Ryan:10

1770 Kata
Beberapa Minggu kemudian. Mia telah diperbolehkan untuk mandi dan berpakaian yang layak seperti biasanya meski luka bakar di tubuh Mia belum sepenuhnya membaik, namun luka-luka itu sudah mengering dan mengelupas. Nick telah memberikan segala yang dibutuhkan Mia. Nick memberikan kehidupan baru bagi Mia, di dalam jangkauannya. Marcella Lee yang biasa dipanggil dengan Ella, telah menyiapkan pakaian bersih untuk Mia yang ia letakkan di atas sebuah sofa dengan secarik kertas berisi pesan pendek yang ditulis tangan. Tulisan tangan bersambung yang terukir indah dan rapi. Silahkan pergunakan pakaian ini. Jika Anda membutuhkan bantuan, saya ada di dapur. Ella. Mia berdiam cukup lama di depan sebuah cermin berkaki yang ada di sudut dalam ruangan kamar tidurnya. Memandangi dirinya sendiri dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan yang Mia merasakan tubuhnya terlihat menyusut. Mia tidak ingat seperti apa dulu penampilannya. Ia hanya tahu kini jika dirinya yang tampak menyeramkan dengan wajah yang tertutup kasa. Jantung Mia seakan ingin menjerit. Tatapannya berubah keruh dan Mia bergidik. Meski tubuhnya sudah lebih nyaman dibanding hari-hari sebelumnya. Mia tetap merasakan kesedihan saat memandangi dirinya, setiap pagi ia merasakan itu. Nick telah memperingatkan Mia untuk menghindari hal yang membuat dirinya tidak nyaman. Mia meninggalkan cermin lalu berjalan pelan ke arah pintu, memutar pegangan pintu dan mendapati lorong panjang pada sisi kiri kanannya. Sunyi dan senyap. Berjalan menapaki lantai marmer menuju tangga sambil berpegang pada pembatas tangga yang terbuat dari semen. Mia butuh untuk tetap berpegang pada sesuatu, ia tidak ingin keseimbangannya hilang dan membuatnya terjatuh. Menuruni anak tangga satu per satu, selangkah demi selangkah. Bayangan yang samar kembali melintasi kepala Mia disusul dengan suara derap langkah yang lebih jelasnya adalah berlari. Langkah Mia berhenti dengan tiba-tiba ketika di telinganya berhasil menangkap suara deru napas, rasa ketakutan dan suara teriakan yang memanggil, ya memanggil namanya, tapi siapa? “Anda, astaga,” desis Ella terkejut mendapati sosok Mia di anak tangga dengan mematung. Dengan langkah cepat Ella menaiki anak tangga untuk menghampiri dan menjangkau Mia yang terdiam di salah satu anak tangga. Ella meraih tangan Mia. “Anda baik-baik saja?” tanya Ella dengan cemas. Ella bisa merasakan permukaan kulit telapak tangan Mia yang dingin dan basah. “Aku baik-baik saja,” kata Mia dengan suara bergetar. Mia merasakan kepalanya berputar-putar dan genggaman tangannya mengencang pada telapak tangan Ella. “Anda tidak baik-baik saja. Anda---” “Sebaiknya kau siapkan makanan untuknya, Ella. Aku telah menyiapkan obat di meja makan.” Nick mengatakannya saat ia muncul dari sebuah ruangan lalu berjalan mendekat ke arah tangga, menaikinya satu per satu hingga menghapus jarak dirinya dengan sosok Mia dan Ella. “Biar aku yang menanganinya,” imbuh Nick. “Baik, Sir,” timpal Ella menurut dengan apa yang diperintahkan Nick. Keduanya bertatapan setelah Ela melepaskan tangan Mia dan Nick menyambarnya. Nick menggenggam dengan lembut telapak tangan Mia tanpa keduanya melepaskan tatapan masing-masing. Nick merasakan yang sama dengan yang Ella rasakan. Telapak tangan Mia yang dingin dan lembab. “Aku yang akan membantu mu, Mia.” “Kau---” Tatapan Mia membulat. Mengejutkan bagi Nick yang tiba-tiba merasakan tatapan Mia yang seakan tak mengenali dirinya. “Panggil aku, Nick.” “Nick?” Mia mengulang dengan suara yang masih bergetar dan terlihat bingung. Suara Mia seakan tersekat di tenggorokan. Tatapan matanya penuh pertanyaan dan Nick hanya merespon dengan senyuman segaris yang terbit di wajah tampan miliknya. Denting sendok dan garpu yang saling beradu di atas permukaan piring. Tidak ada percakapan selama beberapa saat. Mia terlalu menekuri dirinya sendiri. Masih mencoba untuk terus