Bab 47
Belajar Menerima (Lagi)
Dina telah diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit setelah tiga hari berada di sana serta melanjutkan perawatannya di rumah saja. Namun dokter belum mengizinkan Dina untuk kembali beraktivitas di kampus sampai semua obat-obatan yang ia bawa pulang dari rumah sakit habis diminum.
Pasien tifus benar-benar butuh istirahat yang cukup lama agar bisa sepenuhnya pulih dari sakitnya itu. Waktu satu minggu pun sebenarnya tidak cukup, tapi mau bagaimana lagi, Dina tidak mungkin meninggalkan kuliahnya terlalu lama.
Dina juga telah mengurungkan niatnya untuk pergi menjenguk ayahnya yang kini dirawat di RSUD. Demikian juga dengan Gladys, ia sudah membatalkan rencananya untuk pergi mengunjungi Herman di rumah sakit tempat Herman sekarang dirawat. Satu-satunya yang sudah pernah mengunjungi Herman di sana hanyalah Oscar.
Kembali pada malam ketika Oscar pulang dari menjenguk ayahnya di RSUD. Saat Dina telah tertidur, Gladys dan Oscar duduk mengobrol berdua di luar ruang perawatan itu untuk menghindari Dina mendengar pembicaraan mereka.
“Jadi ada siapa saja di sana?” Tanya Gladys.
“Hmmm, sebentar Oscar ingat-ingat dulu.” Katanya. “Di sana ada kakek dan nenek, dua orang wanita berhijab kemungkinan berusia empat puluh dan lima puluh tahunan, serta seorang anak perempuan yang katanya berusia delapan tahun tapi Oscar tidak sempat menanyakan namanya.”
“Apa lagi yang terjadi di sana?” Tanya Gladys dengan penasaran.
“Kami semua hanya duduk menunggu di luar ruangan ICU. Papa belum bisa dijenguk namun kami bisa melihat keadaannya dari balik kaca yang tirainya memang sengaja di buka.” Terang Oscar.
“Oh ya Ma, tadi ada anak kecil yang terlihat sangat dekat dengan kakek dan nenek. Sementara kedua wanita tadi juga terlihat sangat akrab dengan kakek dan nenek.”
“Anak kecil itu adikmu!” Ujar Gladys.
“Oscar sudah menduganya meskipun kakek dan nenek tidak mengatakannya kepada Oscar.” Jawab Oscar dengan sedikit ekspresi terkejut di wajahnya yang berusaha ia sembunyikan.
Sementara wajah Gladys tampak murung.
Anissa, wanita yang menjadi alasan suaminya mengabaikan keluarga mereka bertahun-tahun silam memang telah lama meninggal, namun ia meninggalkan seorang anak yang selamanya akan menjadi jurang pemisah antara mereka dan Herman.
“Sekarang semua tampak masuk akal bagi Oscar.” Kata Oscar tiba-tiba.
“Apanya?” Tanya Gladys, tak memahami maksud perkataan anaknya itu.
“Pantas saja selama ini sangat mudah meminta bantuan kepada kakek dan nenek, khususnya yang terkait masalah uang.” Oscar mengarahkan pandangannya kepada ibunya. “Ternyata memang ada yang mereka sembunyikan.”
“Hush… Jangan berkata seperti itu!” Potong Gladys.
“Bukankah selama ini mereka sendiri yang mengatakan bahwa mereka tidak mengenal anak papa ataupun ibu dari anak itu? Sementara kenyataan yang Oscar lihat hari ini justru jauh berbeda. Jika memang mereka baru saling mengenal, mereka tidak mungkin seakrab itu!”
Gladys hanya terdiam mendengar argumen anaknya.
“Apa tidak melelahkan hidup dengan dua muka seperti itu? Sindir Oscar.
“Oscar, jangan bicara seperti itu!” Tegur Gladys ketika Oscar mulai berlebihan.
“Mama tidak usah ke sana ya?” Pinta Oscar. “Itu hanya akan menyakiti hati mama lagi!”
“Mama tahu itu, Os.” Jawab Gladys dengan lirih. “Os, nanti hal ini jangan diceritakan kepada Dina ya, mama kasihan kepada Dina. Dia sudah membulatkan tekad untuk menjenguk papa, tapi ternyata keadaannya tidak sesederhana yang kita semua kira.”
“Iya Ma,” jawabnya sambil mengangguk. “dan untung saja hari ini yang ke sana hanya Oscar. Oscar tidak bisa membayangkan jika mama atau Dina yang ke sana dan harus berhadapan dengan kenyataan yang menyakitkan seperti ini.” Lanjutnya lagi.
“Jika itu terjadi di depan mama ya mau tidak mau mama harus menerimanya. Itu kan cucu mereka juga, Os. Sudah seharusnya mereka juga menyayangi anak itu.” Balas Gladys.
“Tetapi mereka membohongi kita selama ini, Ma!” Oscar sedikit menekankan nada bicaranya. “Itu yang membuat hal ini menjadi menyakitkan.”
“Cobalah untuk berpikir positif, mungkin saja kakek dan nenek selama ini hanya berusaha untuk menjaga perasaan kita makanya mereka terpaksa berbohong kepada kita.”
“Mama selalu saja seperti ini…” Nada bicara Oscar terdengar kecewa.
“Seperti apa?” Tanya Gladys.
“Selalu berusaha memahami alasan yang melatar belakangi tindakan orang lain. Kadang kita hanya harus menerimanya, Ma. Tidak perlu repot-repot berasumsi untuk kemudian mencoba memahaminya, karena kadang itu tidak seperti yang mama pikirkan. Tidak semua orang baik seperti mama, itu saja!”
Oscar dan Gladys pun tidak melanjutkan pembahasan mereka tentang itu lagi.
Mereka berdua kemudian kembali ke dalam ruang perawatan Dina dan menuju ke tempat di mana mereka masing-masing biasanya tidur selama menunggui Dina di rumah sakit.
Hari-hari pun berlalu dan tidak ada dari mereka yang membicarakan tentang keadaan Herman lagi. Sedikit banyak Dina telah mendengar bahwa keluarga dari almarhumah Anissa juga ada di rumah sakit pada malam itu untuk menunggui Herman, sehingga ia pun tidak pernah bertanya tentang itu lagi.
Dina mencoba menerima kenyataan bahwa ayahnya juga punya keluarga yang lain selain mereka, sehingga karena itulah Dina merasa perlu untuk menarik diri dari keinginannya untuk mendekati ayahnya lagi.
Dalam masa pemulihannya, sesekali Helen dan Kevin datang mengunjungi Dina sepulang kuliah. Seperti malam ini, mereka berdua telah berada di rumah Dina sejak sore hari. Kelas mereka berakhir pada jam dua siang sehingga mereka berdua memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan datang menjenguk Dina. Dina yang kebetulan seorang diri saja di rumah waktu itu pun sangat senang menerima kedatangan mereka.
“Kalian berdua selalu bersama kemana pun kalian pergi, bagaimana jika kalian berdua mempertimbangkan untuk berpacaran saja?” Usul Dina sambil tertawa.
“Aku sedang menghindari untuk terikat hubungan.” Jawab Helen.
“Masih trauma?” Tanya Kevin.
“Bisa dibilang begitu dan bisa juga tidak.”
“Maksudnya gimana sih, Len?” Tanya Dina kepada Helen.
“Terakhir kali aku menjalani hubungan, itu terasa begitu berat dan rumit untukku, karena aku salah memaknai cinta yang aku punya terhadap orang tersebut pada saat itu. Aku harus memastikan bahwa aku sudah punya konsep yang benar tentang cinta ketika aku akan memulai kembali hubungan yang baru bersama orang lain.”
Dina mengangguk, “Konsep kamu tentang cinta memang salah. Kamu terus menerima apapun yang dia berikan, tidak peduli itu manis atau pahit, bahkan ketika itu membahayakan nyawamu sendiri kamu tetap menerimanya. Bisa dibilang kamu terlalu menerimanya” Ujar Dina sambil membuat isyarat tanda petik dengan tangannya.
“Aku juga ingin dicintai seperti itu oleh seseorang, Garry mungkin hanya terlalu bodoh untuk memahami sikapmu yang terlalu menerima itu.” Balas Kevin sambil membuat isyarat tanda petik yang sama dengan tangannya.
“Dia tidak bodoh, Kev.” Potong Dina. “Dia malah terlalu pintar sehingga mampu bersikap manipulatif!”
Kevin tampak berpikir untuk sesaat. Ia lantas menganggukan kepalanya.
“Benar… Iya benar kata Dina, dia manipulatif.” Jawab Kevin kemudian.
“Bisakah kalian berhenti membahas tentang Garry sekarang? Aku mencoba melanjutkan hidupku!” Rengek Helen dengan bercanda.
“Jadi apa rencanamu setelah ini?” Tanya Kevin kepada Helen.
“Jika telah menemukan seseorang yang aku rasa tepat, maka aku tidak ingin berlama-lama lagi. Aku akan langsung memintanya untuk menikahiku!”
Kevin dan Dina terkejut mendengar jawaban Helen itu.
“Sekalipun kamu belum menyelesaikan kuliahmu?” Tanya Kevin, tak percaya.
“Iya. Aku tidak peduli, aku tetap bisa kembali berkuliah setelah menikah, bukan?” Jawab Helen dengan menggampang-gampangkan situasi.
“Menikah di usia muda hanya akan membawamu pada masalah yang lain.” Balas Dina.
“Itu benar!” Kevin menimpali.
“Hey kalian, itu kan baru rencana saja.” Protes Helen.
“Yang penting kami sudah berusaha untuk mencegah kamu lho ya!” Ujar Kevin.
Helen kemudian tertawa, “Jangan terlalu serius menanggapi perkataanku yang tadi. Aku tidak bersungguh-sungguh.”
Dina dan Kevin pun ikut tertawa.
Malam itu Helen dan Kevin ikut makan malam bersama Dina, beserta ibu dan kakaknya.
Wajah Gladys masih tampak murung malam itu namun ia tetap berusaha untuk menjadi tuan rumah yang baik. Ia menyajikan makanan untuk anak-anaknya dan kedua tamu Dina tersebut sepulang kantor, ia juga mengajak Helen dan Kevin berbincang ketika makan makan.
Setelah makan malam, Helen dan Kevin pun pamit pulang agar Dina bisa beristirahat lebih awal. Seperti biasa, jika ada temannya yang datang berkunjung maka suasana hati Dina akan menjadi lebih baik dan sedikit melupakan kekecewaan yang ia rasakan sebelumnya tentang Herman, ayahnya.