Sudah seminggu ini Dina tampak agak berbeda dari biasanya. Dina terlihat lebih pendiam dan menghabiskan lebih banyak waktunya dengan berada di dalam kamar. Biasanya selesai makan malam, Dina akan menonton televisi bersama Gladys ibunya, namun kini ia tidak lagi melakukan hal itu, melainkan akan langsung masuk ke kamar dan tidak melakukan apa-apa.
Tidak ada yang memperhatikan perubahan pola tingkah laku Dina itu, selain Gladys. Oscar, kakaknya, saat ini terlalu di mabuk asmara untuk memikirkan perubahan sikap yang ditunjukkan oleh sang adik. Gladys menunggu sembari berharap Dina akan terbuka kepadanya tentang apa yang sedang ia alami sehingga menyebabkan ia jadi pendiam dan tampak lesu seperti itu.
Malam itu, seusai makan malam bersama ibu dan kakaknya, Dina bergegas masuk ke dalam kamar. Gladys yang sedang mencuci piring bekas makan malam mereka memperhatikan hal tersebut dengan saksama. Gladys melanjutkan pekerjaan dapur itu namun kali ini ia melakukannya dengan sangat tergesa-gesa. Ia ingin pekerjaannya segera selesai sehingga ia dapat mengobrol lama dengan Dina terkait perubahan sikap yang ditunjukkan anaknya itu belakangan ini.
Begitu Gladys selesai dengan semua pekerjaan dapurnya, ia lantas menuju ke kamar tempat ia dan Dina biasa tidur.
“Na, sudah tidur?” panggil Gladys ketika ia baru memasuki kamar.
Ia mendapati Dina sedang bertelengkup di atas tempat tidur dengan pipi kanan yang ditempelkan ke bantal.
“Belum Ma.” Jawab Dina dengan suara yang terdengar sangat lesu.
Gladys berjalan menuju ke tempat tidur dan bergabung dengan Dina. Ia duduk di atas ranjang itu, tepat di samping Dina. Ia membelai lembut rambut Dina beberapa kali dan bertanya, “Dina mau cerita sama mama?”
“Apa yang harus Dina ceritakan?” Dina balik bertanya namun tetap tidak memandang ke arah ibunya.
“Dina pikir mama tidak tahu?” balas Gladys. “Kamu banyak berdiam diri belakangan ini, kamu lebih banyak berada di dalam kamar. Kamu bahkan sudah tidak menonton TV bersama mama akhir-akhir ini. Kamu pikir mama tidak menyadari semua perubahan sikapmu itu?”
”Tidak ada apa-apa kok Ma.”
“Kamu anak mama, mama yang melahirkan kamu. Mama bisa merasakan apabila ada sedikit saja perubahan pada sikapmu.”
Dina tetap memilih untuk diam dan tidak memberi penjelasan apapun kepada ibunya.
“Bahkan jika itu adalah hal yang mama perbuat dan membuat kamu sedih, kamu boleh mengatakannya supaya mama tahu dan bisa mengintrospeksi diri.”
“Bukan kok Ma.” Dina tetap tidak bersedia memberi jawaban.
“Jika itu bukan tentang mama, lantas apa itu tentang Oscar?” desak Gladys.
“Bukan Ma, kakak juga tidak melakukan kesalahan apapun kok.”
“Lantas apa, Na?”
Dina tidak menjawab dan hanya menggelengkan kepalanya.
“Dengarkan mama ya, Na.” kata Gladys kemudian mulai membelai rambut Dina lagi. “Seisi dunia ini boleh mengkhianatimu tetapi kamu harus tahu bahwa mama akan tetap selalu berada di belakangmu untuk mendukung kamu. Kamu bisa memercayai mama tentang apapun, karena mama tidak akan pernah mengkhianatimu.”
Hati Dina tersentuh mendengar perkataan mamanya itu. Air mata mulai jatuh dari sudut matanya dan meluncur tepat ke bantal tempat ia menyandarkan pipinya.
“Di sepanjang alur kehidupan kita, tidak selalu kita berada di lingkungan dengan orang-orang yang bersikap ramah kepada kita. Kadang kala kita ditempatkan bersama orang-orang yang memperlakukan kita dengan tidak semestinya, mungkin mereka akan melukai perasaan kita, mengkhianati kita, dan sebagainya. Kamu tahu, kita tidak bisa mengontrol kedatangan orang-orang seperti itu dalam hidup kita sebab barangkali kedatangan mereka ke dalam kehidupan kita adalah karena alasan pekerjaan, sekolah, atau hanya karena berada di lingkungan tempat tinggal yang sama. Tetapi kamu harus tahu bahwa kita juga punya hak untuk menentukan. Menentukan orang-orang mana yang boleh tetap tinggal dan mana yang harus pergi dari kehidupan kita.”
Air mata Dina jatuh semakin deras namun ia tetap memunggungi ibunya dan tidak ingin ibunya tahu bahwa kini ia sedang menangis.
“Setiap orang pantas untuk bahagia, tidak peduli dia cantik atau jelek, tubuhnya besar atau kecil, kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak.” Lanjut Gladys. “Tidak apa-apa jika kamu ingin memutuskan hubungan dengan orang-orang yang membuat kamu tidak bahagia atau dengan orang-orang yang melukai perasaanmu, karena mereka yang melukai perasaan kamu tidak layak untuk berada dalam kehidupanmu.”
Gladys kemudian mengusap punggung Dina. Ia dapat melihat dari belakang bahwa napas Dina kini tidak beraturan, ia yakin sekali kalau anak itu sedang menangis.
“Jangan lupa pesan mama ya, setiap orang pantas untuk bahagia termasuk kamu dan ingatlah bahwa mama selalu ada untuk mendukungmu.”
Gladys kemudian beranjak dari ranjang dan pergi meninggalkan kamar itu untuk memberi waktu bagi Dina untuk merenung.
Hingga Gladys selesai memberi nasihat kepada Dina, ia masih tetap tidak tahu apa yang sedang dialami oleh anaknya itu. Ia ingin membantu lebih, tetapi tidak bisa jika tidak tahu masalahnya.
Gladys duduk seorang diri di ruang tamu. Ia bisa mendengar suara Oscar yang sedang mengobrol di telepon sambil sesekali tertawa cekikikan di dalam kamarnya.
“Aku mungkin tidak bahagia dengan pernikahan ini, tetapi anak-anakku harus bahagia. Aku harus mendampingi mereka sampai mereka kelak berhasil meraih kebahagiaan.” Kata Gladys dalam hati.
Gladys berbaring di sofa yang ada di ruang tamu itu sambil terus merenung. Ia merenungkan banyak hal mulai dari yang ada di masa lalu sampai rencana masa depannya bersama kedua anaknya. Terlalu banyak merenung Gladys bahkan sampai tertidur di sofa.
“Ma… Mama… Kenapa mama tidur di sini?” Panggil Oscar.
Suara Oscar-lah yang akhirnya membangunkan Gladys dari tidurnya.
“Kenapa mama tidak tidur bersama Dina di kamar?”
Gladys terduduk dalam keadaan belum sepenuhnya sadar.
“Mama ketiduran di sini…” jawabnya.
“Ya ampun mama, Oscar pikir mama sakit sampai tidur di sini.”
“Tidak kok nak, mama baik-baik saja.”
“Ya sudah sekarang mama pindah ke kamar ya…”
Oscar membantu ibunya untuk bangkit dari sofa dan mengantarkannya sampai ke pintu kamar.
“Tidur ya ma…” kata Oscar kemudian kembali ke kamarnya.
Gladys masuk ke dalam kamar dan melihat Dina yang sudah tertidur pulas. Ia segera naik ke ranjang dan berbaring di samping Dina.
Ia melirik ke arah jam di dinding dan mendapati bahwa itu adalah pukul tiga dini hari. Kantuknya sudah hilang, ia sudah tidak bisa kembali tidur.
Gladys turun dari ranjang dan berjalan menuju ke meja rias dan mengatur kembali posisi barang-barang yang ada di situ yang tampak berantakan. Saat tengah membereskan meja, ia menatap bayangan dirinya di cermin.
Ia tampak lebih tua dari umurnya ditambah tubuhnya yang sangat kurus.
Mendengar suara berisik yang dihasilkan oleh ibunya yang sedang membereskan meja rias, Dina pun terbangun. Ia duduk di ranjang dan memperhatikan ibunya.
“Mama…” panggilnya.
Gladys menoleh kepada Dina, “Iya Na…”
“Jam berapa sekarang?” tanya Dina.
“Jam tiga lewat.”
“Kenapa mama sudah bangun jam segini?”
“Mama terbangun dan sudah tidak bisa tidur lagi.”
Gladys melanjutkan membereskan meja rias yang berantakan itu. Sementara Dina masih memandangi ibunya dari ranjang.
“Ma…” panggil Dina lagi.
“Iya…” jawab Gladys kemudian menatap Dina.
Gladys merasa bahwa mungkin ini adalah momen di mana Dina mau menceritakan permasalahannya.
“Ada apa Na?” tanya Gladys lagi.
Gladys meninggalkan meja rias dan berjalan mendekati Dina.
“Kamu mau menceritakannya kepada mama sekarang?”
Gladys kini berdiri di samping Dina. Anak itu tiba-tiba memeluk ibunya. Gladys membalas pelukan itu dan mengecup bunbunannya.
Dina tiba-tiba menangis dan hal itu membuat Gladys sangat terkejut.
“Ada apa Na?” tanya Gladys.
Gladys membiarkan Dina menangis untuk sesaat dalam pelukannya dan menunggu hingga Dina siap untuk mulai bercerita.
“Jadi sebenarnya…” Dina mulai bercerita sambil terisak. Perkataannya terhenti, ia tidak bisa melanjutkannya lagi karena ia masih menangis.
Gladys menunggu dengan sabar. Ia takut jika ia mendesak Dina maka anak itu mungkin akan mengurungkan niatnya untuk bercerita kejadian yang sebenarnya.
“Dina tidak mau sekolah di sana lagi.” Katanya dengan pelan.
Gladys terkejut setengah mati mendengar hal itu karena beberapa bulan yang lalu Dina begitu bersemangat untuk masuk ke sekolah tersebut dan kini ketika keinginannya sudah terwujud ia malah tidak ingin bersekolah di sana lagi.
“Memangnya di sana kenapa Na?” tanya Gladys.
“Mereka menetapkan standar kecantikan yang tinggi.”
“Maksudnya gimana?” Gladys masih belum mendapatkan inti dari perkataan Dina.
“Mereka mengolok-olok Dina, ma…” begitu mengatakan hal tersebut, tangis Dina pun pecah.
Gladys mempererat pelukannya ke tubuh Dina sambil sesekali mengusap punggung anak perempuannya itu.
“Dina dibilang monster karena bertubuh besar dan wajah dipenuhi jerawat.”
Hati Gladys ikut sakit mendengar perkataan Dina yang terakhir itu.
“Jahat sekali mereka!” kata Gladys, tegas.
Dina menganggukan kepalanya.
“Tidak hanya anak laki-laki, anak perempuan juga ikut mengolok-olok Dina. Teman-teman Dina tidak bisa melakukan apa-apa karena kami hanya berlima sedangkan mereka jumlahnya ya semua yang ada di kelas.” Terang Dina. “Memangnya Dina sejelek apa Ma?”
Pertanyaan Dina benar-benar meremukkan hati Gladys.
“Kamu tidak jelek Na…” balas Gladys dengan mantap.
“Mama mengatakan itu karena Dina anak mama, sehingga mama tidak mampu memandang Dina secara objektif.”
Bantahan Dina sekali lagi membuat Gladys terkejut.
Gladys melepaskan pelukannya dan duduk tepat di hadapan Dina. Ia menyeka air mata Dina dengan tangannya kemudian menatap tepat ke mata anaknya itu.
“Na, dengarkan mama.”
Dina juga menatap ke mata Gladys. Sesekali air matanya masih jatuh ke pipi.
“Kamu cantik apa adanya. Tidak peduli kamu bertubuh besar dan berjerawat, bagi mama dan bagi orang lain yang memandang kamu secara positif, kamu itu cantik.”
Gladys mengatur rambut Dina yang sedikit berantakan.
“Kamu tahu, kecantikan itu bukan segalanya. Semua orang akan menjadi tua dan saat mereka tua bahkan yang cantik pun akan terlihat jelek. Yang menentukan seseorang cantik atau tidak adalah kepribadian dan hatinya. Jika kepribadianmu baik dan hatimu bersih maka kamu adalah gadis cantik yang sesungguhnya.”
Dina menundukkan kepalanya mungkin sedang merenungkan apa yang dikatakan oleh ibunya.
“Jika kamu hanya punya empat teman dan seisi kelas tidak menyukaimu maka tidak apa-apa. Kamu masih bisa melanjutkan hidupmu, kan? Kamu tidak bergantung dan berutang apapun kepada mereka, pertahankan saja keempat teman yang kamu punya.”
Dina mulai menganggukan kepalanya.
“Lingkaran persahabatan itu tidak perlu besar kok, yang penting isinya adalah sahabat-sahabat sejati yang bisa kamu percaya dan selalu berpikiran positif terhadap kamu. Itu sudah lebih dari cukup. Dan jika teman-teman sekelasmu masih mengolok-olok kamu besok, maka katakan saja kepada mereka bahwa Tuhan yang menciptakan saya, jika kalian menghina saya, saya tidak akan repot-repot membuat diri saya berdosa untuk membalas perbuatan kalian, karena Tuhan yang akan berperang dengan kalian untuk membela saya.”
Tangis Dina kembali jatuh mendengar perkataan ibunya itu. Ia spontan memeluk ibunya erat.
“Iya Ma… Dina akan mengatakan seperti itu kepada mereka.”
Perkataan Gladys memberikan kekuatan baru kepada Dina untuk menghadapi perundungan yang menimpanya di sekolah.
“Sekarang jangan menangis lagi ya. Hadapi mereka dengan berani. Tunjukkan bahwa kata-kata perundungan yang mereka tujukan kepadamu sama sekali tidak bisa menghancurkanmu!”
Dina menanggukan kepalanya dan tersenyum kepada Gladys.
“Mama tahu kamu bisa mengatasi ini. Kamu anak yang kuat yang berjuang bersama mama sejak kamu masih kecil. Jika hal yang besar mampu kamu lewati maka hal kecil seperti ini tentu tidak akan mampu untuk mengalahkanmu.”
“Iya ma, terima kasih ya karena mama juga sudah sangat kuat selama ini demi Dina dan kakak.”
Air mata Gladys perlahan jatuh. Dina menyeka air mata Gladys dengan jarinya.
Mereka berdua kembali berpelukan erat selama beberapa saat.
“Tidur lagi yuk Na, sudah mau jam empat ini…” usul Gladys.
“Iya ma, semoga Dina masih bisa tidur lagi. Biasanya kalau sudah terbangun gini sudah nggak akan bisa tidur lagi tuh sampai pagi.”
“Mama juga, tapi dicoba sajalah…”
Mereka berdua kemudian tertawa bersama.
Mereka memejamkan mata berharap bisa segera tertidur kembali. Gladys kemudian menoleh ke arah Dina dan mendapati bahwa anak itu sudah kembali tertidur.
Gladys tersenyum melihat pemandangan itu.
“Katanya kalau sudah terbangun bakalan susah tidur lagi, buktinya ini baru lima menit sudah ketiduran lagi, Na... Na…” kata Gladys pelan.
Gladys terjaga hingga matahari terbit. Ia sama sekali tidak bisa tidur lagi.