mengingat siapa dirinya. Namun yang dirasakan Mia, semakin dirinya berusaha untuk mengingat, semakin terasa sakit hingga tungkak leher yang seakan terkena pukulan keras. Kesulitan menelan yang Mia rasakan bagai duri di sepanjang tenggorokan membuatnya tersiksa. Terasa kering dan terasa begitu menyakitkan. Berulang kali Mia meraih gelas miliknya yang berisi air, meneguk isinya dengan cepat. Mia tenggelam dalam lamunan hingga tidak menyadari Nick yang menatapnya sejak tadi. Mengamati bagaimana Mia terdiam. Nick meraih serbet di atas pangkuannya, menyapukan kain lembut itu pada sudut bibir. Memastikan tak ada sisa makanan yang tertinggal. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Nick yang membuat Mia mengangkat wajahnya. Nick dapat melihat kesedihan yang teramat di dalam tatapan mata Mia. “Aku...” Mia terdiam. “...Aku tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan.” Kalimat Mia yang membuat Nick mengernyitkan kening. Keduanya saling menatap. Perasaan Mia yang penuh kesedihan jelas terasa dalam sorot mata Mia yang semakin keruh. Bagai lautan yang gelap. Sementara Mia, ia merasakan tatapan mata Nick yang menenangkan, bagai hamparan harapan yang menenangkan dan Mia terjebak di dalamnya. “Siang ini aku akan membuka perban di wajah mu,” ucap Nick dengan harapan yang membuat Mia menahan napas karena terkejut. Mia menatap Nick dari seberang meja tempat dia duduk. “Ada yang ingin kau katakan?” Suara Nick melembut. Ia meraih gelasnya dan meneguk minuman yang masih tersisa tanpa melepaskan tatapan mata dari Mia. “Di mana kau menemukanku?” tanya Mia dengan suara yang terdengar penasaran. Wajah tampan Nick membeku. Ia duduk tegak di kursinya lalu meletakkan gelas dalam genggamannya di atas meja makan dengan isi yang tinggal setengah. Jeda beberapa detik untuk Nick mengelap bibirnya dengan serbet di pangkuannya sekali lagi. “Aku ingin tahu jika---” “Bukan aku yang menemukanmu.” Kalimat yang meluncur cepat dari mulut Nick Ryan. Ada jeda yang kembali menyusup di antara keduanya. “Lantas... siapa yang---” “Sepertinya mencari nama untukmu lebih mendesak,” potong Nick spontan. Mata Mia membulat, sempat menahan napas sebelum Mia kemudian menarik napas panjang, menundukan wajahnya sebentar sebelum menatap Nick kembali di depannya. Nick diam seakan menunggu reaksi Mia sebelum ia melanjutkan ceritanya. Mia wanita yang tidak bernama kini. Ucapan Nick seakan menyadarkan Mia jika dirinya tidak ingat siapa jati dirinya. “Otis yang menemukan dirimu.” “Otis?” tanya Mia dengan kebingungan. Kebingungan Mia tampak jelas dengan tatapannya yang memicing meski Nick tak dapat melihat sepenuhnya reaksi pada wajah Mia yang masih tertutup kain kasa. “Otis. Dia suami dari Ella.” Mia terkejut, terasa napasnya tersekat. Mata Mia sedikit melebar tertuju ke arah Nick. “Dari luka yang ada di tubuhmu, sepertinya kau mengalami kecelakaan hebat.” Kali ini napas Mia benar-benar berhenti seketika. Mia mematung. Ruangan yang awalnya tampak terang dengan salju yang tak selebat beberapa Minggu lalu, kini usai Nick menyelesaikan kalimatnya Mia merasa ruangan berubah dingin kembali. Bagai tertimbun, membeku seketika. Dari sudut mata Mia, dirinya mendapati sosok Ella di balik meja dapur. Ella sedang menatap Mia. Nick menelan ludah sebelum kembali melanjutkan. “Tubuhmu terbawa arus sungai. Dengan luka bakar di beberapa bagian. Dan…” Ada keraguan dari pancaran wajah Nick saat ia menyadari Mia menatapnya lurus dan intens. Mia menyimak sepenuhnya yang membuat Nick perlu mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan kebenaran. “Dan apa?” tanya Mia penasaran sambil memajukan tubuhnya sedikit ke depan, menempel pada pinggiran meja makan. “Wajahmu rusak.” Sendok makan Mia terlepas, dan jatuh tepat di atas piring di hadapannya hingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Mia langsung mematung dengan wajah kaku, dan mata melebar lagi. Nick telah mengambil keputusan dengan menempatkan dirinya seakan sosok baru dalam kehidupan Mia. Ia membiarkan Mia memulai dengan dirinya yang baru. Meski ia merasakan jiwanya berada di tepian dilema, menyakitkan, tapi tidak ada pilihan. Nick tidak ingin kehilangan, ia tidak ingin Mia pergi. Nick yang bertubuh tinggi beranjak dari kursinya, berjalan memutari meja makan untuk menghampiri Mia. “Kau baik-baik saja?” Suara Nick yang terdengar khawatir membuat Mia mengerjap. Dengan suara parau Mia menyahut. “Ya.” Hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari bibir Mia. Terdengar penuh penekanan dan perasaan hampa. Mia menghela napas untuk kemudian disusul mengembuskannya perlahan. Menelan ludah dan melirik Nick yang sudah berdiri menjulang tak jauh darinya. Mia tidak bisa berpikir tentang apa pun, bahkan untuk mengingat siapa dirinya saja ia tidak mampu. Mia mengutuki dirinya dalam kenestapaan. “Aku ingin melihat wajahku.” Sudut bibir Mia menyiratkan kesedihan. Salah satu alis Nick naik dengan spontan dan Nick tidak langsung menanggapi perkataan Mia. Ada rentang waktu sepersekian detik untuk Nick menatap Mia dengan tatapan dalam, kemudian ia menarik sebuah kursi lainnya yang ada tepat di samping Mia sambil berujar, “Ada yang ingin aku katakan padamu.” Nick menjilat bibirnya yang kering sebelum melanjutkan ucapannya. Mia berhasil menangkap ada keraguan di mata Nick. Mia mengamati bagaimana Nick berada di dekatnya. Jantung Mia terasa berdetak cepat dan kacau. Mia menelan ludahnya. “Boleh aku bertanya sesuatu lebih dulu?” Pertanyaan Mia yang membuat Nick terkejut sebentar. “Ya, apa yang ingin kau tanyakan?” Ada ketakutan yang coba Nick tekan. Ketakutan akan kebenaran yang dirinya sembunyikan dari Mia. “Kau tahu siapa aku?” Pertanyaan kedua yang diajukan Mia dan membuat Nick seakan baru saja tersengat ribuan volt aliran listrik. Dugaannya tidak meleset. “Aku tidak tahu.” Nick menjawab dengan segumpal kebohongan dan rasanya menyakitkan. Mia masih menatapnya dengan tatapan yang kian sedih. “Maaf kan aku,” ungkap Nick. Terdengar embusan napas Mia yang keras. “Apa yang kau harapkan?” tanya Nick memecah keheningan. Tarikan napas Mia berikutnya yang kian berat. “Aku tidak tahu,” jawab Mia singkat. Tak ada jalan kembali bagi Nick untuk menyampaikan sebuah fakta untuk Mia. “Ada hal yang harus aku katakan.” Suara Nick terdengar ragu namun Mia menatap dengan penuh harap. “Aku...aku mengubah wajahmu menjadi…” Kalimat Nick menggantung yang membuat Mia menegakkan tubuhnya dan menatap Nick dengan lurus. “… menjadi wajah mendiang istriku.” Jiwa Mia terasa lepas dari raga, terhempas dengan hentakan. Spontan Mia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi yang ia duduki. “Maafkan aku,” ucap Nick dengan ketulusan. Mia bergeming dengan isi kepala yang berputar-putar. “Keadaanmu sangat buruk saat Otis menemukanmu, dan semuanya berkejaran dengan waktu.” Nick menuturkannya dengan lugas dan suaranya terdengar lembut. Bayangan dari masa lalu berkelebat di pelupuk mata Mia. Sebuah truk barang yang datang dari arah berlawanan datang menerjangnya. Membuatnya kehilangan kendali atas lingkar kemudi mobil yang ada di tangannya. Tubuh Mia menegang, semua mimpinya kembali hadir. Kening Mia dibanjiri keringat dingin dengan napas yang terdengar berat. “Aku… Sepertinya---” “Kau ingat sesuatu?” tanya Nick dengan mimik wajah penasaran bersamaan dengan Mia yang melirik dari ujung matanya. “Katakan apa yang---” “Aku hanya ingat sebuah truk.” Mia kembali terduduk tegak. “Ya… aku… bayangan putih dan…” Mata Mia terpejam tiba-tiba, berusaha untuk mengeluarkan isi kepalanya. Tapi sia-sia. Mia tidak yakin dengan apa yang ia rasakan, Mia ragu dirinya bisa membedakan antara mimpi atau kenyataan yang sebenarnya ia sedang cari. “Aku tidak ingat,” desis Mia frustasi dengan kedua kelopak mata yang kembali terbuka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN