Bukan Titik Balik

2145 Kata
December 2007 Bulan Desember selalu memberi warna tersendiri untuk Gladys dan anak-anaknya. Kenangan terburuk dalam hidup mereka ada di bulan Desember. Tidak terasa sudah sembilan tahun berlalu sejak kejadian itu. Di tahun ini, untuk ketiga kalinya Oscar gagal dalam seleksi masuk menjadi anggota POLRI. Pada percobaan pertamanya ia bahkan gagal pada tingkatan paling awal, yaitu seleksi administrasi. Tahun kedua ia gagal pada tes kompetensi. Terakhir tahun lalu ia gagal pada tes kesamptaan jasmani, hanya karena saat tes lari dua belas menit kakinya tidak sengaja terkilir dan akhirnya tidak bisa menyelesaikan tes itu. Gladys menyarankan Oscar untuk mencari pekerjaan lain dulu setiap kali ia gagal seleksi, namun Oscar berkata bahwa ia hanya akan mencari pekerjaan apabila ia gagal di tahun terakhirnya mengikuti seleksi dan itu berarti tahun depan. Tahun depan ia akan genap berusia dua puluh satu tahun dan itu adalah kesempatan terakhirnya untuk mengikuti seleksi. Ini juga tahun terakhir bagi Dina duduk di bangku SMA. Tahun depan ia akan lulus dari sana dan berencana untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun ia belum memutuskan perguruan tinggi mana dan jurusan apa yang akan menjadi tujuannya. Di suatu senja ketika Gladys yang baru pulang dari kantor tengah menyiapkan makan malam untuk anak-anaknya, Wanda dan Carlos tiba-tiba datang bertamu ke rumahnya. “Silakan masuk.” Gladys mempersilakan mereka berdua untuk masuk. Namun Wanda dan Carlos saling berpandangan. Setelah itu Wanda menggelengkan kepalanya dan memberi kode bahwa sebaiknya mereka mengobrolnya di luar saja. Gladys segera mematikan kompor yang menyala karena ia sedang memasak sup dan mengikuti mereka untuk duduk mengobrol di teras. “Okay, aku siap mendengarnya.” Kata Gladys. Wanda dan Carlos sudah seperti keluarga dan juga pemberi informasi bagi Gladys. Ia tahu ketika Wanda dan Carlos muncul di rumahnya itu hanya berarti satu hal, ada sesuatu yang harus ia ketahui tentang Herman. “Apa kamu tahu kalau dia sakit?” tanya Carlos. Gladys menggelengkan kepala. “Aku sudah tidak mendengar kabar apapun tentangnya untuk waktu yang cukup lama.” Jawab Gladys. “Dia terkena serangan jantung di kantor tadi siang.” Ujar Carlos. Gladys begitu terkejut mendengar hal itu. Itu tergambar jelas dari ekspresi wajahnya. “Seingatku ia tidak punya riwayat penyakit jantung, tetapi entahlah, terakhir kali aku bersamanya itu sudah sembilan tahun yang lalu.” “Dia menjadi lebih sering minum belakangan ini.” Kata Carlos lagi. Yang Carlos maksud sebenarnya adalah Herman menjadi lebih sering mabuk belakangan ini. “Benarkah?” tanya Gladys untuk memastikan. “Dia memang cukup sering minum dulu, tetapi aku tidak tahu jika sekarang ia sudah cenderung menjadi seorang alkoholik.” “Iya, alkoholik adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaannya kini.” Balas Carlos. “Dia mabuk setiap hari. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ia seperti sedang mencoba untuk menghancurkan karirnya sendiri.” “Sekarang dia dirawat di rumah sakit, apa kamu tidak berencana untuk menjenguknya?” usul Wanda. “Aku pikir lebih baik tidak usah.” Jawab Gladys. “Kenapa?” tanya Wanda lagi. “Anak-anak tidak akan senang jika mengetahui aku memberi perhatian kepada Herman. Mereka sudah tidak ingin ada hubungan lagi dengan Herman.” Jawab Gladys sambil memelankan suarannya. “Semarah itukah mereka kepada Herman?” tanya Carlos. “Bahkan melebihi itu.” Tegas Gladys. “Hmmm… Begitu