#4 Hey, I just met you

1054 Kata
Savanah menaiki tangga sambil berlari, ia tidak memperdulikan orang-orang disekitarnya yang menatapnya dengan heran. Gara-gara pria sepeda tadi, Savanah benar-benar terlambat sekarang. Jam sudah menunjukkan pukul 10.35 saat Savanah sampai di depan kelasnya dengan peluh yang bercucuran di dahi mulusnya. Tamatlah riwayatnya. Ujian sudah dimulai. Dari kaca ruang kelas Savanah dapat melihat Dokter Roro, dosennya yang terkenal killer dan tak kenal ampun, sudah berkeliling kelas sambil mengawasi jalannya ujian. Ragu-ragu Savanah menekan gagang pintu dan memberanikan dirinya memasuki ruang kelas. Gawat jika ia tidak ikut ujian Patologi kali ini, bisa-bisa ia tidak lulus tepat waktu dan harus mengulang mata kuliah ini di semester berikutnya dengan dosen yang sama. Jadi Savanah memutuskan untuk menghadapi Dokter Roro dan segala macam omelan yang akan diterima nantinya. "Maaf dok saya terlambat," bisik Savanah sambil masuk perlahan ke dalam kelas. "Keluar! kamu tidak boleh ikut ujian saya," dengan tegas Dokter Roro mengusirnya dari ruangan. Wanita paruh baya dengan gincu super merah itu menatapnya dengan sinis. Savanah menghela nafas pasrah. Kalah telak, bagaimana bisa hanya ia yang terlambat sedangkan teman-teman satu gengnya sudah duduk manis di dalam ruang ujian. Padahal tadi malam mereka menghabiskan waktu di pub bersama-sama. Bahkan Vega sampai super teler karena minum terlalu banyak. Savanah duduk di depan ruang kelas menunggu ujian selesai. Ia harus mengemis di depan Dokter Roro agar bisa ikut ujian susulan. Entah ibu tua tersebut akan mengabulkannya atau tidak, yang penting dicoba saja dulu. Kebetulan Savanah juga belum belajar, jadi ia membuka-buka modul yang telah didownloadnya lewat ponsel dan membacanya kembali dari awal. "Savanah." Ketika sedang asik membaca perubahan histopatologi penyakit, seseorang membuka pintu kelas dan memanggil namanya. Siapa gerangan yang sudah selesai mengerjakan ujian Patologinya Dokter Roro dalam 5 menit, sebuah ketidakmungkinan kecuali dia diusir dari dalam karena alasan tertentu. Savanah mendongak untuk melihat siapa murid tersebut. Oh my god, batin Savanah. Gadis itu langsung mengatupkan mulutnya yang tiba-tiba saja ternganga melihat sosok yang berdiri di depannya saat ini. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih kencang melihat wajah pria itu mendekat. That’s my prince, my half blood prince. Apa yang sedang pria tampan itu lakukan di sini. Terlebih di kelasnya Dokter Roro. Sepertinya Dokter Roro tidak terlihat seperti orang yang memiliki hubung dengan pria tampan macam pria ini. "Eh, kok lo bisa ada di sini?" ujar Savanah. Sebenarnya tidak mengherankan sih jika pria itu berkeliaran di kampusnya, percakapan terakhir yang Savanah ingat pria itu adalah seorang dokter yang ingin mengambil studi lanjutan. Apa jangan-jangan … "Iya, aku bantu-bantu Ibu Roro ngasih kuliah," pria itu tersenyum manis. Kan! Udah gue duga dia akan menemukan gue dengan cepat! "Aku gak nyangka bakal ketemu kamu, ternyata kamu masih mahasiswa ya, aku kira kemarin sudah umm bukan lagi mahasiswa," pria itu tertawa renyah saat mengetahui Savanah masih menyandang status mahasiswa. Eh? Jangan bilang dia asesornya? "Ah itu, gue eh ... saya juga lupa ngenalin diri," Savanah meralat perkatannya, sepertinya tidak etis berbicara menggunakan 'gue-elo' dengan seniornya. "Gak usah formal banget, aku suka gaya bicara kamu yang di pub kemarin." Oh rasanya Savanah mau meleleh mendengarnya. "Kita ujian di ruanganku aja ya." Pria itu menuntun Savanah menjauhi ruang kelas. Savanah mengekori pria itu menuju sebuah ruangan kecil yang tidak begitu bagus dekat dengan ruangan dosen-dosen Patologi. Entah apa yang pria itu bicarakan dengan Dokter Roro sehingga dirinya bisa diizinkan mengikuti ujian meskipun terpisah dengan teman-temannya. Savanah merasa sangat beruntung sekaligus berterima kasih dengan pria itu. “Duduk dulu. Aku akan siapkan soal ujiannya. Maaf ya ruangannya sempit dan masih berantakan. Pihak kampus bilang tidak banyak ruang kosong yang bisa saya gunakan secara privat.” “Ah, iya gak masalah.” Soal ujian Patologi Dokter Roro memang selalu sulit. Hanya 10 nomer tapi susahnya minta ampun. Savanah sendri hanya berhasil menyelesaikan 7 nomer dengan jawaban pas-pasan. Pangeran tampannya pun sama sekali tidak membantunya tadi. Gadis itu kira pria itu akan mempermudah ujiannya karena hubungan mereka yang sudah cukup dekat. "Jawaban kamu lumayan, nilainya pasti memuaskan," ujar pria berdarah campuran Indonesia Jepang tersebut ketika membaca lembar jawaban Savanah. "Haha ya, saya harap juga begitu. Kalau jawabannya banyak yang salah, saya mohon maaf karena gak ada yang bantu saya di ruangan ini,” Savanah pura-pura menekuk bibirnya dengan manja. Perkataan tersebut sukses membuat pria di hadapannya tertawa. “Lucu banget sih kamu.” Savanah tersipu malu. “Oh ya, ngomong-ngomong kita belum berkenalan secara resmi loh, saya juga belum tahu nama kamu." "Oh ya? Jadi selama ini aku belum ngenalin diri?" Pria itu tertawa manis. "Panggil saja Mugo." Savanah menerima juluran hangat dari tangan pria itu. "Mugo? kayak nama sejenis minuman* gitu deh," Savanah mengingat-ingat merek minuman yang pernah dibelinya di minimarket. "Haha, Oh ya? Minuman apa itu?” “Umm, minuman rasa buah yang manis.” Kayak kamu, tambah Savanah dalam hati. “Hm, ngomongin minuman apa kamu mau makan siang bareng?" Wah beruntung sekali Savanah kali ini, tidak perlu usaha terlalu keras untuk membuatnya diajak makan bareng. "Boleh, mau makan apa?" Jujur saja sebenarnya Savanah sangat excited dengan hal ini, tapi gadis itu menahan ekspresinya setenang mungkin agar tidak terlalu kentara bahwa dirinya haus perhatian. "Aku lagi pengen masakan Jepang, ramen atau sushi yang enak disekitar sini ada tidak ya?" "Ummm ... aku tau tempat ramen yang lumayan enak disekitar sini." "Baiklah kalua begitu aku mau menemui Dokter Roro dulu sebentar untuk menyerahkan hasil ujian kamu, setelah itu aku hubungi lagi untuk makan siang," Mugo tersenyum manis sambil mengacungkan ponselnya. “Sudah save nomerku kan?” Savanah mengangguk, tentu saja sudah. Gadis itu pun menuruti permintaan Mugo dan memilih menunggu di bangku depan ruangan dosen-dosen Patologi. Savanah mengecek ponselnya dan membuka group chat, ia ingin mengetahui kabar terakhir dari teman-temannya. Calon Dokter Kece Savanah : Woy, pada udah kelar belum? Tidak ada yang menjawab. Sepertinya teman-temannya belum selesai mengerjakan ujian maut tersebut. Savanah : Eh payah ah ramean tapi belum pada kelar. Karena asik menatap layar ponselnya, Savanah tidak sengaja menabrak d**a bidang seseorang. Saat mendongakkan kepala Savanah tertawa datar. Ia menggumam dalam hati, orang ini lagi. "Oh kamu mahasiswa kedokteran? Angkatan berapa? kok saya ga pernah liat ya?" Savanah menuding pria di depannya yang sama sekali tidak menunjukkan statusnya sebagai mahasiswa. Pria itu hanya mengenakan sweater longgar dan celana bahan dibawah lutut. Lelaki itu menghembuskan nafas, sepertinya ia juga tidak menginginkan pertemuannya dengan Savanah. Mata hazelnya memindahi Savanah dari atas hingga bawah. Bukannya menjawab pertanyaan yang Savanah ajukan, alih-alih lelaki itu malah menjulurkan tangannya seperti meminta sesuatu. Wajahnya datar, hanya kelereng matanya yang menatap Savanah dengan tajam. "Apa?" ujar Savanah yang bingung dengan perlakuan lelaki itu. "ID card saya sepertinya ada sama kamu." Tepat ketika Savanah ingin membuka mulutnya, Mugo datang menyelamatkannya dari tatapan tajam pria aneh itu. "Nggak tau, gak liat," Savanah berlalu meninggalkan pria itu dan berlari kecil ke arah Mugo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN