahan Ia pun melihat ke arah Justin yang masih setia berada di hadapannya.
"Pulang ya. Gue bakalan nganterin waterpark sampai di depan pintu dan memastikan bahwa nggak terjadi apa-apa sama lo." Bujuknya lagi dengan lembut.
Queen melihat di sekitaranmu dirinya memang beberapa orang yang membawa motor berlalu pergi dari tempat itu dan kini hanya ada dirinya dan juga Justin yang berada di halte bus tersebut.
"Gimana? Gue anter pulang ya. Anggap aja ini adalah balasan ucapan permintaan maaf gue karena tadi udah membuat onar di rumahnya tante Lo."
Perlahan Queen menghela nafasnya lalu ia pun menganggukkan kepalanya, namun tak menjawab apapun perkataan dari Justin.
Justin yang melihatnya pun tersenyum tipis. Ia pun berjalan bersama Queen dengan payung menuju ke arah mobilnya. Mereka pun masuk mobil dan tak lama setelah itu Justin pun dengan segera menyalakan mobilnya dan pergi dari tempat itu.
*****
Di sepanjang perjalanan queen sama sekali tak melihat arah Justin justru ia melihat ke arah jendela mobil Seraya memperhatikan hujan yang masih saja terjun bebas membasahi bumi.
'Deres banget ujannya. Gue yakin ini seluruh kota sih.' batinnya.
Satu jam kemudian Justin telah mengantarkan Queen tepat di apartemennya. Setelah itu Queen pun langsung masuk ke dalam apartemen tersebut dan Justin pun yang tak mau terjadi sesuatu kepada Queen, maka ia langsung mengikutinya dari belakang hingga mereka masuk ke dalam lift dan menuju ke arah koridor ke kamarnya.
Tahu bawa sedari tadi dirinya diikuti oleh Justin, membuat wanita itu pun menghentikan langkahnya sejenak lalu ia pun langsung menoleh ke arah Justin yang kini berada tepat di hadapannya.
Ia menghela nafasnya sejenak. "Thanks, karena Udah nganterin gue tapi sekarang lo bisa pergi karena gue udah sampai di apartemen." Ucapnya yang mengusir Justin secara halus.
"Gue masih mau lihat lo sampai lo benar-benar masuk ke dalam kamar apartemen lo. Karena gue nggak mau lo kenapa-kenapa."
Queen memutar bola matanya jengah, ia malas berdebat dengan Justin. Maka dari itu, ia pun membiarkan saja Justin mengikuti dirinya yang kini Telah kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju ke pintu kamarnya.
Queen telah membuka pintu kamar tersebut Lalu ia pun berbalik melihat ke arah Justin yang masih setia berada di sampingnya.
"Sekarang Lo udah lihat kan, gue udah ada didepan kamar gue. Lebih baik Lo pulang sana."
Justin mengangguk. "Em ... Ada sesuatu yang mau gue bicarain ke lo."
"Justin please ... gue capek. Gue lelah. Gue butuh waktu sendirian gue mau istirahat. Sorry gue nggak mau dengerin apa ucapanmu saat ini."
"Sebentar aja, Queen." Ucapnya yang memohon.
Karena Queen merasa hutang Budi kepada Justin yang telah mengantarkan dirinya sampai ke rumah. Akhirnya wanita itu pun hanya mengangguk kecil menanggapi ucapan dari Justin. Melihat hal tersebut pun membuat lelaki tampan itu tersenyum manis.
"Em ... Gue cuma mau bilang kalau gue masih sayang sama lo, dan gue mau kita ngulang seperti dulu lagi."
Ucapan Justin membuat Queen pun berkerut alis. "Maksud Lo?" Tanyanya dengan rasa heran.
"Gue mau kita balikan. Jujur Queen gue nggak bisa tanpa lo. Lo adalah wanita sempurna yang pernah gue temuin dan lo hanyalah satu-satunya wanita yang bakal gue jadiin ratu di hidup gue. Gue nggak bakal ngelakuin hal itu lagi dan gue mau kita ngulang Semuanya dari awal jalanin hubungan kita sama-sama lagi dengan menjadi lebih baik."
Deg.
Jelas perkataan lembut yang dilontarkan oleh Justin mampu membuat Queen terenyuh.
Jujur, sebenarnya dia tahu, Justin adalah orang baik, dari dulu dia sama sekali tak pernah menyentuh dirinya sedikit pun. Tapi, rasa sakit hati ketika ia mengingat bahwa Justin pernah tidur dengan wanita lain, membuat Queen masih belum bisa menerima Justin kembali.
"Queen?" Panggil Justin yang berhasil membuyarkan lamunan wanita itu.
Queen pun langsung tersadar dan melihat kearah Justin.
"Em, sorry. Kita udah slesai Justin. Gue udah punya Nicho." Jawabnya, yang langsung masuk ke dalam kamar apartemennya itu, dan menutup pintu tersebut.
Justin yang mendengar jawaban itu pun hanya bisa menghela nafasnya saja. Ia tahu, pasti jawabannya akan seperti ini. Tak bisa melakukan banyak hal, maka secara perlahan Justin pun pergi dari tempat itu.
Sementara Queen yang kini tengah duduk di atas kasur tersebut, tengah memikirkan perkataan yang baru sjaa di lontarkan oleh Justin tadi.
Wanita yang mengenakan baju coklat itu mengatur nafasnya beberapa kali.
'Justin ngajak gue balikan? Gue tahu dia baik, tapi ... Gue masih sakit hati sama dia kalau ingat pelakuan dia dulu ke gue.' batinnya.
"Huft ...." Wanita itu menghela napasnya lagi.
Setelah itu ia mengambil ponselnya yang berada didalam tasnya, lalu melihat kelayar tersebut. Tak ada balasan pesan apapun dari Nicho disana, hal itu pun membuatnya kesal.
"Nicho ... Kok Lo nggak balas chat gue sih. Sebenarnya ada apa sama Lo. Gue jadi kawatir, apalagi tadi pagi kan dia habis marah-marah gitu sama seseorang di telpon." Monolognya.
Tanpa berpikir panjang, wanita dengan kulit putih itu pun mencoba untuk menghubungi lelaki tersebut, namun tetap saja. Beberapa kali ia mencoba menelponnya, panggilan tersebut tetap saja tidak diangkat olehnya.
"Nicho ... Lo kemana sih?" Gumamnya dengan rasa kesal.
Akhirnya, ia pun memutuskan untuk bangkit dari posisinya, lalu setelah itu berjalan menuju ke toilet yang berada satu tempat dengan kamarnya tersebut.
Wanita cantik dengan rambut berwarna coklat itu pun melepas seluruh pakaiannya, setelah itu ia pun mulai menyalakan shower dari kran air itu.
Rintikan air pun mulai membasahi tubuhnya. Ia muali memejamkan kedua matanya dna merasakan guyuran shower itu.
"Lo itu cewe murahan! Gue nggak mau tanggung jawab!"
Deg.
Tiba-tiba saja, kalimat itu terlintas jelas dalam benaknya, dan seketika itu pula ia pun langsung membuka kedua matanya dengan mengusap seluruh wajahnya beberapa kali, dan dengan cepat mematikan kran air tersebut.
'Kata-kata itu muncul lagi di otak gue.' batinnya.
Wanita itu pun terdiam sejenak, ia mencoba untuk mengalihkan pikirannya tersebut.
"Nggak, ini pasti gara-gara gue melihat kejadian tadi di taman, makanya pikiran itu terus muncul dalam benak gue." Monolognya.
Queen pun berusaha untuk tetap tenang, setelah itu ia pun kembali melanjutkan aktivitas mandinya, dan kembali menyalakan kran shower tersebut.
*****
Di rumah bernuansa warna monochrome, seorang anak laki-laki dan papahnya Tengah bertengkar hebat.
"Pah, tidak bisakah Papah menghargai Nicho! Nicho sudah dewasa dan punya jalan pilihan hidup Nicho sendiri Pah!"
"Kamu bicara apa soal jalan hidup Nicho. Kamu itu tidak bisa apa-apa tanpa Papah. Kalau kamu ingin memilih jalan hidup kamu, kamu akan jadi gembel!"
"Cukup, Pah! Nicho selama ini sudah terlalu menurut apa kata Papah! Nicho bukan anak kecil lagi yang harus Papah atur. Nicho sudah dewasa Pah! Umur Nicho sudah 28 tahun!"
Ucapan Nicho yang nada tinggi, membuat sang Papah pun semakin emosi, ia merasa anaknya ini sudha kurang ajar karena beran berkata seperti itu dihadapannya.
"Nicho! Jadi kamu sekarang mulai berani membentak Papah! Iya?! Kamu sudah tidak mau lagi menjadi anak papah, hah?!"
"Terserah apa yang mau papah bilang, tapi kalau seperti ini terus. Nicho akan keluar dari rumah ini!" Sahutnya lalu ia pun hendak pergi dari rumah itu.
Sang Mamah yang melihatnya pun dengan cepat langsung mencegah sang anak pergi, ia memegangi tangannya.
"Sayang ... Mamah mohon jangan seperti ini nak." Ucapnya dengan nada lirih.
Nicho menghentikan langkahnya, ia melihat kearah sang mamah yang menitihkan air mata seraya memohon kepadanya.
"Sayang ... Mamah mohon, jangan seperti ini ya Nak. Kami anak satu-satunya Mamah, kalau kamu pergi, mamah bagaimana sayang."
Nicho sebenernya tak tega melihat Mamahnya menangis seperti ini, sungguh ia paling tidak bisa melihat mamah tercintanya mengeluarkan air mata seperti ini. Rasanya sangat sedih dan juga pilu.
Sang Papah yang melihatnya langsung menghampiri istrinya tersebut dan menariknya agar melepaskan pegangan tangannya dari sang anak.
"Sudahlah Mah, biarkan saja anak kurang ajar ini pergi. Dia ini anak nggak tahu diuntung yang bisanya hanya buat susah saja." Ucap Damian.
Jelas, perkataan tersebut langsung mendapat lirikan mata oleh Nicho. Sungguh, ia makin tak betah berada di rumah ini. Semuanya sudah membuatnya benar-benar muak.
"Baik, kalau anda tidak menginginkan saya di rumah ini. Tanpa Anda suruh pun, saya akan angkat kaki dari rumah ini dan tidak akan pernah kembali lagi disini." Sahutnya dengan tegas.
"Baguslah kalau begitu, pergilah kamu yang jauh. Pergi dan jangan pernah kembali lagi!" Bentak sang papah.
Elma Langsung menggeleng, ia melihat kearah suaminya. "Pah, kenapa Papah bicara seperti itu kepada Nicho. Dia anak kita Pah, anak satu-satunya."
"Sudahlah Mah, buat apa lagi kita urus anak seperti dia. Biarkan saja dia Pergi."
Elma menggeleng, ia masih tak merelakan anak semata wayangnya harus pergi dari rumah ini. "Jangan sayang, kamu tetap disini ya. Mamah mohon ...." Ucapnya lirih dengan memohon.
Nicho sebenernya tak tega, tapi ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap sang papah yang selalu semena-mena terhadap dirinya, hingga dengan berat hati ia pun melepaskan pegangan tangan sang Mamah.
"Mah, maafin Nicho ya Mah. Sepertinya Nicho udah nggak kuat lagi berada di rumah ini, Nicho harus pergi Mah."
"Nicho, mamah mohon jangan Nak, kita bisa bicarain ini baik-baik."
"Maaf, Mah. Nicho sayang Mamah." Ucapnya, lalu ia langsung bergegas pergi dari rumah itu.
Jelas hal itu membuat butiran bening Elma pun makin mengalir dengan deras membasahi pipinya. Ia pun langsung melihat kearah sang suami dengan tatapan marah.
"Pah, nggak seharusnya papah bersikap kasar seperti itu ke Nicho. Dia anak kita Pah! Papah benar-benar egois!"
"Mah, kalau papah tidak keras, Nicho tidak akan mau menuruti keinginan Papah. Dia akan terus menolak dijodohkan dengan Alisha."
Elma menggeleng, ia menatap suaminya dengan penuh kekecewaan. "Nicho benar, papah Memang benar-benar egois! Papah hanya memikirkan kepentingan bisnis papah saja. Papah tidak pernah memikirkan perasaan Nicho. Dia sudah dewasa dan punya jalan hidupnya sendiri, Pah."
Tak mau berdebat terus dengan sang istri, membuat Damian pun langsung pergi begitu saja dari ruang tersebut.
*****
Pukul 01.00. Di sebuah club malam. Seorang laki-laki tampan dengan memakai baju berwarna biru muda tengah asyik duduk santai sambil berbincang-bincang dengan para wanita yang berpakaian minim disana.
Mereka saling bercanda tawa dan meminum minuman bir disana.
"Beib ... Bisa kan, malam ini kita bersenang-senang?" Tanya wanita dengan dandanan menor itu.
"Tentu dong sayang, malam ini akan menjadi malam yang panjang untuk kita."
"Really?" Tanya wanita itu yang sengaja menyandarkan kepalanya tepat didada bidang milik lelaki tersebut.
"Yes beib. Apapun akan aku berikan untukmu tapi malam ini kau harus memuaskanku."
Sahut lelaki itu dengan tatapan menggoda.
"Okeh, semuanya akan aku berikan untukmu sayang." Jawab wanita itu dengan rasa girang.
Lelaki tampan yang memakai baju biru muda itu tersenyum manis dan hendak mengecup bibir wanita dihadapannya ini, namun secara tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang sepertinya ia mengenalinya.
'Itu Nicho kan.' batinnya.
"Beib ... Hey. Kamu lihatin apa sih, I'm here beib." Ucap wanita itu seraya memandangi wajahnya dan menyentuh pipinya.
Sontak, Justin langsung melihat kembali kearah wanita itu.
"Em, sorry beib. Kayanya aku harus ke toilet bentar ya. Kamu tunggu disini, aku nggak akan lama kok. Okeh "
"Benar ya, nggak lama?" Tanyanya dengan nada manja.
Justin mengangguk, ia bangkit Seraya mencium kening wanita itu lalu pergil dari sana, menuju kearah lelaki yang ia duga Nicho.