ya.” Balas Carlos sambil menganggukan kepalanya. “Bisa dimaklumi, apa yang Herman lakukan kepada kalian waktu itu memang melebihi batas.” “Mereka sudah bisa menerima kenyataan itu kok. Mereka hanya terlalu sakit jika harus melihat Herman lagi. Jadi aku pikir memang sebaiknya tidak perlu memberitahu mereka tentang keadaan Herman.” “Kalau menurut aku sih, lebih baik kamu menjenguknya meskipun kamu harus melakukannya secara diam-diam.” Kata Wanda. “Kalian masih suami istri yang sah, jika kamu tidak muncul di sana justru itu akan membuat kamu terlihat salah.” Lanjutnya. “Aku setuju dengan pendapat Wanda.” Carlos menambahkan. “Jenguk saja dia, meskipun hanya sebentar. Pergi saja besok. Jika kamu tidak mau pergi sendirian, aku bersedia menemanimu.” Ujar Wanda. “Baiklah aku akan pergi menjenguknya besok. Tetapi aku akan melakukannya sendiri. Terima kasih atas tawaranmu, Wan.” Wanda pun menganggukan kepalanya. “Oh ya, di mana Dina dan Oscar?” tanya Carlos. “Seperti biasa, mereka ada di kamarnya masing-masing.” Dina tiba-tiba muncul dari dalam rumah untuk mencari Gladys. “Ma, makan malamnya belum?” tanya Dina. “Ahh iya, mama lupa… Sebentar lagi siap kok, Na.” jawab Gladys. Gladys spontan beranjak dari kursinya hendak masuk ke dalam rumah untuk menyelesaikan hidangan makan malam yang tadi ia tinggal dalam keadaan setengah matang. Sementara Dina kembali masuk ke dalam kamar. “Carlos, Wanda, masuk yuk… Makan malam bersama kami saja.” Gladys menawarkan. “Baiklah. Kami tidak akan menolak.” Jawab Wanda kemudian tertawa bersama Carlos. Gladys dan Wanda segera menuju ke dapur. Wanda akan membantu Gladys menyelesaikan hidangannya. Sementara Carlos duduk di ruang tamu dan menonton televisi. “Sudah lama rumah kami tidak seramai ini.” Kata Gladys kepada Wanda sambil mengaduk sup yang terlihat sudah mendidih. “Mungkin kami harus lebih sering berkunjung kemari.” Goda Wanda. “Kami selalu siap kapan saja diundang untuk makan malam bersama.” Carlos yang berada di ruang tamu yang mendengar pembicaraan mereka pun ikut menimpali. Mereka bertiga kemudian tertawa bersama. Suara tawa mereka terdengar sampai ke kamar Oscar. Ia pun keluar dari kamarnya. “Om Carlos, Tante Wanda, ada di sini ya…” kata Oscar. “Iya Os, sudah sejak beberapa saat yang lalu.” Jawab Carlos. Oscar kemudian duduk di ruang tamu bersama dengan Carlos. “Seleksinya belum ya?” tanya Carlos. “Sudah om.” Jawab Oscar dengan lesu. “Untuk ketiga kalinya Oscar belum berhasil.” Carlos menganggukan kepala. “Tidak apa-apa, tahun depan coba lagi ya.” “Tahun depan sudah kesempatan Oscar yang terakhir. Tahun depan umur Oscar sudah dua satu kan? Jadi jika tahun depan masih belum juga berarti Oscar harus mulai mencari pekerjaan.” “Iya kita harus selalu punya rencana cadangan.” Jawab Carlos. “Mungkin tiga tahun ini belum rezeki kamu, tetapi yakin saja kalau tahun depan adalah permulaan bagi karirmu di kepolisian.” Carlos memberi semangat kepada Oscar. Oscar menganggukan kepalanya dan tersenyum mendengar nasihat dari Carlos. “Makanannya sudah siap, ayo makan…” panggil Gladys dari dapur. Oscar dan Carlos segera beranjak dari ruang tamu dan menuju ke meja makan. Dina juga keluar dari kamar dan menuju ke meja makan. Menu makan malam mereka saat itu hanya sup ayam dan nasi hangat. Menu makanan yang sangat sederhana namun karena disantap dalam suasana kekeluargaan sehingga terasa begitu bermakna. Selesai makan malam, Dina dan Oscar segera kembali ke kamar mereka masing-masing sementara Gladys, Wanda dan Carlos masih mengobrol di ruang tamu. Mereka mengobrol sampai kira-kira pukul sembilan malam. Wanda dan Carlos pun berpamitan karena Carlos akan dinas pagi besok harinya dan ia ingin segera beristirahat. Begitu Wanda dan Carlos pulang, Gladys melanjutkan kegiatan rutinnya di malam hari yaitu membereskan dapur. Selesai membereskan dapur, Gladys membersihkan dirinya kemudian masuk ke kamar untuk beristirahat bersama Dina.     Hari berganti. Gladys bersiap untuk ke kantor setelah selesai menyiapkan makanan untuk sarapan serta makan siang Dina dan Oscar. Sejak hari masih sangat pagi, Oscar telah pergi untuk berolahraga di lapangan kompleks perumahan dinas anggota TNI AD. Dina berangkat ke sekolah saat ibunya masih sedang bersiap untuk ke kantor. Gladys tiba tepat waktu di kantor setiap hari meskipun banyak pekerjaan yang harus ia lakukan di rumah di pagi hari sebelum ia berangkat ke kantor. Otak Gladys dipenuhi pikiran tentang Herman yang sedang dirawat di rumah sakit. Ia berencana untuk menjenguk suaminya itu tetapi ia merasa tidak siap untuk bertemu pria itu sekarang. Ia akhirnya memutuskan untuk menjenguk Herman saat jam istirahat makan siang. Rumah sakit milik TNI Angkatan Darat tempat Herman dirawat tidak begitu jauh dari kantornya. Ketika jam menunjukkan pukul dua belas siang tepat, Gladys dengan terburu-buru meninggalkan kantornya dan menuju ke rumah sakit. Carlos telah memberitahu Gladys semalam di kamar yang mana Herman dirawat. Gladys berjalan cepat melewati koridor rumah sakit yang semuanya berwarna putih. Tercium aroma karbol yang sangat menyengat di sepanjang koridor itu. Mungkin koridor itu baru selesai dibersihkan. Beberapa saat kemudian Gladys telah berada di depan pintu kamar tempat Herman dirawat. Gladys mengetuk pintu kamar itu dua kali kemudian membuka gagang pintu itu dengan perlahan. Herman tampak sedang berbaring di ranjang. Ada selang infus di tangannya dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Di kamar itu hanya ada Herman seorang diri. Gladys menutup pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar mendekati ranjang Herman. Herman menyodorkan tangannya yang dipasangi selang kepada Gladys berharap Gladys akan menyambutnya. Secara tak terduga, Gladys menyambut tangan itu dan menggenggamnya. Untuk beberapa saat mereka saling berpegangan tangan namun Gladys yang tersadar kemudian buru-buru melepaskannya lagi. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Gladys. “Terima kasih sudah datang.” Kata Herman dengan pelan. Ia terdengar sedikit kesulitan untuk berbicara karena napasnya yang begitu berat. “Seperti yang kamu lihat, memakai infus dan oksigen.” “Carlos datang untuk memberitahuku tentang keadaanmu semalam.” “Aku sudah menduganya.” “Anak-anak tidak tahu kalau aku datang menjengukmu. Mereka akan sangat marah jika mengetahuinya.” “Iya, aku tahu itu.” Kata Herman dengan raut wajah sedih. “Apa kamu sudah makan?” tanya Gladys yang melihat makanan di meja samping tempat tidur Herman masih terbungkus rapi dengan plastik dan belum tersentuh. “Belum. Mungkin sebentar lagi.” “Ini sudah waktunya makan. Aku bantu ya.” Gladys menawarkan. Gladys kemudian menaikan sedikit sandaran kepala Herman dan menarik meja berisi makanan itu tepat ke arah Herman sehingga ia dapat makan dengan lebih mudah. Gladys membantu membuka plastik yang membungkus nampan berisi makanan dan menyiapkan peralatan makan untuk Herman. “Apa kamu bisa?” tanya Gladys untuk memastikan. “Aku bisa kok.” Herman mulai memakan makanannya dengan perlahan. Selang infus di tangannya membuat ia tampak tidak leluasa untuk bergerak. “Terima kasih karena bersedia mengunjungiku dan membantuku soal makan-makanan ini.” “Tidak apa-apa. Aku mengunjungimu karena kamu adalah ayah dari anak-anakku, kan?” jawab Gladys dengan diplomatis. “Sekarang umur berapa anakmu?” tanya Gladys kemudian. “Ehm… Sebentar aku ingat dulu…” kata Herman. “Mungkin tujuh tahun, entahlah aku tidak yakin.” Herman kemudian tertawa. “Orang tua macam apa yang tidak tahu umur anaknya.” Ledek Gladys. “Ah kamu sendiri tahu kan aku jenis orang tua seperti apa.” Balas Herman. Mereka pun tertawa bersama. Untuk beberapa saat Gladys melupakan momen buruk yang terjadi pada kali terakhir mereka bertemu. Herman mencoba untuk memegang tangan Gladys lagi. Namun kali ini Gladys bersikap rasional dengan menarik tangannya menjauh dari jangkauan Herman. “Setelah ini apa kita akan bertemu lagi?” tanya Herman. “Entahlah.” Jawab Gladys. “Sering-seringlah datang untuk mengunjungiku ya. Dokter mengatakan bahwa aku mungkin akan berada di sini selama seminggu sampai sepuluh hari.” “Lihat situasi nanti saja ya. Aku tidak bisa menjanjikan hal seperti itu.” Herman menganggukan kepala namun wajahnya menunjukkan ekspresi kekecewaan. “Aku kembali ke kantor sekarang ya.” Pamit Gladys kepada Herman. “Secepat itu?” Protes Herman. “Aku harus kembali ke kantor.” Gladys mengulangi. “Kamu tahu kan kalau ini masih jam kerja, aku tidak bisa membolos terlalu lama.” “Ya sudah… Hati-hati di jalan ya…” kata Herman. Gladys menganggukan kepalanya. Ia pun beranjak dari kursi dan hendak menuju pintu untuk keluar. Namun ia baru teringat satu hal yang harus ia sampaikan kepada Herman, maka Gladys pun berbalik. “Herman, aku tidak ingin kamu menjadi salah paham terkait kedatanganku hari ini. Aku mengunjungimu untuk alasan kemanusiaan dan lagipula kamu ayah dari anak-anakku. Semoga kamu tidak salah paham dan mengira aku datang untuk kepentinganku atau kepentingan kita.” Gladys ingin menegaskan agar tidak terjadi salah pengertian di antara mereka berdua. Ia tidak ingin Herman membuat kesimpulan secara sepihak kalau maksud kedatangannya adalah agar mereka berdua bisa rujuk lagi, ia datang hanya untuk menunjukkan rasa simpatinya atas apa yang menimpa Herman, karena dalam hati Gladys sudah tidak ada niat untuk rujuk kembali. Wajah Herman tampak sangat sedih mendengar perkataan Gladys itu. Ia mungkin telah membangun opininya sendiri namun Gladys justru membantah hal itu bahkan sebelum Herman mengutarakannya. Setelah mengatakan itu Gladys pun segera meninggalkan kamar perawatan Herman. Ia keluar dari banguan rumah sakit dengan langkah yang panjang dan cepat, naik angkot dan kembali ke kantornya. Kondisi Herman cukup membuatnya prihatin namun ia memilih untuk tetap berpikir rasional dengan tidak membiarkan dirinya terbawa rasa kasihan sehingga mengakibatkan ia membuat keputusan yang salah. Ia ingin hubungannya dengan Herman tetap seperti yang sudah mereka jalani selama bertahun-tahun ini. Lagipula Gladys yakin kalau Herman belum akan berubah hanya karena satu serangan jantung seperti ini. Herman orang yang cukup keras hati, sehingga perlu teguran yang lebih keras agar ia menyadari semua kesalahannya selama ini. Gladys tiba di kantor saat jam istirahat sudah lewat. Ia pun segera kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaannya hingga jam pulang kantor tiba.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN