Impian Mama

2528 Kata
Agustus 2004 Sore itu Gladys pulang kantor dengan mata berbinar. Ia masuk ke rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Oscar dan Dina yang sedang menonton TV memperhatikan sikap ibunya yang sangat tidak biasa itu. Mereka saling pandang satu sama lain. Oscar memberi kode kepada Dina dengan mengangkat sebelah alisnya, sementara Dina membalasnya dengan mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. “Mama…” panggil Dina. Gladys yang terkejut segera menghentikan nyanyiannya, “Iya…” jawabnya kemudian. “Mama lagi senang ya?” Tanya Dina dengan polos. Gladys malah balik bertanya, “Kelihatannya begitu ya?” “Iya…” jawab Dina dan Oscar kompak. “Sebentar mama akan tunjukkan sesuatu pada kalian,” Gladys berjalan cepat meraih tas selempang yang tadi ia bawa ke kantor yang sudah diletakkannya di meja makan. Ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas itu. “Coba kalian lihat ini,” Gladys menyerahkan kertas itu kepada Oscar. Oscar meraih kertas itu dan membacanya. Ternyata itu adalah sebuah brosur perumahan. “Mama mau beli rumah?” Tanya Oscar. Gladys tersenyum kecil sambil menganggukan kepala. “Uangnya ada?” Tanyanya lagi. “Kalau harganya segitu, bisa sekarang malah!” kata Gladys dengan mantap. Oscar dan Dina terkejut. Mereka sampai membelalakan mata mendengar kata-kata ibu mereka itu. “Yang benar, Ma?” Dina terlihat sangat bersemangat. “Ada, Na. Masa mama bohong sih? Tapi jangan dibicarakan ke siapa-siapa dulu ya. Ini baru sebatas rencana, kan? Takutnya tidak cocok, nanti malu lagi sudah kepalang cerita ke semua orang. Rencana ini juga tidak boleh sampai bocor ke papa ya…” “Jadi kapan kita akan melihat-lihat ke sana?” Tanya Dina. “Sabtu ini sepertinya bisa ya…” Jawab Gladys dengan penuh harap. “Oke Ma…” jawab Dina dan Oscar bersamaan. Gladys memperoleh brosur perumahan itu di kantornya. Beberapa tenaga pemasaran dari perumahan itu datang ke kantor Gladys untuk mempromosikan perumahan baru itu. Memang perumahan itu letaknya agak jauh dari pusat kota, kira-kira tiga puluh kilometer. Itu yang menyebabkan harga rumah di sana cukup murah. Gladys tidak peduli meskipun letaknya bukan di pusat kota seperti perumahan dinas anggota TNI yang selama ini mereka tempati. Ia hanya ingin pindah dari rumah yang menyimpan semua kenangan pedih antara ia dan Herman. Apalagi Herman pernah mengancam akan mengusir mereka dari rumah itu beberapa bulan yang lalu. Meskipun kenyataannya telah lima bulan berlalu setelah kejadian itu ia belum datang lagi, namun Gladys menganggap serius ancaman itu sehingga tekadnya menjadi sangat bulat untuk segera membeli rumah sendiri. Dina dan Oscar sangat bersemangat terkait rumah yang akan dibeli oleh ibu mereka itu. Dina membayangkan bisa memiliki kamar sendiri karena selama ini ia terus menumpang di kamar orang lain, mulai dari menumpang di kamarnya Oscar saat ia masih kecil dan kini menumpang di kamar ibunya. Hari berlalu dengan cepat. Hari yang ditunggu oleh mereka bertiga pun tiba. Gladys telah membuat janji dengan seorang tenaga pemasar perumahan itu. Sehari sebelumnya pun Gladys sudah pergi ke bank untuk menarik sejumlah uang yang akan dijadikan uang muka pembelian rumah. Mereka berangkat dari rumah sekitar pukul 09.00 pagi. Mereka bertiga pergi dengan naik angkot. Lokasi perumahan yang berada di pinggiran kota membuat mereka harus berganti angkot sampai tiga kali. Begitu turun dari angkot yang ketiga, mereka melihat tenaga pemasar itu telah menunggu mereka di tepi jalan. Ia datang untuk menjemput mereka. Ternyata lokasi perumahan itu bukanlah di tepi jalan raya, melainkan berada di dalam lorong yang jaraknya sekitar lima menit perjalanan dengan mobil dari tempat mereka turun dari angkot yang terakhir. Sekarang Gladys mengerti mengapa perumahan ini sangat gencar melakukan pemasaran. Lokasinya terbilang jauh, namun akses jalan ke sana sudah di aspal. Setelah menempuh perjalanan sebentar dengan menumpang mobil dari tenaga pemasar itu, mereka akhirnya tiba di lokasi perumahan. Lahan luas terhampar di depan mereka. Lahan itu sudah dikaveling dan setiap kaveling sudah ditandai nama unitnya dengan papan kayu. Di lahan yang luas itu hanya ada satu buah rumah yang sudah jadi. Rumah yang sudah jadi itu adalah show unit atau rumah contoh, sehingga calon pembeli mendapat gambaran seperti apa rumah mereka nanti. “Mari bu, Anggita antarkan untuk melihat show unit-nya,” kata tenaga pemasar itu dengan ramah. Gadis itu bernama Anggita, usianya sekitar dua puluh tahunan dengan paras yang cantik, tubuh tinggi dan langsing. Mereka berempat berjalan menuju ke rumah contoh yang dimaksud oleh Anggita. Begitu mereka memasuki rumah itu ternyata rumah itu juga berfungsi sebagai kantor pemasaran dan ada beberapa orang yang tampak sedang bekerja di sana. “Jadi rumah ini luas bangunannya adalah tiga puluh enam meter persegi. Panjang dan lebarnya masing-masing adalah enam meter. Terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi yang letaknya berada di antara kedua kamar, dan sisanya adalah ruang lapang yang bisa di atur sesuka hati oleh pemilik,” Anggita menjelaskan. “Rumah ini belum dilengkapi dapur dan pagar ya, Bu. Pemilik yang nanti akan membangunnya sendiri. Luas tanahnya adalah seratus dua puluh meter persegi, atau delapan kali lima belas. Pemilik masih dapat dengan leluasa membuat perluasan bangunan dengan tanah sebesar itu,” Gladys tampak mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Anggita itu. “Bagaimana dengan listrik dan airnya?” Tanya Gladys. “Kami melengkapi rumah ini dengan listrik berdaya 900 VA, sementara untuk airnya kita menggunakan air dari PDAM. Airnya lancar kok Bu, tapi kalau mau yang lebih kencang lagi bisa ditambah dengan sumur bor,” Gladys dan kedua anaknya berkeliling untuk melihat show unit itu. Rumah itu cukup bagus, tidak terlalu besar namun sebanding dengan harganya yang murah. “Ibu mau melihat-lihat ke lokasi pembangunan?” Tanya Anggita. “Iya boleh,” jawab Gladys. Anggita membawa mereka melihat-lihat di lahan pembangunan. Beberapa kaveling tampak sudah digali untuk pembuatan pondasi rumah. “Sudah berapa unit yang terjual?” Tanya Gladys berbasa-basi. “Sejauh ini sudah sekitar sepuluh, Bu. Dari kantor ibu juga sudah ada satu orang yang membeli." ”Wah… Lumayan juga ya, diperkirakan jika semua terjual akan ada berapa rumah di sini?” “Mungkin sekitar enam puluhan ya Bu, soalnya lahan kami ini juga tidak begitu besar.” Mereka sudah berkeliling lokasi perumahan itu sekitar satu jam, Dina dan Oscar tampak sudah haus dan lelah. Anggita yang memperhatikan gelagat kedua anak itu kemudian berkata dengan ramah, “Dik, nanti di kantor akan disediakan minuman dan cemilan, sabar sebentar ya, Mama masih pilih-pilih lokasi tuh…” Dina dan Oscar menyambut tawaran itu dengan senyum dan anggukan kepala. “Di sini sajalah…” Gladys menunjuk ke salah satu kaveling. “Ini blok C nomor 3, Bu. Ibu yakin mau di sini? Kenapa tidak yang nomor 1 saja biar rumah Ibu menjadi rumah yang paling awal di blok C ini?” “Saya suka angka 3. Jadi blok C, blok yang ketiga dan rumah nomor 3.” Jawab Gladys. “Adakah filosofi khusus dari angka 3, Bu?” “Sebenarnya tidak ada, itu karena kami hanya bertiga makanya saya suka angka 3,” “Begitu ya?” Gladys hanya mengangguk sambil tersenyum kecil tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Mereka lalu kembali ke rumah contoh yang merangkap sebagai kantor pemasaran untuk menyelesaikan proses administrasi. Di sana Oscar dan Dina dijamu dengan berbagai cemilan dan minuman ringan. Sementara Gladys mengisi formulir dan melengkapi beberapa berkas, mereka berdua makan cemilan sepuasnya. “Jadi harga cash rumahnya lima puluh lima juta rupiah ya, Bu. Ibu bisa memilih jenis pembayaran yang Ibu mau, apa melalui KPR bank pemerintah, kredit bank swasta atau kredit bertahap langsung kepada kami di sini. Untuk kredit melalui bank Ibu bisa mendapat tenor hingga sepuluh tahun dan apabila Ibu mengambil kredit bertahap melalui developer Ibu hanya mendapat tenor paling lama dua belas bulan.” Gladys mendengarkan penjelasan Anggita dengan seksama. Anggita lalu menyerahkan selembar kertas yang berisi simulasi kredit yang lebih detail. Gladys membaca kertas itu dengan serius selama beberapa menit. “Kalau kredit bertahap ke developer tiga bulan tidak dikenai bunga ya?” “Iya benar Bu, karena menurut perhitungan kami rumah selesai dibangun dalam waktu tiga bulan sehingga pada bulan keempat saat kami akan melakukan penyerahan kunci rumah, rumahnya sudah selesai dicicil, makanya tidak kami kenai bunga.” “Lalu cara pembayarannya?” “Jadi untuk kredit bertahap yang tidak dikenai bunga itu seperti ini ya Bu. Ibu membayar uang muka sebesar dua puluh lima juta rupiah. Uang muka tersebut dianggap sebagai tanda jadi. Kemudian semua berkas yang Ibu masukkan kami periksa dulu. Bila dianggap memenuhi syarat, maka Ibu akan kami hubungi kembali untuk segera melakukan pembayaran cicilan bulan pertama,” “Cicilannya sepuluh juta per bulan ya?” “Iya, benar sekali Bu.” “Bila berkas Ibu tidak memenuhi syarat, maka uang muka yang sudah Ibu serahkan diawal akan kami kembalikan dengan potongan sebesar lima ratus ribu rupiah pengganti biaya administrasi,” “Baik, saya mengerti.” Jawab Gladys. “Kalau begitu saya ingin mengambil unit yang tadi saja,” Gladys lalu membuka tasnya dan mengeluarkan tiga gepok uang terdiri dari dua gepok uang pecahan seratus ribuan dan segepok uang pecahan lima puluh ribuan, yang totalnya adalah dua puluh lima juta rupiah. Oscar dan Dina terkejut melihat Ibu mereka mengeluarkan uang sebanyak itu dari dalam tasnya. Mereka tidak pernah melihat uang sebanyak itu sebelumnya. Mereka sendiri bingung dari mana ibu mereka memperoleh uang sebanyak itu. Setelah menyelesaikan urusan di sana, Gladys dan kedua anaknya pun pulang. Mereka diantar oleh Anggita sampai ke jalan raya dan mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan angkot. Dalam perjalanan pulang Dina berbisik kepada ibunya, “Dina lapar, Ma…” “Sebentar lagi ya, sudah tidak lama lagi kok kita akan sampai di rumah,” Gladys balas berbisik. Begitu tiba di rumah, Oscar yang diliputi penasaran dengan uang banyak tadi segera memberondong ibunya dengan banyak pertanyaan. “Ma, uang banyak yang tadi uang mama semua?” “Tidak semua punya mama, tetapi sebagian besar punya mama,” “Uang dari mana?” “Jadi mama dan papa mulai menabung uang itu sejak Oscar masuk SD di tahun 1994. Itu uang dari gaji kami berdua. Papa masih ikut menabung bersama mama sampai sesaat sebelum papa pergi. Setelah papa pergi, tinggal mama sendiri yang melanjutkan rencana itu. Jadi mama berhemat sampai bisa menabung. Bahkan sampai gaji mama yang bulan ini sudah langsung mama sisihkan di awal bulan yang mana yang harus masuk ke tabungan,” “Jadi sudah sepuluh tahun ya Ma?” “Iya, Nak. Makanya jangan heran kalau selama ini kita hidupnya tidak bisa berfoya-foya seperti orang lain. Mama sedang berjuang untuk bisa membeli rumah milik kita sendiri. Jika rumah itu sudah terbayar lunas, maka mama tidak perlu berhemat seketat sekarang. Mama akan berhemat dengan sewajarnya.” “Apa uang yang mama miliki sekarang sudah cukup untuk membayar lunas rumah itu?” “Iya, sudah.” “Baguslah kalau begitu,” Oscar pun beranjak dari kursinya dan masuk ke kamarnya. Oscar terlihat tidak begitu senang sore itu. Gladys penasaran dengan apa yang terjadi dengan anaknya itu. Ia hendak menanyakannya tetapi ia mengurungkan niat itu karena ia harus memasak makan malam untuk mereka bertiga terlebih dahulu. Selesai memasak makan malam, mereka bertiga duduk untuk makan malam bersama. Gladys berpikir bahwa ini adalah kesempatan untuk bertanya kepada Oscar. “Oscar, mama mau tanya. Apa Oscar tidak senang jika kita pindah kesana?” “Kalau Oscar merasa tempat itu terlalu jauh, Ma.” “Kalau Dina mungkin akan sedih jika nanti harus pindah dari sini,” Dina menimpali. “Iya nak, tempat itu memang jauh. Selain itu pindah rumah memang kadang membawa kesedihan juga. Tetapi kalian harus tahu bahwa kita tidak mungkin selamanya tinggal di rumah dinas ini. Bisa jadi suatu hari papa datang untuk menempati rumah ini lagi karena ini memang haknya atau kelak nanti papa pensiun kita tidak berhak untuk menempati rumah ini lagi. Cepat atau lambat kita memang akan pindah dari sini, karena rumah ini bukan milik kita.” “Tetapi kenapa harus di tempat yang sejauh itu, Ma?” rengek Oscar. “Sebenarnya mama juga tidak ingin pindah ke pinggiran kota seperti itu, tetapi kita tidak punya opsi lain jika menginginkan rumah dengan harga semurah itu. Kita tidak akan mendapatkan rumah di dalam kota dengan harga serendah itu. Ada banyak perumahan memang yang letaknya di dalam kota, tapi apa mama mampu membelinya? Harga perumahan di dalam kota itu sekitar tiga kali lipat dari harga rumah yang tadi. Sekarang mama sudah berumur empat puluh tujuh tahun, mama akan pensiun sembilan tahun lagi. Mama tidak mungkin mengambil cicilan bank sepuluh tahun. Bank tidak akan memberikan itu, sehingga hanya inilah satu-satunya yang dapat mama upayakan. Mama harap kalian bisa mengerti. Jika ada lagi yang ingin kalian tanyakan, nanti kita bicara setelah makan malam ya. Sekarang ayo kita makan dulu…” “Tapi Dina ingin kamar sendiri, Ma…” Sekarang gentian Dina yang merengek kepada mamanya. Gladys menatap Dina lalu tersenyum dan berkata, “Dina sudah tidak mau tidur sama mama lagi ya? Dengar ya Na, rumah itu kan tanahnya masih luas. Mama bisa melakukan perluasan rumah kelak jika sudah memiliki uang lagi. Jadi untuk sekarang sabar dulu ya jika kamu masih harus gabung sama mama…” Dina tidak menjawab, ia hanya menganggukan kepala lalu melanjutkan melahap makanannya. Sejak Gladys memberikan penjelasan itu, Oscar dan Dina tidak lagi mengeluhkan tentang letak rumah itu yang terlalu jauh dari pusat kota atau jumlah kamar di rumah itu yang hanya ada dua saja. Mereka bisa memahami alasan ibunya yang segera mengambil keputusan untuk memiliki rumah itu. Dua minggu setelah itu, Anggita menghubungi Gladys untuk memberitahukan bahwa berkas-berkas yang ia masukkan sudah selesai diperiksa oleh management. Ia dinyatakan layak untuk meneruskan proses pemilikan rumah itu. Ia pun diminta untuk membawa uang cicilan bulan pertamanya. Gladys pergi untuk mengantarkan uang itu pada suatu hari kerja dengan meminta izin untuk keluar sebentar kepada atasannya. Ia juga melihat-lihat ke lokasi pilihannya. Ia mendapati pada kaveling pilihannya sudah dibangun pondasi. Yang berarti bahwa pembangunan rumah akan segera dimulai. Gladys rutin untuk datang membayar cicilan rumah itu pada setiap awal bulan. Setiap kali ia datang ia melihat progress yang sangat signifikan dari pembangunan rumahnya. Pada bulan ketiga saat ia datang untuk mengantarkan uang cicilan terakhirnya, ia mendapati bahwa bangunan rumah itu sudah sepenuhnya rampung dan tinggal menunggu pengecatan tembok luar dan dalamnya saja.       Desember 2004 Anggita menghubungi Gladys untuk memberitahukan bahwa rumahnya sudah rampung sepenuhnya, Gladys dapat mengunjungi kantor pemasaran untuk mengambil kunci rumahnya dan bersama-sama dengan Anggita mengurus surat kepemilikan rumah tersebut di notaris yang menjadi mitra dari pengembang perumahan itu.  Tanpa menunggu lama Gladys segera melakukan hal itu. Dalam dua minggu surat kepemilikan rumah tersebut sudah berada di tangan Gladys. Ia senang bukan kepalang. Rumah itu di cat dengan warna putih di bagian luar dan dalamnya. Kusen jendela dan daun pintu di cat dengan warna coklat tua. Sementara sengnya berwarna merah. Rumah mungil itu kini telah sah menjadi milik Gladys. Ia senang bahwa jerih lelahnya berbuah manis. Hal yang paling ia inginkan sudah menjadi kenyataan. Dina dan Oscar turut bahagia melihat kebahagiaan ibu mereka itu. Ketika Oscar bertanya kapan mereka akan menempati rumah itu, Gladys menjawab bahwa ini belum saatnya. Gladys menganalogikan rumah itu seperti sebuah benteng persembunyian mereka. Tidak ada orang yang perlu tahu bahwa mereka memilikinya, sehingga ketika mereka harus pergi dari rumah yang mereka tempati sekarang, maka benteng persembunyian itu telah siap untuk mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN