Pada dasarnya memang seharusnya Ovi tidak terlalu banyak berharap kepada kekasihnya ini. Dia yang berharap seharian bisa menghabiskan waktu bersama pemuda ini nyatanya hanya angan saja. sekarang dia harus terjebak bersama teman-teman Reon yang mana sebagian besar teman pemuda itu tidak begitu menyukai keberadaan dirinya. Terutama satu-satunya gadis yang ada di perkumpulan ini, yaitu Bella.
“Ovi, kamu kenapa diam saja? Ngobrol juga sama kita sini,” kata Bella ramah disertai senyumannya.
Dasar gadis yang licik. Ovi mencoba bersabar, “Nggak, Kak. Aku nggak tau kalian lagi ngobrol apa. Mending aku diem aja,” jawabnya. Lagi pula jika dia ikut nimbrung, segala perkataan yang keluar dari mulutnya akan disanggah oleh teman Reon.
“Lo juga, Re, pacaran sama anak desain, mending lo sama Bella. Kalian juga sudah lama dekat. Gue kira lo bakal jadian sama dia, eh taunya sama ini anak.”
Satu lagi orang yang Ovi benci di sini, Tomi. Pemuda itu selalu menjelek-jelekkannya di depan semua orang. Ovi tidak tahu apa kesalahannya kenapa semua teman-teman Reon tidak suka kepada dirinya. Gadis itu benci berada di dalam situasi ini, ketika Reon hanya diam menyaksikan harga dirinya ditindas.
“A-aku mau ke toilet sebentar.” Gadis itu segera bergegas meninggalkan kerumunan teman-teman Reon. Toilet, selalu saja tempat itu yang menjadi alasan Ovi untuk menghindar.
“Kenapa? Kenapa mereka nggak suka sama aku? Tuhan, kenapa hidupku semenyedihkan ini? Apa aku tidak boleh merasakan kebahagiaan?”
Gadis malang ini meratapi nasibnya yang selalu buruk. Dan untuk kesekian kalinya Ovi merindukan Cia, sahabatnya. Andai saja gadis itu tidak pergi meninggalkannya. Saat ini dia butuh gadis itu, namun Cia terlalu jauh untuk digapai.
“Hahaha, gitu aja nangis.” Suara seseorang mampu mengalihkan perhatian gadis yang sedang menangis ini. Bella, gadis itu berdiri tepat di belakang Ovi dan menertawakannya saat ini. “Dari awal gue sudah bilang sama lo. Lo itu nggak pantes sama Reon. Gue, gue adalah orang yang pantas untuk dia,” lanjutnya dengan mimik wajah menyebalkan.
“Tapi nyatanya Reon itu pacarku, Kak.”
Bella menampilkan semiriknya, “Pacar? Cuma pacar doang, kan? Gue akan rebut dia dari lo.”
“Nggak!” bantah Ovi dengan lantang. “Kamu nggak akan bisa ambil Reon dari aku,” lanjutnya.
“Gadis yang terlalu percaya diri.” Senyum remeh terpancar dari wajah Bella. Dia meneliti gadis yang merupakan kekasih Reson dari atas hingga bawah. “Asal lo tau, lo itu bukan tipe dia,” ungkapnya. Bella berjalan mendekat, Ovi sendiri sudah was-was dibuatnya. “Dan satu lagi, gue yang paling dekat dengan Reon. Bahkan dekat banget sampai tak ada jarak di antara kita,” bisiknya terdengar ambigu.
“Ma-maksud Kak Bella apa?”
“You know-lah,” jawab Bella yang belum gadis itu mengerti.
“Maksud Kak Bella apa? Aku nggak paham,” kesal Ovi.
“Gue dan Reon udah berhubungan sejak lama. Lo itu cuma gadis bodoh yang dia manfaatin sebagai kedok biar nggak ada yang tau kalau gue dan dia udah berhubungan. Gue dan Reon udah lebih dari teman ataupun sahabat. Bahkan kita pernah tidur—ups.”
Ovi membelalak kaget. “Ti-tidur? Maksud Kak Bella apa?” Gadis ini tidak ingin mendengar hal buruk, dia ingin segera pergi dari tempat ini.
“Ha? Tidur? Gue nggak bilang tidur,” jawab Bella berpura-pura tidak mengucapkan apa pun kepada gadis ini.
“Kak. Tadi Kak Bella bilang tidur. Maksudnya hubungan kalian sudah lebih dari itu?”
“Eh? Gue tadi keceplosan astaga. Aduh gimana, ya, gue nggak mau jujur sih sama lo. Kalaupun lo tanya ke Reon, dia pasti bantah. Ya pokoknya begitulah. Ih, tau deh gue balik aja. Dahhh.”
Setelah kepergian Bella, Ovi kembali menangis. Sekuat apa pun dia, jika kenyataannya seperti ini gadis itu sudah tidak kuat lagi. Isak tangisnya terus menjadi kala mengingat pemuda yang ia cintai selingkuh di belakangnya. Ovi pikir kedekatan mereka tidak akan lebih, namun perkataan Bella membuat dirinya merasa mual. Dengan mata yang sembab, gadis itu kembali ke tempat Reon dkk duduk. Tidak, Ovi tidak berniat kembali duduk di sana. Dia hanya ingin mengambil tas yang tadi ia tinggal.
“Sorry, gue balik.” Tidak ada ekspresi ataupun senyuman lagi. Flat. Datar. Ovi pergi meninggalkan Reon dkk dengan pertanyaan, kecuali Bella yang tersenyum senang ketika gadis itu memilih pergi. Senyum Bella luntur ketika melihat Reon berlari mengejar gadis ingusan itu.
“Ovi.” Panggilan Reon nyatanya tak diindahkan oleh Ovi. Gadis itu tetap berjalan dengan cepat bahkan sedikit berlari. Namun, Reon lebih cepat dibanding Ovi. Dengan satu gerakan, Reon menarik gadis itu hingga keduanya kini berhadapan. Tidak, gadis itu menunduk menyembunyikan wajahnya yang kacau.
“Tatap mata aku.” Perkataan Reon penuh penekanan dan tak terbantahkan. Sedikit demi sedikit, gadis ini mengangkat wajahnya. Terlihat jelas kedua pipi gadis itu berair menandakan jika dirinya menangis. “Nangis lagi?” ucap Reon dingin, “cengeng. Dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis,” cecarnya. Ovi hanya diam tak ada niatan membalas.
“Ovi, bicara. Aku nggak suka kamu diam seperti ini.”
Apa kabar hati gue, Re? Ingin sekali Ovi mengumpat dan mengatakan perihal hatinya yang selalu tersakiti oleh pemuda itu.
“Gu-gue—”
“Gue? Sejak kapan kita pakai panggilan lo-gue?” potong pemuda itu dengan nada sinis.
“Sejak sekarang. Sejak kita putus. Sejak kita nggak ada hubungan apa-apa lagi.” Entah keberanian dari mana Ovi bisa lancar mengatakan itu semua. Namun, bukannya senang, gadis ini malah terlihat gelisah ketika melihat ekspresi dari pemuda itu.
“Re, gue—”
Belum sempat gadis ini menyelesaikan perkataannya, Reon sudah menyeretnya menuju ke mobil pemuda itu. Catat. Menyeret, ok. Bahkan dia tampak meringis karena kencangnya cengkeraman pemuda itu. “Re, sa-kit.” Namun Reon tak mengindahkan itu semua. Dia memaksa kekasihnya masuk ke dalam mobil.
Gadis ini dilanda kegelisahan dengan apa yang akan Reon lakukan. Bahkan pemuda itu terlihat sedang menahan sesuatu. Ovi merutuki kebodohannya yang telah membangunkan si singa. Niatnya tadi dia ingin meminta maaf kepada Reon, namun pemuda itu terburu menyeretnya ke mobil.
“Re, gu-e mau—”
“Diam!” Nyali gadis ini seketika menciut. Dia akhirnya memilih diam daripada menambah kemarahan kekasihnya.
Gadis ini pikir Reon akan membawanya kembali ke rumah. Ya, mereka memang ke rumah, namun ini rumah Reon bukan rumah Ovi. Tanda tanya besar muncul di kepalanya, kenapa Reon membawanya ke sini. Dan sekali lagi Reon menyeret gadis itu ke dalam rumahnya tersebut.
“Reon pelan-pelan. Tangan gue sakit,” protes gadis itu dengan ringisannya.
Reon membawa gadis itu ke kamarnya. Bau maskulin menyeruak di penciuman Ovi, namun bukan itu saat ini yang harus ia pikirkan. Dia harus menyelesaikan semuanya. Reon mengunci pintu itu dan membuangnya asal. Perhatiannya kini kembali kepada Ovi yang meringkuk ketakutan di pojok kamar.
“Re-on, lo mau nga-pain?” tanya gadis ini sedikit terbata-bata. Sungguh, dia merasakan bahwa akan terjadi hal buruk. Tak menghiraukan pertanyaan gadis itu, Reon pun berjalan menuju ke arah kekasihnya. “Reon berhenti!”
“Aku bilang berhenti!”
Pemuda ini akhirnya berhenti. “Kenapa? Bukannya kamu tadi minta putus, Sayang?”
Ovi merinding saat mendengar perkataan pemuda itu. Reon berubah tidak seperti biasanya. Mata pemuda itu terasa berbeda di penglihatannya. Sekali lagi Reon mendekati Ovi yang tengah berkelana dalam pikirannya sendiri sehingga dia tidak menyadari keberadaan pemuda itu yang sudah tepat berada di depannya.
“Eh?” Ovi terkejut karena tiba-tiba saja Reon menyentuh pipinya. Seketika alarm berbahaya berbunyi di kepalanya. Dia harus segera pergi dari sini. “Re-on, lo ma-u ngapain?”
Pemuda itu menampilkan senyum anehnya. “Kita mau main sebentar, Sayang,” jawabnya sambil membelai pipi Ovi lembut.
“Ma-in? Main apa?” cicitnya.
Pemuda itu terus mendekat, mendekat, bahkan lebih dekat. Ovi pun merasa sesak karena pemuda itu terlalu dekat dengan dirinya, bahkan bagian depan keduanya menempel sangat dekat. “Bermain selayaknya pasangan,” bisiknya s*****l.
Ha? Ha? Otak gadis ini ingin bekerja, namun kepalanya mengarah ke hal-hal yang aneh. “Re-on a-aku takut. Ja-ngan buat a-aku takut,” pinta Ovi menunduk dengan suara bergetar dan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Kenapa? Takut? Ini hukuman karena kamu meminta putus,” ucap Reon dingin.
Gadis ini menggeleng kuat. “Enggak Re, a-aku minta maaf.”
“Maaf? Segampang itu kamu minta maaf? Kamu ingat, bukan kalau aku benci kata putus,” tekannya sekali lagi yang diangguki oleh gadis itu.
“TAPI KENAPA KAMU MINTA PUTUS! SECARA NGGAK LANGSUNG KAMU SUDAH NYAKITIN AKU.” Teriakan pemuda itu membuat kepala Ovi menjadi pusing. Namun, saat ini dia tidak boleh lemah. Sudah cukup semua rasa sakit ini. Semua tindakan Reon yang selalu menyakitinya.
Mata Ovi berkaca-kaca mentap Reon yang tengah mengatur napasnya. “Harusnya aku yang bilang begitu.” Datar. Raut muka gadis ini kembali datar, namun air matanya terus mengalir. “HARUSNYA AKU YANG BILANG BEGITU,” teriak gadis itu pilu yang pada akhirnya dia pun kembali menangis tersedu-sedu.
Reon membiarkan kekasihnya itu menangis, menunggu gadis itu tenang. Sebenarnya pemuda ini tidak tahu di mana letak kesalahannya.
“Cukup, Re. Aku mau kita putus!” tegas gadis itu sekali lagi.
“Nggak.”
“Aku mau kita putus!”
“Nggak!”
“Dasar egois! Aku benci kamu.”
“Aku cinta kamu.”
“BERHENTI BILANG CINTA KALAU NYATANYA KAMU SELINGKUH DI BELAKANG AKU!”
Ohoho. Terus baca ceritanya, ya, dan jangan lupa tap love ❤