Chapter 2 - Wanita Idaman Baru Sang CEO

1986 Kata
Ini kali pertama bagi Pamela dan Lavinia menginjakkan kakinya di rumah seluas seribu meter persegi bergaya classic French milik CEO muda berhati dingin itu. Terdapat sebuah air mancur di halaman bagian depannya. Sebelum memasuki pintu utama, mata Pamela dan Lavinia juga dimanjakan oleh sekumpulan bunga primrose merah serta rerumputan segar yang tumbuh dengan subur. Warna emas dan putih mendominasi sisi eksterior maupun interior rumah tersebut. Kecuali satu, kamar tidur Sebastian yang didominasi oleh warna abu-abu. Melambangkan betapa elegan serta misteriusnya sikap laki-laki berambut coklat gelap dan bermata biru itu. Begitu memasuki rumah yang mengingatkan memorinya akan istana Versailles itu, keduanya langsung disambut oleh Sebastian yang sedaritadi telah menanti kedatangannya di ruang tamu. Dia duduk dengan angkuh di sofa sambil melipat kakinya layaknya seorang boss mafia. Dua orang ajudannya, Gustav dan Yuda, berdiri di samping sisi kiri dan kanannya. Sementara seorang wanita p3nghibur langganan barunya, yang berpakaian ketat dan sexy itu, berdiri di belakangnya seraya memijiti pundaknya. “Duduklah,” perintah Sebastian. “Mari bicarakan dengan kepala dingin.” Pandangan Sebastian otomatis terhenti sejenak pada Pamela. Diperhatikannya wanita berparas cantik itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Rambutnya yang dikuncir satu itu terlihat halus bak helaian benang sutra. Kulitnya bersih dan mulus. Pahanya yang mengintip sedikit dari balik rok yang sedang dikenakannya itu begitu menantang untuk disentuh. High heels setinggi lima senti yang melindungi telapak kakinya membuat kaki jenjangnya terlihat makin menggiurkan. Dan, oh, Tuhan, jangan lupakan gundukan ranumnya. Payudaranya tercetak rapih dari balik bra dan blouse berbahan ketatnya, membuat otak Sebastian tak bisa berhenti menerka-nerka berapa kira-kira ukuran cup-nya … dan apa jadinya kalau sepasang gundukan kenyal itu ada dalam remasan tangannya. Untuk sesaat, Sebastian seolah-olah lupa kalau bukan cuma dirinya dan Pamela saja yang ada di ruang tamu. “Siapa namamu?” tanyanya tanpa mempedulikan keberadaan Lavinia. Tanpa sadar raut dingin yang sempat mendiami wajah tampannya perlahan luntur. Tetapi respon yang berbeda diperlihatkan oleh Pamela. Dia malah dibuat geram sekaligus risih akan tatapan Sebastian yang seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat. “Ah, tidak usah basa-basi!” cetusnya. “Kamu sengaja ‘kan membawa kami ke sini karena tak terima kalau perbuatan busukmu itu tercium oleh polisi?!” “Kau benar-benar pandai, Nona,” puji Sebastian seraya menyeringai. Dia lanjut memanggil salah seorang pelayannya dan memintanya untuk menuangkan segelas vodka ke dalam gelas kristal kesayangannya. “Kalian tahu apa akibat dari perbuatan kalian?” imbuhnya usai menyesap segelas vodka-nya. “Bukan cuma penjualan sahamku saja yang anjlok, tapi perusahaanku juga terancam gulung tikar dan kini statusku berubah jadi buronan polisi.” Pamela langsung membuang muka. Dia mendengus kesal. Dalam hatinya, dia terus mengutuki sikap menyebalkan Sebastian serta semua praktik kotor yang selama ini dilakukannya. Sebastian lanjut bicara, “Aku masih berbaik hati dengan membiarkan kalian tetap bisa menghirup oksigen. Padahal biasanya …” “Tolong, ampuni kami,” potong Lavinia. Tangisnya seketika pecah. Dia beranjak untuk berlutut di atas lantai sembari memegangi sepatu hitam mengkilap yang sedang dipakai Sebastian. “Kami memang bersalah, tolong maafkan kami,” lirihnya, dan hal ini membuat seringai Sebastian tambah lebar. Emosi Pamela kian meledak-ledak. Dia tak terima kawan baiknya diperlakukan layaknya seorang pengemis. Ditariknya lengan Lavinia dengan kasar dan disuruhnya untuk bangkit berdiri kembali. “Sadar, Lavinia! Apa-apaan sih kamu?!” makinya. Lavinia tak bergeming. Dia hanya menyeka air mata yang melelehi pipinya menggunakan punggung tangan kanannya. Pamela lanjut membentak Sebastian tanpa kenal takut. “Kami tidak bersalah, justru kamu yang bersalah!” ucapnya berapi-api. “Bisa-bisanya kamu bersembunyi di balik kedok perusahaan suksesmu itu untuk melakukan penggelapan dana dan cuci uang?! Apa yang sudah kamu lakukan itu ilegal! Melanggar hukum! Dan kamu pantas dipenjara!” Sebastian menunjukkan senyum miringnya. Entah mengapa, sikap Pamela yang berani dan gegabah itu malah membuat dirinya jadi semakin tertarik. “Baiklah, aku akan membebaskan kalian. Tapi dengan satu syarat,” tuturnya. “Kalian harus mencabut semua tudingan miring tentang Prime Enterprises dan mengaku ke publik kalau kalian sengaja membuat berita palsu untuk menjatuhkanku. Deal?” tawarnya. Tangan kanan Pamela mengepal erat. Dia baru saja membuka bibirnya, hendak mendebat lagi setiap kalimat yang dilontarkan oleh Sebastian, saat Lavinia keburu memotong ucapannya. “Baik, akan segera kami laksanakan,” ujarnya yang dengan gampangnya mematuhi perkataan Sebastian layaknya seekor hewan perliharaan yang patuh pada majikannya. Setelah melewati perdebatan sengit itu, Sebastian tetap menunjukkan ‘kebaikan’ hatinya dengan meminta dua orang anak buahnya mengantar Pamela dan Lavinia kembali ke gedung Wordsmith Press. Diam-diam, dari balik kaca jendela balkon rumahnya, Sebastian terus menatapi mobil alphard hitam yang membawa Pamela dan Lavinia pergi. “Kau sudah mencaritahu latarbelakang mereka?” tanya Sebastian. “Yang dikuncir satu bernama Pamela Arbiza Welby, dan yang rambutnya pendek sebahu serta berkacamata bernama Lavinia Gregory. Mereka wartawan baru di Wordsmith Press dan baru bekerja sepuluh bulan lebih tiga minggu di sana,” jelas Gustav. “Info selanjutnya akan saya beritahukan pada boss secepat mungkin.” “Hmm … Jadi wanita itu bernama Pamela,” gumam Sebastian. “Kenapa? Boss tidak jadi memenjarakan mereka?” tanya Gustav. Sebastian menggeleng. “Nanti dulu, tidak usah terburu-buru. Beri mereka waktu dua puluh empat jam untuk mendiskusikan semuanya,” jawabnya santai. “Aku ingin bersenang-senang sebentar dengan wanita bernama Pamela itu. Dia membuatku penasaran.” ***** Beberapa pasang mata memandangi Pamela dan Lavinia dengan sorot ngeri bercampur kaget sesampainya mereka di gedung Wordsmith Press. Tak sedikit dari mereka yang mengira kalau keduanya tak akan kembali. Bahkan ada juga yang mengira kalau keduanya telah dicuci otaknya. Ruslan langsung menghampiri keduanya bak seorang ayah yang baru bertemu lagi dengan anaknya yang hilang. Dia lalu mengajak Pamela dan Lavinia membicarakan semuanya di ruang kerja pribadinya. “Kalian baik-baik saja?” tanya sang chief editor cemas. “Bagaimana bisa kami baik-baik saja, Ruslan?! Kami hampir mati!” maki Lavinia. Pamela menghela nafas panjang. “Barusan kami bertemu dengan Sebastian, dia CEO Prime Enterprises. Dia membuat tawaran. Dia akan membebaskan kita asalkan kita bersedia mencabut semua berita itu dari peredaran media masa dan mengaku ke publik kalau kitalah yang bersalah,” jelasnya. Dia menggeleng. “Aku tidak akan menerima tawaran tak masuk akal tersebut. Itu sama saja dengan bunuh diri,” imbuhnya serius. Lavinia menatap wajah kawannya dengan mimik gusar. “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Pamela? Lawan kita ini bukan orang sembarangan!” tegasnya. “Kita tidak boleh menyerah pada keadaan,” ucap Pamela. Dia tersenyum sambil mengusap-usap pundak kawannya. “Kamu ingat ‘kan dengan janji yang sudah pernah kita buat sebelumnya? Kita akan selalu berjuang bersama, apapun risikonya,” timpalnya. Pamela Arbiza Welby berasal dari keluarga sederhana. Walaupun masih tinggal di rumah kontrakan, tapi keluarganya tak pernah kekurangan uang untuk mencukupi kebutuhan pangan serta sandangnya. Dia anak kedua dari dua bersaudara. Ayahnya mantan pegawai swasta. Ibunya meninggal karena penyakit arteri koroner. Sementara kakak laki-lakinya, Cedrick Javier Welby, meninggal ketika usianya sepuluh tahun karena jadi korban tabrak lari. Sejak kepergian Cedrick itulah Pamela bertekad untuk jadi seorang wartawan yang jujur, bermoral dan ‘lurus’ jalannya. Dia mau menyuarakan kebenaran dan menentang keras yang namanya ketidakadilan. Sesuatu yang tak dia peroleh saat kematian Cedrick dulu. Sampai kini tak ada yang berhasil melacak siapa gerangan pengemudi mobil toyota hitam yang berhasil membuat kakaknya meregang nyawa itu. Perdikatnya sebagai perempuan terhormat juga selalu dia jaga. Meski demikian, Pamela bukan ‘pemain baru’ dalam yang namanya dunia orang dewasa. Dia kenal minuman keras dan sudah pernah mencicipinya satu kali. Dia tahu obat-obatan terlarang, tapi tak akan pernah mencobanya. Apalagi setelah teman SMA-nya menjemput ajal akibat overdosis amfetamin. Baginya aktifitas ranjang juga bukan hal yang tabu. Dia pecinta film biru dan tetap menikmati bagaimana menyenangkannya saat ‘menyentuh’ dirinya sendiri sambil memainkan imajinasi liar dalam otaknya. Namun demikian, Pamela masih urung berciinta. Dia masih menunggu laki-laki yang tepat untuk merobek selaput daranya yang belum pernah terjamah oleh kejantanann manapun. **Keesokan harinya** Mimpi buruk yang jadi kekhawatiran Lavinia akhirnya jadi kenyataan. Dia terus meronta-ronta tatkala dua orang polisi memborgol tangannya dan membawanya masuk ke dalam mobil polisi. Suara teriakannya yang nyaring itu bahkan terdengar hingga radius sepuluh meter jauhnya. Sayangnya, tak peduli sekuat apapun dirinya mencoba, Pamela tetap tak mampu menyelamatkan kawan baiknya. Dan satu hal yang paling mengganjal hatinya, mengapa polisi-polisi itu malah mengacuhkannya? Mustahil mereka tidak melihat keberadaan Pamela. Hanya Lavinia yang dibawa polisi. Lantas bagaimana dengan nasibnya? Buru-buru Pamela menyetir mobilnya menuju Prime Enterprises. Dimasukinya gedung perkantoran itu tanpa menghiraukan seorang security yang terus mengejar-ngejar dan mencurigai dirinya. “Nona!” panggil security itu sambil memegangi walkie-talkie-nya. “Nona tidak boleh masuk tanpa izin dari resepsionis!” Tapi tenaga Pamela jauh lebih gesit. Dia ‘licin’, susah ditangkap layaknya seekor belut. Dan semesta mendukung aksinya. Lift yang dia naiki sedang kosong. Ditekannya tombol lift itu menuju lantai dua puluh tujuh, tempat ruang CEO berada. Dia baru bertemu kembali dengan security yang mengejar-ngejarnya itu setibanya di ruang CEO. “Lepaskan aku!” bentak Pamela seraya mencoba melepas genggaman tangan sang security yang kuat dan kasar. Berbeda dengan kemarin, hari ini Pamela disambut dengan senyuman oleh Sebastian. Namun senyuman itu terasa ganjil. “Tinggalkan kami sendiri,” perintah Sebastian pada security-nya. “Boss kenal dengan perempuan ini?” tanya security tersebut. Sebastian tersenyum puas bak seekor singa yang baru saja berhasil menangkap hewan buruannya. “Ya,” jawabnya. “Dia tamu istimewaku.” Barulah security itu mau melepas tangan Pamela dan meninggalkannya bersama dengan Sebastian di ruang CEO. Sama seperti kamar tidurnya, ruang kerja pribadi Sebastian juga didominasi oleh warna abu-abu. Dia sedang duduk sendirian di kursi kerjanya. Tak dikawal oleh satu pun ajudan maupun bodyguard-nya. Karena Sebastian tahu, Pamela tidak akan mungkin berhasil melawan dirinya. “Kenapa kamu menjebloskan Lavinia ke penjara?!” tanya Pamela murka. Wajahnya memerah. Hanya tinggal tunggu waktu saja sampai air matanya jatuh dan membasahi pipinya. “Itu dampak dari kegigihanmu. Kamu yang memaksaku untuk memakai jalan ‘kekerasan’,” jawab Sebastian serius. “Bukankah aku sudah membuat tawaran yang cocok untukmu?” Sampai detik ini, skandal yang pertama kali dibuat oleh Wordsmith Press itu memang masih beredar di pasaran. Di satu sisi, Sebastian dibuat merasa jengkel sekaligus malu. Tapi di sisi yang lain, dia merasa senang dan tertantang dengan ‘mainan baru’-nya. “Tapi … kenapa cuma Lavinia?” tanya Pamela sembari menatap Sebastian nanar. Air matanya tumpah sudah. “Padahal dia korban. Aku yang awalnya mendesak dia untuk ikut membuat berita itu. Ini semua salahku,” lirihnya. Dia jalan mendekati Sebastian. “Tolong, bebaskan dia,” mohonnya seraya memegangi punggung tangan kanan Sebastian. Entah mengapa tubuh Sebastian tiba-tiba bergetar. Layaknya orang yang tersengat listrik, namun alirannya berasal dari birahinya. Dia tak menyangka telapak tangan Pamela terasa sehalus itu. Dan dari jarak sedekat ini, dia bisa melihat secara jelas dan detil betapa cantiknya wanita yang telah mencuri hatinya itu. Sebastian bangkit berdiri dari kursi kerjanya dan beranjak meraih selembar tissue yang tergeletak di meja khusus menyambut tamu. Dia lalu berjalan pelan mendekati Pamela, dan tak berhenti melakukan kontak mata dengannya. Dihimpitnya tubuh Pamela ke tembok dan digunakannya tissue itu untuk menyeka air mata Pamela. “Kamu tahu? Ternyata keputusanku untuk datang ke kantor hari ini adalah pilihan yang tepat,” gumam Sebastian. Dia membuang tissue itu ke atas lantai lalu menangkupkan wajah Pamela dengan tangan kanannya. Sebastian lanjut berbisik tepat di depan telinga Pamela, menyalurkan rasa geli sekaligus membuat bulu roma Pamela sedikit merinding. “Sudah kuduga kamu akan kembali padaku.” Indera penciuman Pamela mampu mendeteksi wangi parfum armani yang kuat dari tengkuk Sebastian. Dia menunjukkan sorot sinisnya saat maniknya bertemu kembali dengan manik milik Sebastian. Pamela sudah memasang ancang-ancang kalau-kalau Sebastian berani berbuat lebih nekat. Dan laki-laki yang tubuhnya tinggi menjulang itu membalas tatapan sinis Pamela dengan sorotnya yang tajam, mendominasi dan dibumbui oleh sedikit gairah. “Aku tak bisa berhenti memikirkanmu, Pamela,” ucap Sebastian. Dia beralih menatap ke bawah sejenak, merasakan bagaimana hangatnya dua gundukan kembar yang bersentuhan dengan dadanya yang bidang, lalu menelan salivanya dengan kasar. “Aku menginginkan dirimu,” sambungnya. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN