Oktober 2008
Dina baru saja tiba di rumah ketika matahari telah sepenuhnya terbenam. Hari ini kuliahnya berlangsung hingga jam lima sore makanya ia baru tiba di rumah saat hari sudah gelap. Di rumah hanya ada ibunya saja, sementara kakaknya, Oscar, belum kembali dari serangkaian tes masuk yang diikutinya selama beberapa bulan terakhir ini.
Dina bisa mencium aroma ikan yang sedang digoreng oleh ibunya di dapur. Ia pun bergegas menuju ke kamar mandi untuk mandi. Setelah mandi barulah ia akan makan malam bersama ibunya. Selama menjalani hari-hari tes, Oscar selalu meminta ibu dan adiknya untuk tidak menunggunya pulang dan mempersilakan mereka untuk makan malam lebih dahulu, sebab berdasarkan pengalamannya ada beberapa tes yang berlangsung hingga malam hari.
Oscar tidak memberitahu Gladys sudah sejauh mana progress seleksinya. Ia hanya meminta disiapkan kemeja putih dan celana panjang hitam atau pakaian olahraga ketika ia mau berangkat ke tempat seleksi.
Malam itu Gladys dan Dina menunggu Oscar pulang sambil menonton televisi bersama. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Oscar masih belum juga pulang. Gladys merasa sedikit khawatir namun ia percaya bahwa Oscar tidak mungkin keluyuran.
“Kok kakak belum pulang ya Ma, tumben tesnya sampai semalam ini.” Kata Dina ketika melirik ke arah jam yang menunjukkan sudah jam sembilan lewat hampir setengah sepuluh.
Gladys memandang Dina dan mengangkat bahunya, “Mama juga khawatir sebenarnya.” Katanya. “Kalau sudah mengantuk, kamu tidur duluan saja ya Na, mama masih mau menunggu kakak.”
“Dina temani mama sampai jam sepuluh ya, setelah itu baru Dina pergi tidur.”
Waktu terus berlalu. Mata Gladys tertuju ke layar televisi namun pikirannya melayang memikirkan Oscar.
“Kalau di telepon boleh nggak Ma?” Tanya Dina.
“Kakak biasanya tidak membawa ponselnya ke tempat tes, tapi coba kamu lihat di kamarnya kalau tidak ada di atas meja berarti dia membawanya.”
Dina segera beranjak dari sofa dan menuju ke kamar Oscar. Begitu pintu dibuka dan lampu kamar dinyalakan, Dina melihat bahwa foto-foto kenangan Oscar dan Karen masih menempel di dinding kamar seperti sebelumnya saat mereka masih bersama.
“Berarti kakak masih menaruh hati kepada Karen.” Kata Dina dalam hati. “Pria besar itu ternyata masih belum bisa berpaling dari Karen.”
Dina hampir tidak pernah diizinkan untuk memasuki kamar kakaknya itu. Ia baru boleh masuk ketika ia dipanggil ke sana, selebihnya ia dilarang keras oleh Oscar untuk menginjakkan kakinya di dalam kamar itu.
Benar saja dugaan Gladys kalau ponsel pink pemberian Karen kepada Oscar ada di atas meja di dalam kamar itu. Ia tidak membawanya ke tempat tes.
Dina keluar lagi dari kamar itu dan memberitahu ibunya bahwa kakaknya memang tidak membawa ponsel. Mereka kembali menunggu dengan perasaan cemas.
“Bagaimana jika kakakmu di palak orang di jalan pulang?” kata Gladys kepada Dina.
“Ma, kakak adalah seorang laki-laki dewasa setinggi 180 centimeter dan badan yang besar, memangnya ada yang berani memalaknya?” bantah Dina.
Gladys menganggukan kepalanya karena merasa bahwa pendapat Dina ada benarnya.
“Bagaimana jika mereka bersenjata?” kata Gladys lagi.
“Mama!” bantah Dina dengan keras. “Ini baru mau jam sepuluh, jalanan di luar sana masih ramai dengan pedagang makanan di gerobak-gerobak dorong, mana ada preman yang bekerja di jam seperti ini!” Dina berusaha keras untuk menenangkan ibunya yang khawatir berlebihan.
“Kalau begitu Dina akan tidur di sofa menemani mama menunggu kakak pulang.” Kata Dina dengan tegas. “Takutnya kalau Dina pergi tidur di kamar, gantian mama yang pergi keluar untuk mencari kakak.”
Gladys menatap Dina dan mengangkat bahunya lagi.
Ketika kekhawatiran begitu menyiksa Gladys, Oscar yang sangat ia nantikan tiba-tiba telah berada di ambang pintu.
“Aku pulang.” Katanya.
Gladys segera beranjak dari sofa dan pergi mendekati Oscar.
Oscar tersenyum lebar menatap ibunya. Sementara ibunya baru saja meredakan rasa khawatir yang sangat menyiksa di dadanya.
Oscar tiba-tiba memeluk Gladys dan mengangkat tubuh ibunya itu ke atas. Gladys sangat terkejut dengan tindakan Oscar itu.
“Oscar lulus Ma!” seru Oscar kemudian menurunkan ibunya kembali.
Dina yang sejak tadi melihat mereka dari sofa ikut terkejut mendengar itu. Ia melompat dari sofa dan berlari mendapati ibu dan kakaknya. Oscar melepaskan satu tangannya yang melingkar ke pundak ibunya dan menggantikannya dengan memeluk Dina. Ia memeluk ibu dan adiknya bersama-sama. Mereka bertiga berpelukan selama beberapa saat.
Gladys dipenuhi air mata kebahagiaan, demikian halnya dengan Dina.
“Berterima kasihlah kepada Tuhan, nak!” kata Gladys kepada Oscar.
“Iya Ma.” Balas Oscar.
“Aku mungkin tidak akan bisa tidur malam ini karena terlalu bahagia.” Kata Dina.
Gladys dan Oscar sontak terdiam dan menatap Dina.
“Tidak bisa tidur adalah kata-kata yang selalu kamu ucapkan tapi tidak bisa aku percaya.” Ledek Oscar kemudian diikuti oleh suara tawa yang keras dari Gladys.
“Ya sudah kamu mandi dulu ya, setelah itu baru kamu makan. Nanti makanannya mama panaskan lagi.”
Oscar mengangguk dan segera menuju ke kamar mandi.
“Dina masuk kamar dulu ya Ma…” kata Dina.
“Tuhkan, benar yang aku bilang tadi!” seru Oscar dari dalam kamar mandi.
“Iiiiiih kakak!” protes Dina. “Kan Dina besok kuliah pagi, jadi boleh dong Dina tidur sekarang?”
Gladys hanya bisa tertawa melihat pemandangan itu.
Dina lantas masuk ke kamar dan tidur. Sementara Gladys berada di dapur untuk menghangatkan makanan yang akan dimakan oleh Oscar.
Selesai mandi, Oscar segera mengambil tempat duduk di depan meja makan dan langsung melahap makanan yang dihidangkan oleh ibunya.
“Anak mama akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya.” Kata Gladys.
“Iya Ma.” Jawab Oscar sambil makan.
“Pendidikannya di mulai kapan?”
“Senin depan Ma.”
“Kamu harus jaga kesehatan ya nak, jangan sampai sakit di saat mau memulai pendidikan. Jangan terlalu banyak main di luar rumah dulu.”
“Iya Ma.”
“Tuhan akhirnya menjawab doa kita, meskipun awalnya kita disuruh menunggu cukup lama. Mama juga sempat was-was kamu tidak berhasil di kesempatanmu yang terakhir. Tapi lihat saja, jika Tuhan sudah berkehendak maka tidak ada yang dapat menghalanginya. Ingat ya nak, kamu jangan menjadi sombong karena keberhasilan ini bukan semata-mata hasil usahamu, melainkan ada kehendak Tuhan di dalamnya.”
Oscar menganggukan kepalanya.
Setelah Oscar selesai makan malam, Gladys mencuci piring kotor dan membersihkan meja makan. Begitu semua pekerjaannya selesai barulah ia masuk ke kamar untuk beristirahat.
Oscar masuk ke dalam kamar dan mengambil ponsel yang ada di atas meja. Ia berharap dapat memberitahu kabar bahagia ini kepada Karen namun ia ragu-ragu untuk melakukannya. Setelah berpikir lagi dan lagi, akhirnya ia pun memutuskan untuk memberitahu Karen.
Oscar mengetik pesan singkat yang akan dikirimkan kepada Karen. Ia berkali-kali mengubah pesan yang telah diketiknya karena merasa ragu akan apa yang harus ia sampaikan.
‘Ren, bagaimana kabarmu? Aku telah lulus seleksi masuk menjadi anggota polisi. Minggu depan aku akan mulai mengikuti pendidikan. Semoga kamu di sana baik-baik saja dan kuliahmu berhasil.’
Begitu isi pesan yang Oscar kirimkan kepada Karen. Pesan itu berhasil terkirim ke nomor telepon Karen namun tidak ada balasan darinya hingga Oscar tertidur.
Keesokan paginya ketika Oscar terbangun ia langsung mengecek ponselnya dan mendapati bahwa memang tidak ada pesan balasan dari Karen untuknya.
“Haruskah aku menyerah?” Tanya Oscar dalam hati.
“Apa Karen telah bersama orang lain?”
“Bagaimana jika ternyata peraturan yang dibuat oleh mamanya membuat dia tidak bahagia?”
Selama ini Oscar mengesampingkan status putusnya dengan Karen karena ingin fokus berlatih agar dapat diterima masuk menjadi anggota polisi. Ia sengaja menunda untuk menyelesaikan masalah di antara mereka karena ia ingin membuktikan kepada orang tua Karen bahwa ia bisa diterima menjadi anggota polisi. Ia tidak menyangka karena banyaknya waktu yang ia lewatkan membuat Karen telah benar-benar menghilang dari hidupnya.
Ini semua memang di luar ekspektasi Oscar. Namun ia bertekad untuk bisa terhubung lagi dengan Karen. Urusan hubungan mereka akan berlanjut atau tidak, itu nomor dua untuk Oscar, yang terpenting bagi Oscar sekarang hanyalah ia berharap bisa berkomunikasi dengan Karen lagi.