Bab 55
Rahasia Terpendam
Suatu sore di bulan November 2010. Hujan gerimis telah turun sejak siang hari. Gladys tengah mengantri di sebuah laboratorium klinik milik pemerintah. Klinik tersebut tampak tidak begitu ramai pada jam seperti itu karena orang-orang biasanya datang untuk melakukan pemeriksaan di pagi hari.
Ia datang sendirian dan memang tidak memberitahu siapapun tentang kedatangannya ke tempat itu. Ketika namanya dipanggil, ia pun berjalan masuk ke sebuah ruangan bertuliskan ruang USG. Ia akan menjalani pemeriksaan ultrasonografi atas rujukan seorang dokter umum yang ia temui dua hari sebelumnya.
Selesai melakukan pemeriksaan USG, Gladys diminta menunggu selama tiga puluh menit karena dokter akan menulis kesimpulan dari hasil USG-nya itu. Pasien yang melakukan USG sore itu memang hanya ia sendiri, sehingga hasil dan kesimpulan dari pemeriksaannya akan keluar dalam waktu yang tidak begitu lama.
Gladys kini memegang hasil USG di tangannya. USG tersebut dimasukkan ke dalam sebuah map berwarna putih dengan logo klinik tercetak di bagian luarnya. Gladys membuka map itu dan mendapati bahwa ia tidak memahami semua istilah medis yang tertulis pada bagian kesimpulan.
Hari beranjak gelap, ia membuka payung dan berjalan menerobos gerimis petang itu. Ia ingin segera mengetahui apa yang tertulis di sana. Ia berjalan kaki sekitar lima menit kemudian ketika ia tiba di tepi jalan raya, ia langsung menyetop angkot pertama yang ia lihat. Ia naik ke angkot tersebut dengan perasaan bercampur aduk, mulai dari gugup, takut, hingga cemas, semuanya menjadi satu.
Gladys pergi untuk menemui lagi dokter yang ditemuinya pada dua hari yang lalu. Antrian di tempat praktek dokter itu juga belum begitu padat karena jam baru menunjukkan pukul 18.32. Gladys mengambil nomor antrian dan ia mendapat antrian ke empat.
Beberapa menit menjelang pukul tujuh, dokter tiba di tempat praktek tersebut dan perawat mulai memanggil antrian nomor satu. Gladys semakin gugup ketika antrian mulai bergerak.
Sekitar tiga puluh menit sejak pasien pertama dipanggil, akhirnya tiba juga pada giliran Gladys. Ia segera masuk ke ruangan praktek dokter dan duduk menghadap dokter.
Dokter tersebut adalah wanita yang berumur kira-kira lima puluh tahunan, menggunakan kacamata berbingkai besar berwarna emas, riasan yang ia kenakan cukup tebal kalau untuk ukuran hanya sekedar datang berpraktek, dan rambut pendeknya pun disasak begitu rapi.
Gladys segera menyerahkan hasil USG yang sejak tadi ia pegang. Dokter mengambil map itu dari tangan Gladys dan langsung membacanya.
“Seperti dugaanku di awal, ini adalah tumor. Ukurannya masih terbilang kecil, diameternya dua centimeter. Tapi untuk memastikan apakah ini jinak atau ganas, aku akan merekomendasikan pemeriksaan biopsi yang harus segera kamu lakukan. Itu tidak bisa dilakukan di sini, melainkan oleh dokter spesialis.”
Wajah Gladys seketika menjadi pucat. Ia sangat syok mendengar pernyataan dokter tersebut.
“Tumor?” Tanyanya dalam hati.
Selanjutnya dokter tampak menulis sesuatu seperti sebuah surat di kertas yang memiliki kop di bagian atasnya.
“Ini adalah surat rujukanmu, dokter yang akan kamu temui adalah dokter ini.” Dokter tersebut juga memberikan sebuah kartu nama bersama dengan surat rujukan itu.
“Lakukan biopsi secepatnya untuk memastikan apa yang ada di p******a kananmu itu.”
Wajah Gladys masih tampak syok. Namun ia berusaha untuk sedikit tersenyum di hadapan dokter.
“Aku tidak akan memberimu obat apapun. Jika nyeri minum saja obat penghilang nyeri yang biasa kamu gunakan. Yang harus segera kamu lakukan adalah pergi mengunjungi dokter spesialis dan melakukan biopsi. Yang ini tidak boleh ditunda ya!”
Gladys terus terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
“Kamu terlihat sangat syok. Aku ingin kamu tenang, jangan terlalu memikirkannya sebab aku tidak mau kesehatanmu menurun karena terlalu banyak pikiran.” Pesan dokter tersebut.
“Dok, apa aku akan mati?” Pertanyaan itu tiba-tiba tercetus dari mulut Gladys tanpa ia sadari.
“Tidak jika kamu segera menanganinya. Makanya aku memintamu untuk tidak menunda kunjunganmu ke dokter spesialis.”
Gladys mengangguk.
Malam itu Gladys pulang dengan keadaan sedih. Namun seperti biasa ia akan menyembunyikan hal sebesar itu dari anak-anaknya.
Gladys tiba di rumah ketika jam menunjukkan pukul 20.45. Dina dan Oscar telah selesai makan malam dengan menu mie instan.
“Dari mana Ma, kok pulangnya malam sekali?” Tanya Dina.
“Lembur Na, banyak pekerjaan belakangan ini.” Jawab Gladys, berdusta.
Gladys lantas mandi dan segera masuk ke kamar untuk tidur. Ia melewatkan makan malamnya karena ia benar-benar sedang tidak berselera untuk makan pada malam itu.
Ia terus memikirkan apa yang akan terjadi dengan kedua anaknya jika nanti kesehatannya memburuk dan ia meninggal dunia. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Dina yang begitu bergantung kepadanya akan menjalani hidupnya sendiri. Ia pun tidak bisa membayangkan bagaimana hidup Oscar yang sudah pernah salah melangkah sebelumnya jika ia tidak ada untuk terus mengingatkan anaknya itu.
Ketika Dina telah tertidur pulas disampingnya, Gladys menatap wajah Dina serta membelai kepala anak perempuannya itu dengan lembut.
“Mama ingin terus berada di sisimu, Na. Melihat kamu menjadi dewasa, berkeluarga bahkan menggendong anak-anakmu.” Katanya dalam hati.
Air mata Gladys jatuh membasahi bantal. Tangisannya menjadi semakin keras sehingga ia harus membenamkan sepenuh wajahnya di bantal agar suaranya tidak sampai membangunkan Dina.
Setelah itu, ia bangun dan pergi memeriksa Oscar di kamarnya. Oscar juga telah tertidur lelap. Gladys melakukan hal yang sama kepada Oscar. Ia membelai rambut Oscar dengan lembut.
“Os, kamu adalah satu-satunya yang bisa mama andalkan jika nanti mama sudah tidak ada di sini. Mama tidak yakin apa kamu bisa menjaga Dina dengan baik atau tidak. Mama hanya ingin kalian tetap saling memiliki dan menjaga tidak peduli nanti sudah setua apa umur kalian!” Gladys membatin.
Gladys kemudian berjalan keluar dan duduk di sofa ruang tamu seorang diri. Ia tidak menyalakan lampu dan membiarkan dirinya berada dalam kegelapan itu seorang diri.
“Aku punya firasat yang jelek tentang penyakit ini. Aku tahu ini sepertinya bukan tumor biasa.” Pikirnya sambil menangis.
“Aku telah berjuang membesarkan anak-anakku seorang diri selama ini, aku tidak ingin dikalahkan oleh penyakit ini!” Tegasnya.
Gladys menangis sepanjang malam sambil meringkuk di sofa. Dalam hatinya ia berdoa sekaligus melakukan protes kepada Tuhan atas cobaan yang kini harus ia hadapi.
“Tuhan, aku sudah cukup menderita dengan semua yang terjadi dalam hidupku selama bertahun-tahun. Hidupku terus dipenuhi masalah, aku harus berjuang seorang diri membesarkan anak-anak, sekarang satu-satunya kekuatan yang aku punya pun harus dipertaruhkan. Apa salahku?”
“Tuhan, aku yakin sekali aku hidup dengan benar selama ini. Bahkan ketika suamiku berselingkuh, aku tidak membalasnya. Aku tidak melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan, meskipun aku sebenarnya bisa melakukan itu. Aku terus menjaga diriku agar tetap bersih dari dosa. Namun aku tetap dihukum dengan cara seperti ini?”
“Tuhan, jika memang aku harus menghadap kembali kepada-Mu maka berikan aku kesempatan untuk melihat Oscar menikah dan Dina menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu. Hanya itu saja yang ingin aku lihat. Berikan juga aku kekuatan untuk melewati ini tanpa membebani anak-anakku. Aku tidak ingin mereka kesusahan karena aku. Kabulkan permintaan hamba-Mu ini ya Tuhan. Amin.”
Setelah cukup lama menangis, Gladys kemudian menghapus air matanya dan kembali ke dalam kamar untuk tidur bersama Dina.
Ia telah bertekad untuk tidak memberitahu anak-anaknya tentang kondisi kesehatannya kini. Ia berniat untuk menyelesaikan semuanya sendiri karena merasa hal itu hanya akan membebani pikiran dan perasaan anak-anaknya, sehingga akan lebih baik jika mereka tidak tahu itu.
Keesokkan paginya, Gladys tampil di depan anak-anaknya seperti biasa. Ia bersikap normal serta ia berusaha untuk tidak terlihat sakit. Padahal sebenarnya hal yang membawa Gladys sampai akhirnya berani memeriksakan diri ke dokter tiga hari yang lalu adalah nyeri di d**a kanannya yang semakin hari semakin sering terjadi dan tidak bisa lagi ia tahan. Ia nyaris pingsan beberapa kali karena rasa sakit tersebut.
Ia memasak sarapan seperti biasa, berangkat ke kantor, bekerja, dan pulang ke rumah di sore hari kemudian melanjutkan aktivitasnya di rumah seperti tidak ada yang sedang mengganggu keadaannya.
Ia masih mencari moment yang tepat untuk mengunjungi dokter spesialis yang ditunjuk oleh dokter sebelumnya. Selain karena Gladys masih sibuk dengan pekerjaannya, ia juga masih takut untuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya.