Harapan Baru

1364 Kata
Sudah beberapa hari Helen tidak datang ke kampus. Ia menelepon Dina dan mengatakan bahwa ia masih harus bolak balik ke kantor polisi untuk menyelesaikan laporan yang dibuat oleh orang tuanya terkait kekerasan yang dilakukan oleh Garry. Ia juga telah di visum di rumah sakit milik polisi terkait lebam yang ada di matanya dan luka yang ada di pinggiran bibirnya. Tanpa Helen, Dina merasa begitu kesepian. Ia berharap memiliki lebih banyak teman perempuan. Selama ini teman perempuan yang dimiliki Dina hanya Helen seorang dan sisanya adalah laki-laki. Selama Helen tidak masuk, Garry juga tidak terlihat di kampus. Helen mengatakan bahwa menurut kabar yang ia dengar, hampir setiap hari Garry dipanggil untuk menghadap ke kantor polisi karena pemeriksaannya yang belum rampung. Namun mereka berdua tidak saling dipertemukan ketika berada di kantor polisi. Helen menduga bahwa mereka berdua dipanggil pada jam yang berbeda. Biasanya saat tidak ada kelas, Dina dan Helen akan menunggu di bawah pohon ketapang sambil mengobrol. Namun kali ini karena tidak ada Helen, Dina mendapat ide untuk menghabiskan waktunya dengan pergi ke warung internet (warnet) yang ada di luar lingkungan kampus. Ketika Dina sedang asyik bermain game online, tiba-tiba seseorang menyapanya. “Sudah dua hari ini aku melihatmu di sini. Kemarin kamu bahkan datang dua kali, benar begitu kan?” Kata orang itu. Dina menghentikan permainannya dan berbalik untuk menatap orang yang menyapanya itu. “Apa aku mengenalmu?” Tanya Dina. Di samping Dina berdiri seorang laki-laki yang tidak begitu tinggi dan potongan rambut gaya curtain yang sudah ketinggalan zaman. Wajahnya berbentuk oval dengan pipi yang sedikit tembam dan mata sipit. Ia memiliki cukup banyak jerawat di wajahnya dan kumis tipis di atas bibirnya. Ia tidak begitu tinggi dengan berat badan yang terlihat cukup proporsional, tidak gemuk dan tidak juga kurus. “Tidak. Kamu tidak mengenalku.” Jawabnya. “Okaay…” balas Dina dengan bingung. “Kenapa kita tidak berkenalan saja?” usul laki-laki itu sambil menyodorkan tangannya. Dina menyambut tangannya dan mereka berdua pun berjabat tangan. “Gilbert.” Katanya. “Dina.” Balas Dina. Gilbert lalu mengambil tempat duduk tepat di samping Dina. Ia lalu melakukan log in ke komputer yang ada di mejanya. “Kamu mahasiswa di sini juga?” Tanya Dina. “Iya.” Jawab laki-laki itu dengan ramah. “Aku tingkat dua. Kamu anak baru ya?” “Begitulah.” “Sebenarnya meja yang kamu gunakan itu adalah tempat favoritku. Setiap kali aku ke sini aku selalu menggunakan meja itu. Tetapi sudah dua hari ini aku tidak duduk di meja itu karena kamu mendahuluiku.” Terangnya. “Oh begitu ya.” Ujar Dina. “Satu jam lagi aku akan masuk kelas dan kamu bisa mendapatkan mejamu kembali.” “Tidak apa-apa. Kamu bisa menggunakannya. Kamu datang lebih dulu, kamu bebas memilih meja mana pun yang kamu mau.” “Aku suka meja ini karena letaknya di pojok.” Meja yang di pilih Dina terletak di pojok ruangan. Dina suka dengan letaknya karena Dina merasa lebih leluasa dan tidak terganggu dengan orang yang lalu lalang. “Aku juga.” Balasnya. “Kamu jurusan apa?” Tanya Dina. “Teknik Informatika, sama sepertimu.” Jawab Gilbert. “Dari mana kamu tahu aku dari jurusan itu?” Dina sedikit terkejut. “Dari buku-buku yang kamu bawa. Satu tahun yang lalu aku juga menggunakan buku yang sama, makanya itu terlihat sangat familiar bagiku.” “Begitu ya.” Gilbert pun mengangguk. “Kamu ke sini untuk bermain atau mau mengerjakan tugas?” Tanya Dina lagi. “Aku hanya mau menonton. Aku biasa menonton film kartun atau anime di youtube. Bagaimana denganmu?” “Ya kadang aku bermain, kadang menonton video-video konser artis Korea, apa saja untuk mengisi waktu.” “Apa semua perempuan melakukan itu?” “Kenapa?” Tanya Dina dengan bingung. “Aku selalu melihat anak perempuan menonton video konser artis Korea di youtube ketika mereka berada di warnet.” “Tidak semua. Buktinya ada teman perempuanku yang tidak menyukai hal-hal berbau Korea.” Perkataan Dina merujuk kepada Helen yang memang sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada artis Korea ketika hampir semua gadis tergila-gila akan hal itu. Gilbert tampak sedang mencari-cari film yang ingin ditontonnya. “Hampir semua sudah pernah aku tonton.” Katanya kemudian. “Bagaimana kalau mencoba hal yang baru?” usul Dina. “Misalnya?” “Menonton video konser artis Korea, hahaha…” Jawab Dina kemudian tertawa. Gilbert ikut tertawa mendengar saran dari Dina itu. “Aku tidak akan melakukannya. Aku akan kehilangan maskulinitasku jika melakukan itu.” “Begitulah anak laki-laki. Gengsian!” Ledek Dina. Gilbert kembali tertawa mendengar perkataan Dina. “Kamu lucu juga ternyata…” ucapnya. Wajah Dina seketika memerah karena ucapan Gilbert itu. Belum pernah ada laki-laki lain yang mengatakan bahwa ia lucu sebelumnya. Hanya Helen yang biasanya memuji Dina seperti itu. “Boleh aku minta nomor teleponmu?” ujar Gilbert kemudian. Dina terkejut dengan spontanitas dan rasa percaya diri yang ditunjukkan oleh laki-laki itu. Wajah Dina kembali memerah karena malu namun ia menyembunyikannya dengan cara mendekat ke arah layar monitornya. Sekat yang ada di antara meja satu dengan meja yang lainnya dapat membantu Dina menyembunyikan wajahnya. “Aku ingin mengobrol denganmu lagi kapan-kapan.” Gilbert melanjutkan. Jantung Dina tiba-tiba berdebar kencang mendengar kalimat yang diucapkan oleh Gilbert itu. Ia merasa bahwa ini terjadi begitu cepat. Ia bahkan baru mengenal Gilbert beberapa menit yang lalu namun laki-laki itu sudah meminta nomor teleponnya. Dina merasa bimbang apakah ia harus memberikan nomor teleponnya kepada Gilbert atau tidak. “Boleh nggak nih?” Gilbert bertanya lagi. “Eh iya boleh.” Dina akhirnya memutuskan untuk memberikan nomor teleponnya kepada Gilbert. Gilbert mengeluarkan sebuah ponsel mahal keluaran brand Amerika dari sakunya dan memberikannya kepada Dina. “Ketik nomormu di sini.” Perintahnya. Dina pun menuruti perintah Gilbert. Setelah itu ia mengembalikan ponsel Gilbert kembali. Gilbert menelepon ke nomor Dina dan ponsel Dina pun berdering. “Itu nomorku. Nanti di save ya!” Dina mengangguk. Dina melihat ke arah jam di dinding dan itu menunjukkan bahwa kelasnya akan di mulai dalam lima belas menit. “Gilbert, aku mau masuk kelas dulu ya.” Pamit Dina kepada laki-laki itu. “Okay. Lain kali kita bertemu lagi ya…” balasnya. Dina mematikan komputer yang dipakainya dan pergi membayar tagihan warnetnya di kasir. Dina berjalan santai menuju kembali ke kampus. Ia tidak harus berjalan dengan terburu-buru karena kelasnya kali ini terletak di lantai satu, tidak seperti biasanya yang berada di lantai lima. “Laki-laki tadi lucu juga…” kata Dina dalam hati sambil mengingat kembali wajah Gilbert. “Tetapi apa benar aku selucu itu atau dia hanya berbasa-basi?” “Ahhh mari lihat nanti. Jika dia tidak menghubungiku berarti yang tadi itu hanya sekedar basa-basi, namun jika dia menghubungiku berarti dia memang bersungguh-sungguh dengan perkataannya.” “Hmmm… Seandainya saja Helen ada di sini… Dia sangat pintar untuk diajak berdiskusi mengenai hal-hal semacam ini. Helen, cepatlah kembali!” ucap Dina masih dalam hatinya. Dina masuk kelas dan duduk di tempatnya yang biasa. Namun tidak lama kemudian asisten dosen yang mengajar kelas tersebut datang untuk memberi pengumuman bahwa kelas hari itu dibatalkan. Dina merasa senang dengan pembatalan kelas hari itu. Ia bergegas untuk menuju ke warung internet yang tadi dengan harapan ia dapat bertemu dengan Gilbert lagi. Dina berlari dengan cepat. Tubuhnya yang besar membuat ia dengan cepat merasa kelelahan. Begitu ia tiba di sana, ia mendapati Gilbert sudah berdiri dari kursinya dan hendak membayar di kasir. “Loh kok balik lagi?” Tanya Gilbert dengan heran begitu melihat Dina yang berdiri di ambang pintu warnet. “Ada barangmu yang ketinggalan ya?” “Tidak. Kelasku dibatalkan. Dosennya tidak masuk.” Terang Dina. “Wah kamu jadi bisa main lagi ya…” balas Gilbert. Dina mengangguk pelan namun dalam hati ia berkata, “Aku tidak datang untuk bermain. Aku datang untuk melihatmu lagi.” “Kelasku yang berikut akan dimulai setengah jam lagi.” Kata Gilbert. “Aku juga.” Dina mengiyakan. “Kalau begitu kita mengobrol saja yuk, ketimbang main game lagi waktunya udah mepet juga…” usul Gilbert. Mereka berdua kemudian mengambil tempat duduk di bangku panjang yang ada di depan pintu masuk warnet. Mereka duduk bersebelahan dan Dina merasa begitu canggung berada di dekat laki-laki yang baru dikenalnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN