Gilbert Yang Manis

1853 Kata
Dina dan Gilbert meninggalkan kompleks perumahan dinas anggota TNI tempat Dina tinggal. Gilbert mengendarai motor sementara Dina duduk di belakang dan meletakkan tas punggung yang dibawanya di bagian tengah. Gilbert tersenyum dan melihat Dina dari kaca spion motornya. Dina tak sengaja melihat senyuman Gilbert itu. Wajah Dina seketika memerah. “Kenapa kamu tersenyum seperti itu?” Tanya Dina. “Aku merasa lucu saja.” Jawabnya. “Lucu apanya?” “Lucu ketika kita berboncengan seperti ini dan kamu menaruh tasmu di jok seakan-akan tas itu juga penumpang.” “Aku hanya membuat langkah pencegahan.” Kata Dina. “Hahahaha…” Gilbert tertawa keras. “Aku mengerti, kamu tidak perlu menjelaskannya.” Dina menundukkan kepalanya karena malu. Ia sengaja menaruh tasnya di bagian tengah untuk menghindari terjadinya sentuhan fisik di antara mereka berdua dan Gilbert cukup pintar untuk memahami itu. “Jadi kita ke mana nih?” Tanya Gilbert kemudian. “Tadi katanya mau menonton, berarti ke bioskop-lah…” jawab Dina dengan polos. “Iyaaa, bioskop kan tidak hanya satu. Kamu maunya ke bioskop yang mana?” “Yah yang mana saja.” Gilbert kembali tertawa mendengar jawaban Dina. “Dasar perempuan, tidak bisa membuat keputusan!” ledeknya. Dina memonyongkan bibirnya kemudian berkata, “Kalau sudah tahu, kenapa bertanya sejak awal!” “Hush… Jangan merajuk di kencan pertama!” Dina terkejut mendengar perkataan Gilbert itu. Perkataan Gilbert membuat wajahnya kembali memerah. “Kencan pertama? Benarkah?” Tanya Dina dalam hati. “Apa aku tidak salah dengar ya?” Dina kembali membatin. Setelah itu mereka berdua saling diam untuk sesaat karena sama-sama merasa canggung, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah mall. Gilbert mengambil karcis parkir di mesin karcis otomatis kemudian bertanya kepada Dina. “Di sini saja ya?” Ia kemudian menjalankan motornya dengan perlahan dan memasuki lahan parkir. “Kita bahkan sudah masuk, apa perlu untuk bertanya lagi?” Dina balas bertanya. Gilbert kembali tertawa mendengar perkataan Dina itu. Setelah memarkirkan motor di tempat parkir khusus motor, Gilbert melihat Dina sedikit kesulitan untuk melepas helmnya. Gilbert pun membantu Dina untuk melepaskan helm itu. Jantung Dina berdetak sangat kencang ketika wajah Gilbert berada sangat dekat dengan wajahnya. “Kamu gugup ya?” Tanya Gilbert begitu ia selesai melepaskan helm Dina. “Memangnya kenapa?” Dina balas bertanya. “Aku bisa mendengar suara jantungmu!” katanya kemudian tertawa. Dina kembali memonyongkan bibirnya namun wajahnya yang memerah tidak bisa ia sembunyikan. “Ayo kita masuk!” ajak Gilbert sambil menggenggam tangan Dina dan menariknya ikut bersama dengannya. Dina berjalan sedikit di belakang Gilbert sambil terus memandangi tangan mereka yang masih saling bertaut. “Mau nonton atau makan dulu?” Tanya Gilbert membuyarkan lamunan Dina. “Eh, mmm… Gimana ya?” Dina tergagap. “Aku sih masih kenyang tapi kalau kamu sudah lapar, tidak apa-apa kita makan dulu.” Balas Dina. “Aku juga masih kenyang sih, kalau begitu kita menonton dulu ya!” Mereka berdua berjalan menuju ke bioskop yang terletak di lantai dua mall tersebut. “Mau nonton film action atau film drama?” Gilbert meminta Dina memilih. “Yang mana saja boleh…” “Sudah ku duga kamu akan menjawab seperti itu lagi.” Mereka berdua berjalan menuju ke counter penjualan tiket dan mengantri di sana. Antrian tidak begitu panjang karena kebanyakan orang suka menonton di Sabtu malam sementara saat itu baru jam empat sore. Saat sedang mengantri Gilbert tidak melepaskan genggamannya dari tangan Dina. Setelah membeli tiket, mereka pergi ke counter makanan untuk membeli camilan. “Aku tahu kamu akan mengatakan terserah. Jadi sekarang aku hanya akan bertanya satu hal padamu, kamu punya alergi makanan tidak?” Dina menggelengkan kepala. “Berarti kamu bisa makan semua ya?” Gilbert memastikan. Dina pun mengangguk. Gilbert lantas membeli berondong jagung manis dalam kemasan berukuran besar dan dua minuman bersoda berukuran besar pula. “Popcorn-nya tidak perlu yang sebesar itu kan!” protes Dina. “Kalau nanti habis di tengah-tengah film kan nggak enak.” Balas Gilbert. Dina mengambil berondong jagung yang diberikan oleh petugas counter sementara Gilbert membawa minumannya. Mereka kemudian berjalan menuju teater tempat film mereka ditayangkan. “Masih lima menit lagi kan?” Tanya Dina. “Iya. Kita menunggu di depannya saja.” “Okay.” Ketika mereka tiba di depan pintu teater, beberapa orang yang akan menonton film yang sama juga telah menunggu di tempat itu sehingga tampak sedikit ramai di sana. Tiba-tiba Dina melihat wajah yang sangat familiar. Seorang laki-laki sedang duduk sendirian di lantai sambil memainkan ponselnya sehingga tidak memperhatikan sekelilingnya. Itu adalah Kevin. Dina segera memalingkan wajahnya dan di saat yang sama Kevin mengangkat wajahnya dan menyadari keberadaan Dina. Dina menatap ke arah Kevin lagi dan tepat pada saat itu mata mereka berdua saling bertemu. “Dina…” Dina dapat melihat gerakan bibir Kevin yang sedang mengucapkan namanya. Dina kembali memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin Kevin merusak kebahagiaannya hari ini. “Pintunya sudah dibuka, ayo kita masuk.” Ajak Gilbert. Gilbert dan Dina segera mengantri untuk masuk dan Kevin juga ikut mengantri. Namun ia berada dua orang di belakang mereka. Begitu masuk ke dalam bioskop, secara kebetulan Kevin ternyata duduk sejajar dengan mereka. Gilbert dan Dina duduk di sayap kanan sedangkan Kevin di sayap kiri namun bangku mereka benar-benar sejajar. Dina bisa melihat bahwa Kevin sesekali menatap ke arahnya. Dina menarik napas panjang kemudian mengembuskannya lagi. Tindakan Dina ini menarik perhatian Gilbert. “Kenapa?” Tanya Gilbert. “Masih deg-degan berada di dekatku?” Dina mengangguk dan tersenyum kecil. Ia terpaksa berbohong kepada Gilbert. Hal yang meresahkan hatinya adalah Kevin. Memang benar tadi ia gugup bercampur senang karena semua perlakuan Gilbert kepadanya, namun kali ini yang ia rasakan hanyalah keresahan menjadi-jadi karena melihat Kevin berada di dekat mereka. “Tidak usah gugup begitu. Aku tidak akan macam-macam kok meskipun nanti lampu teaternya dimatikan.” Ujar Gilbert untuk menenangkan Dina. Dina takut jikalau nanti Kevin datang mendekatinya dan membahas urusan lama mereka berdua di hadapan Gilbert. Sementara Dina merasa dirinya kini sudah siap untuk memulai hubungan yang baru dengan Gilbert. Ia tidak ingin kesempatannya hilang hanya karena kemunculan Kevin. Beberapa saat kemudian lampu teater dimatikan dan film pun di mulai. Dina benar-benar tidak bisa berkonsentrasi pada filmnya. Sementara Kevin tidak berhenti memandang Dina. Film action yang berdurasi sembilan puluh menit itu berlalu begitu saja tanpa bisa dinikmati oleh Dina. Yang dapat Dina lakukan sepanjang film hanyalah memakan berondong jagung itu. Begitu film selesai, lampu teater pun kembali dinyalakan. “Kamu senang?” Tanya Gilbert. Dina mengangguk disertai senyuman yang dipaksakan. “Sekarang lapar tidak?” Dina melihat Kevin masih duduk di tempatnya. “Kalau aku tidak lapar, apa kita akan menonton film lagi?” Tanya Dina. Gilbert menggelengkan kepalanya. “Lebih baik kita naik choo-choo train saja!” jawab Gilbert sambil menarik tangan Dina untuk bangkit dari kursinya. Choo-Choo Train adalah kereta mainan yang beroperasi di dalam mall yang biasa dinaiki oleh anak-anak. Dina tergelak mendengar guyonan Gilbert itu. Mereka berdua pun berjalan keluar dari teater itu. Dina mencuri pandang dan melihat Kevin masih berada di tempat duduknya. Mereka berdua berjalan mengelilingi mall untuk mencari restoran mana yang ingin mereka singgahi. “Ada yang lupa!” seru Gilbert tiba-tiba. “Apa?” Dina menjadi panik. “Ponsel ya?” Tanya Dina. “Aku lupa memegang tanganmu!” jawab Gilbert kemudian meraih tangan Dina dan memegangnya. Wajah Dina kembali memerah. “Kamu membuatku malu…” kata Dina, pelan. “Apa aku baru membuatmu malu?” bisik Gilbert di telinga Dina. “Apa aku belum membuatmu jatuh cinta?” lanjutnya. Mata Dina terbelalak lebar mendengar pertanyaan Gilbert itu. Ia tidak menyangka akan mendengar kalimat semacam itu dari orang yang baru dikenalnya selama lima hari. “Kita tidak sedang buru-buru, kan?” balas Dina. Dina berusaha untuk mempertahankan rasionalitasnya. Ia tidak ingin terbawa perasaan secepat itu. Langkah mereka kemudian terhenti di depan sebuah restoran Jepang. “Makanan Jepang mau tidak?” Tanya Gilbert. “Nggak ah!” tolak Dina. “Aku tidak suka makanan Jepang, apalagi yang mentah.” “Akhirnya aku mendengar kamu menolak, sejak tadi kan kamu iya-iya aja!” “Khusus yang satu ini aku tidak bisa bertoleransi.” Ujar Dina kemudian tertawa. “Baiklah. Jadi kalau begitu kamu mau makan apa? Kamu deh yang pilih!” “Okay!” jawab Dina dengan bersemangat. Dina mengajak Gilbert mengitari seluruh mall sebelum akhirnya ia memutuskan untuk makanan masakan Cina yang restorannya terletak tepat di samping restoran Jepang tadi. “Kita mengelilingi mall hanya untuk berakhir di sini lagi?” Tanya Gilbert, tak percaya. Lalu kemudian ia tertawa. “Perempuan memang rumit!” Mereka berdua masuk ke dalam restoran tersebut dan memesan beberapa jenis makanan. Tadinya mereka duduk berhadapan namun Gilbert kemudian pindah untuk duduk di samping Dina. Sambil menunggu makanan dihidangkan, mereka berdua mengobrol. Kali ini mereka membahas hal yang lebih privat. “Kamu pernah berpacaran?” Tanya Gilbert, memulai obrolan. “Sebelumnya hampir tapi tidak jadi.” Jawab Dina dengan polos. “Kenapa?” “Dia tidak menyukaiku.” “Benarkah? Dari mana kamu tahu?” “Dia mengatakannya sendiri, tetapi tiba-tiba dia jadi ingin berpacaran denganku. Aku pikir terlalu aneh dia berubah pikiran secepat itu, makanya aku tidak mengiyakannya.” Gilbert menganggukan kepalanya. “Gadis pintar!” pujinya. “Beberapa gadis akan terlena dan kemudian membuat keputusan tanpa berpikir. Menurutku kamu pintar.” Lanjut Gilbert. “Aku bukannya pintar, aku hanya berusaha untuk bersikap rasional saja.” Gilbert mengangguk sebagai tanda ia setuju dengan pernyataan Dina. “Apa kamu pernah berpacaran?” giliran Dina yang bertanya kepada Gilbert. “Iya. Beberapa kali.” “Kenapa itu tidak berhasil?” “Mereka semua terlalu materialistis. Mereka pikir karena orang tuaku memiliki toko, jadi kami keluarga kaya raya. Begitu mereka tahu kalau kami bukan keluarga kaya, mereka meminta untuk mengakhiri hubungan.” “Begitu ya?” Seorang pelayan kemudian datang untuk membawakan pesanan mereka. Dina sangat bersemangat melihat makanan-makanan itu. Semangat Dina membuat ia terlihat seperti anak kecil. “Ayo dimakan...” Gilbert mempersilakan. Mereka berdua menikmati makanan itu bersama-sama sambil mengobrol sampai akhirnya tidak ada makanan yang tersisa lagi di atas meja. “Kita berdua memang hebat dalam urusan makan ternyata!” ujar Gilbert. Dina tertawa. “Kamu lihat aku bisa sebesar ini karena apa, coba?” balas Dina. “Tapi kamu tetap cantik kok. Menurutku kamu cantik meskipun kamu bertubuh besar.” “Mana ada orang gendut dan cantik pada saat yang sama?” “Percayalah, aku tidak berbohong!” Selesai membayar tagihan makanan mereka di kasir, Gilbert mengajak Dina untuk pulang. “Kita pulang yuk, aku tidak mau kakak dan ibumu memarahi kita berdua.” Jam di tangan Dina menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit kala itu. Mereka berdua kemudian menempuh perjalanan pulang dan tiba di rumah beberapa menit menjelang pukul delapan. Gilbert mengantar Dina sampai ke depan pintu rumahnya, berpamitan kepada ibu serta kakak Dina, dan segera pulang. Dina benar-benar bahagia hari itu meskipun kehadiran Kevin tadi sempat merusak suasana hatinya. Pada menjelang tengah malam Dina memutuskan untuk menghubungi Helen dan menceritakan apa yang baru saja ia lalui bersama Gilbert. Helen turut bahagia jika sahabatnya itu merasa bahagia. Namun ia sangat penasaran dengan sosok Gilbert. Helen tidak sabar untuk melihat Gilbert di kampus hari Senin nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN