Bersiap Untuk Bicara

1893 Kata
Bab 62 Bersiap Untuk Bicara   Sore itu Dina tiba di rumah dan mendapati bahwa belum ada siapapun di sana. Ibu dan kakaknya masih belum pulang dari kantor. Dina meletakkan tasnya di kamar dan berjalan menuju dapur. Ia membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa ia masak hari ini. Ia ingin membantu meringankan pekerjaan ibunya dengan cara memasakkan makan malam sehingga saat ibunya tiba di rumah, makan malam sudah siap tersedia dan ibunya tidak perlu bersusah payah untuk menyiapkan makan malam lagi. Dina mengeluarkan ayam mentah yang sudah dibumbui oleh ibunya dari dalam kulkas dan menggorengnya. Ia lalu membuat sambal dabu-dabu (sambal khas Manado yang mirip dengan sambal matah dari Bali). Dina juga menemukan sayur sawi di kulkas dan memutuskan untuk menumisnya dengan ekstra bawang putih. Semua yang Dina lakukan adalah sama persis dengan yang biasa dilakukan oleh ibunya. Dina sering melihat ibunya memasak semua makanan itu sehingga ia sudah hafal cara membuatnya. Setelah lauk dan sayur selesai, Dina juga memastikan ada cukup nasi untuk dimakan oleh semuanya. Ia pun menanak nasi dengan menggunakan rice cooker untuk mempermudah pekerjaannya. Kemudian Dina membereskan dapur dan mencuci semua perlengkapan memasak yang tadi ia gunakan. Ia lantas menghidangkan makanan yang sudah jadi tersebut di atas meja makan. Saat sedang memasak dan membersihkan dapur, Dina seperti teralihkan sejenak dari semua kesedihannya. Namun kesedihan itu kembali menyelimuti dirinya ketika ia berada seorang diri di dalam kamar mandi untuk mandi setelah ia selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah ibunya. Ia merasa sedih dan lelah di saat yang sama. Ia banyak menangis hari ini dan ia juga melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh ibunya. Selesai mandi, Dina masuk ke kamar untuk berpakaian. Ia kemudian memutuskan untuk berbaring sebentar di ranjang untuk melepaskan penat sembari menunggu ibu dan kakaknya pulang agar mereka bisa makan malam bersama, namun tanpa ia sadari ia sudah tertidur. Oscar tiba di rumah dan mendapati sudah ada makanan di atas meja. Ia mengira kalau itu adalah makanan buatan ibunya. Ia langsung menyantap makanan tersebut karena mengira Dina belum pulang dan ibunya pergi keluar setelah memasak makan malam. Ketika Oscar sedang makan, Gladys tiba di rumah. “Lagi makan apa, Os?” Tanya Gladys. “Makan apa?” “Eh mama…” Sapa Oscar. “Lho bukan mama yang memasak ini?” “Lah kan mama barusan sampai rumah.” “Jadi siapa dong yang memasak ini?” Oscar balas bertanya. Gladys segera melepaskan sepatunya dan masuk ke kamar. Ia melihat Dina yang sedang tertidur. Ia lantas keluar lagi untuk memberitahu Oscar bahwa Dina yang memasak semua makanan itu. “Itu masakan Dina, Os. Dia sekarang tertidur di kamar, mungkin kelelahan.” Kata Gladys. “Aku pikir ini masakan mama. Rasa masakannya sama persis dengan rasa masakan mama soalnya.” “Masa sih?” Tanya Gladys, tak percaya. Gladys pun segera bergabung dengan Oscar di meja makan untuk menikmati makan malam. “Mirip ya!” kata Gladys. “Benarkan kata Oscar?” “Hmmm…” Balas Gladys sambil mengangguk. “Dina lagi kemasukan setan apa sih tiba-tiba mau memasak?” Canda Oscar. “Dia lagi ingin masak saja mungkin. Lagi pula kan bagus juga kalau anak perempuan suka memasak, minimal bisa memasak makanan sederhana seperti ini lah.” Oscar tersenyum dan mengangguk kemudian dengan mulut yang masih dipenuhi makanan Oscar pun berkata, “Berarti nanti pria yang bakal menjadi suami Dina termasuk orang yang beruntung dong ya, karena punya istri yang bisa memasak dan rajin lagi?” “Ya bisa dibilang begitu.” Jawab Gladys. Selesai makan malam, Gladys mencuci piring bekas makannya dan Oscar. Ia mendapati bahwa hanya itu saja yang perlu ia cuci karena semuanya sudah dicuci oleh Dina sebelumnya. “Anak ini memang luar biasa!” Puji Gladys. Setelah itu Gladys pun membersihkan dirinya, berpakaian dan bersiap untuk tidur. Saat itu jam menunjukkan hampir pukul sepuluh. Malam itu Gladys tertidur nyenyak dan lebih awal dari biasanya. Namun Dina justru terbangun pada tengah malam. Ia terbangun dari tidurnya karena merasa sangat lapar. Ia baru teringat bahwa ia memang belum makan malam. Ia tadi tertidur setelah menyelesaikan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh ibunya. Dina melihat bahwa ibunya sudah tertidur nyenyak di sampingnya. Ia kehilangan kesempatan untuk bertanya kepada ibunya malam ini. Meskipun sebenarnya Dina juga belum menentukan bagaimana cara yang tepat untuk bertanya kepada ibunya tanpa membuat ibunya merasa tidak nyaman. “Sayang juga kalau dibangunkan. Besok saja kalau begitu.” Pikir Dina. Dina lantas berjalan dengan mengendap-endap untuk keluar dari kamar. Ia tidak ingin menciptakan suara berisik yang bisa membuat ibunya terbangun. Ia pergi ke ruang makan untuk menyantap makan malam masakannya sendiri yang ditinggalkan oleh ibu dan kakaknya dalam keadaan tertutup rapi. “Syukurlah mereka masih menyisakan makanan untukku.” Kata Dina dalam hati. Dina makan seorang diri di ruang makan dan hanya menyalakan lampu gantung yang berada di ruang makan. Sementara ruangan lainnya dibiarkan tetap dalam keadaan gelap. Mungkin karena mendengar ada suara berisik dari ruang makan, Oscar pun keluar dari kamarnya untuk memeriksa. Ia tersenyum ketika mendapati itu hanyalah Dina yang sedang makan. Ia duduk di sekitar meja makan dan saling berhadapan dengan Dina. “Ketiduran ya?” Tanya Oscar. “Iya.” “Tumben hari ini masak, ada apa nih?” Tanya Oscar lagi. Dina kemudian meletakkan sendok yang sedang dipegangnya itu kembali ke piring. Ia menatap serius tepat ke mata Oscar. “Kak, ada hal yang sangat penting yang perlu kakak ketahui.” Wajah Oscar ikut berubah menjadi serius karena melihat tatapan Dina itu. “Ada apa sih? Sepertinya bukan sesuatu yang biasa.” Balas Oscar. Dina mengangguk. “Selesaikan dulu makanmu baru kita bicara lagi.” Suruh Oscar. Dina buru-buru menghabiskan makanannya, mencuci piring yang ia gunakan barusan, kemudian duduk lagi di dekat meja makan berhadapan dengan Oscar. “Kak…” Wajah Dina mulai menunjukkan ekspresi kesedihan yang sangat mendalam. “Iya…” Jawab Oscar dengan penasaran. “Ada hal yang harus kakak ketahui.” “Kamu sudah mengatakan itu tadi. Langsung saja ke intinya. Kamu membuatku takut dengan menunjukkan ekspresi wajah seperti itu.” Air mata Dina kemudian menetes. “Jangan menangis, beritahu aku dulu!” Desak Oscar. Dina menghapus air mata dari pipinya dengan satu tangannya. “Kamu dicampakkan?” Oscar mulai menebak ketika Dina lama memberikan jawaban yang ia tunggu. Dina menggelengkan kepalanya namun air matanya tetap jatuh. “Atau jangan-jangan kamu hamil ya?” Tebak Oscar lagi. Mata Dina terbelalak mendengar tebakan Oscar yang kedua itu. “Tebakan macam apa sih itu?” Protes Dina. “Ya iya, pikiranku kan jadi kemana-mana karena kamu bukannya memberi jawaban malah menangis saja.” Balas Oscar. Dina meneguk air putih dari gelas miliknya, menyeka air matanya, kemudian mulai bercerita. “Kak, sebenarnya kemarin aku tidak sengaja menemukan amplop berisi hasil pemeriksaan kesehatan milik mama.” “Milik mama?” Tanya Oscar mengulangi kata-kata Dina untuk memastikan bahwa ia tidak salah dengar. “Iya.” Jawab Dina. “Lantas apa yang tertulis di sana?” Tanya Oscar dengan sangat penasaran. “Mama sakit kak.” Jawab Dina diiringi derai air mata lagi. “Benarkah?” Balas Oscar dengan ekspresi sedikit terkejut. “Kakak harus tahu mama sakit apa.” Ujar Dina. “Memangnya mama sakit apa?” “Mama sakit kanker p******a stadium 1A.” Oscar sangat terkejut mendengar perkataan Dina itu. Wajahnya seketika berubah, entah ekspresi diwajahnya itu menggambarkan apa. Ia terlihat terkejut dan sedih pada saat yang bersamaan. “Kamu membacanya sendiri?” Tanyanya untuk memastikan. “Iya.” Jawab Dina. “Kamu sudah tanyakan itu ke mama?” “Belum kak, aku baru mengetahuinya kemarin pagi. Ketika kalian semua sudah berangkat bekerja, aku melihat amplop itu menyembul keluar dari tas mama. Aku lalu mengambilnya dan membacanya. Aku tidak bisa memahami istilah-istilah medis di situ jadi aku mencarinya di internet dan menemukan bahwa itu adalah hasil biopsi mama dengan kesimpulan seperti yang aku bilang tadi.” Terang Dina. Oscar kini tampak memijit-mijit pelipisnya. Seketika kepalanya menjadi sakit mendengar kabar mengejutkan yang baru saja disampaikan oleh Dina kepadanya. “Kak…” Panggil Dina. “Iya.” “Kakak mau tidak menanyakan hal ini langsung kepada mama?” “Kamu saja, Na.” Oscar tidak bersedia. “Aku juga tidak bisa. Aku pasti akan langsung menangis bahkan sebelum mulai bertanya.” Balas Dina. “Jadi bagaimana?” Kini Oscar yang balas bertanya. “Kita berdua saja yang menanyakannya kepada mama. Bagaimana?” Usul Dina. “Bagaimana kalau menunggu mama yang bicara sendiri kepada kita tentang hal ini?” Oscar justru punya pemikiran yang berbeda. “Bagaimana jika mama memilih untuk menyembunyikannya dan tidak pernah mengatakannya kepada kita?” Tanya Dina lagi. “Iya juga ya…” Oscar mulai mengangguk. “Mama mungkin sengaja menyembunyikan hal ini dari kita, kak.” Duga Dina. “Kira-kira apa alasannya, menurutmu?” “Mungkin mama tidak mau membuat kita sedih.” Tebak Dina. “Masuk di akal juga, karena selama ini mama memang tipe orang yang suka memikul semua bebannya sendiri. Dia tidak mau merepotkan atau menyusahkan orang lain.” “Maka dari itu kak, jika kita menunggu sampai mama sendiri yang memberitahu kita maka itu mungkin masih lama atau malah tidak akan pernah terjadi. Harus kita yang lebih dulu mengajak mama bicara. Selain itu kakak juga harus mendesak mama untuk melakukan pengobatan.” Air mata Dina mulai menetes lagi. “Jangan sampai kita yang bisa dikatakan sudah tidak punya ayah, justru kehilangan ibu juga.” Air mata Oscar seketika jatuh mendengar perkataan Dina itu. “Besok setelah aku pulang kantor saja kita ajak mama bicara.” Usul Oscar. “Ini bukan hal yang bisa ditunda lagi kak jadi menurutku memang sudah harus dilakukan secepatnya.” “Bagaimana jika mama tidak mau mendengarkan kita, misalnya seperti dalam hal segera melakukan pengobatan?” Tanya Oscar. “Kakak harus memaksa mama. Kakak adalah satu-satunya laki-laki di keluarga ini sekarang. Jika mama tidak bisa membuat keputusan maka kakak adalah orang setelah mama yang harus membuat keputusan untuk keluarga ini!” Jawab Dina dengan tegas. Wajah Oscar terlihat ragu-ragu. “Aku takut aku tidak bisa melakukan itu.” Balasnya dengan lirih. “Kenapa?” Tanya Dina. “Aku tidak akan sampai hati untuk bersikap keras kepada mama.” Jawabnya. “Kak…” panggil Dina. “Ini untuk kebaikan mama. Kita akan kehilangan mama jika kita tidak bertindak secepatnya!” “Kalau begitu kenapa tidak kamu saja yang langsung membicarakan ini kepada mama?” Oscar balik bertanya. “Aku juga tidak tega.” Jawab Dina dengan jujur. “Tuh kan, kamu juga sama denganku!” “Kita lakukan ini bersama-sama besok. Kakak yang bicara duluan, aku akan menambahkan jika masih ada yang perlu dikatakan kepada mama. Bagaimana?” “Baiklah kalau begitu.” Oscar akhirnya setuju. Setelah mencapai kata sepakat, mereka berdua kembali ke kamar masing-masing. Begitu masuk ke dalam kamar, Dina melihat ibunya masih tertidur pulas dengan raut wajah yang begitu tenang. Saat itu jam menunjukkan sudah lewat beberapa menit dari pukul dua dini hari. Dina berusaha untuk kembali tidur meskipun pikirannya terus berkelana entah ke mana. Sementara itu di kamarnya, Oscar juga sedang duduk termenung seorang diri memikirkan keadaan ibunya. Semua kata-kata Dina begitu menancap ke pikirannya. “Bagaimana jika mama menolak untuk mendengarkan kami?” “Bagaimana jika mama tidak mau melakukan pengobatan dengan alasan takut atau terkendala biaya?” “Siapa yang akan memaksa mama jika dia tidak mau mendengarkan aku dan Dina?” Berbagai pertanyaan muncul di benak Oscar. Ia bahkan sampai tidak bisa kembali tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN