02. MPLS

1220 Kata
Sebelum mulai kegiatan belajar mengajar, tentu siswa baru harus mengikuti kegiatan yang dinamakan MPLS atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah. Sedikit berlebihan, namun Tulip berangkat ke sekolah diantar kedua orang tuanya. Mereka takut kalau masih ada senioritas di sekolah. Mereka tidak ingin putri kecilnya tersakiti. Setelah bertemu dengan pihak guru yang bertugas dan dijelaskan bagaimana rundown acaranya, barulah Freya dan Richard bisa tenang. "Tulip baik-baik, ya! Kalo terjadi sesuatu jangan segan untuk ngelapor, oke!" pesan Freya. "Iya Mama, tenang! Tulip bakal baik-baik aja kok. Toh Pak Guru tadi juga udah jelasin semuanya," ujar Tulip. Pak Guru di sebelah mereka juga ikut tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Pokoknya Mama gak akan tinggal diam kalau kamu di-bully lagi!" ucap Freya lagi. "Ibu tidak perlu khawatir, siapa yang tidak mengenal Pak Richard? Mereka juga akan berpikir ulang jikalau ingin merundung anak seorang pengacara terkenal," tambah Pak Guru. "Tapi anak saya pernah menjadi korban bully, Pak!" sungut Freya yang langsung ditahan oleh Richard. "Udah Ma, tenang! Sekarang ada Aaron yang bisa mantau Tulip di sekolah," ujar Richard menenangkan. "Jadi kamu pernah...?" bisik Aaron pada Tulip. Ia sangat terkejut mengetahui kenyataan ini, Aaron sama sekali tidak tahu sebelumnya. Ia juga ikut ke sekolah karena dipaksa Freya, padahal ia masih libur. Tulip hanya bisa terdiam, teringat akan perundungan yang pernah ia terima setahun lalu. "Pokoknya saya minta perhatian khusus untuk anak saya! Sampai terjadi sesuatu sama mereka, saya akan tuntut sekolah ini!" ancam Freya. "Ma, gak perlu berlebihan gitu! Ayo kita pulang, sebentar lagi Tulip harus mulai kegiatannya!" ujar Richard lagi. Freya memang begitu menyayangi kedua anaknya, meski secara biologis, anak kandungnya hanyalah Aaron saja. Ia tak segan-segan menuntut siapapun orang yang berani menyentuh kedua anaknya. Akhirnya kedua orang tua Tulip dan juga Aaron meninggalkan kantor; Tulip juga langsung mencari gedung aula tempat di mana MPLS dilaksanakan. Perasaannya sedikit kacau. Ia sebenarnya tidak takut menerima pem-bully-an lagi, karena ia merasa ada Aaron yang akan menjaganya. Hanya saja, ia sedikit tidak nyaman jika teringat akan kejadian buruk itu. Tulip masuk ke dalam aula dan duduk di salah satu kursi yang tersedia. Ia duduk di sebelah anak perempuan yang memiliki rambut panjang sebahu dengan warna yang sedikit cokelat dan pipinya chubby. "Hai, kenalan, yuk!" ajak anak itu seraya memberikan tangan kanannya. "Ah, hai! Boleh, namaku Tulip," jawab Tulip seraya membalas uluran tangan anak di sebelahnya itu. "Wah, cantik! Namaku Naiara, panggil aja Naya," balasnya. Naya begitu ceria dan menyenangkan. "Kamu masuk kelas apa?" tanyanya lagi. "Emm … X-1, kalo kamu?" Tulip balik bertanya. "Wah, sama! Nanti kita duduk satu bangku, ya!" Tulip yang sedikit takut untuk berkenalan, merasa senang bisa langsung menemukan teman yang sangat welcome seperti Naya. Ia merasa ini adalah awal yang baik. "Kamu yang tadi dianter sama orang tua, kan?" tanya Naya lagi. "Eh, kamu liat, ya, ternyata," jawab Tulip malu-malu. "Iya, aku liat. Jangan malu! Gak masalah kok. Tadi juga bundaku maksa mau anter, tapi aku nolak," jawab Naya. 'Syukurlah dia gak mengejekku,' batin Tulip. Kemudian kegiatan MPLS dimulai. Semua berjalan dengan baik. Para siswa diminta untuk saling berkenalan setidaknya dengan orang yang ada di sisi kanan dan kiri mereka. Tulip merasa begitu senang. Ia cocok berada di sekolah ini, meski ini untuk pertama kalinya ia bergaul dengan teman lelaki setelah tiga tahun ia hanya bergaul dengan teman-teman perempuan saja. "Kayanya kamu keliatan seneng banget sama kegiatan hari ini," ujar Naya. Kini mereka sedang istirahat dan duduk di bangku yang ada di bawah pohon di depan kelas. "Ah, iya. Memang kamu enggak?" tanya Tulip heran, pertanyaan yang lumayan aneh menurutnya. "Aku gak suka sama kegiatan kaya gini. Menurutku gak penting. Kita, kan, bisa keliling sendiri; cari tahu sendiri; yah, semuanya sendiri. Kita bukan anak kecil lagi, kan?" jawabnya sembari membuka bungkus camilannya. "Hmm… gitu, ya? Tapi, apa kamu juga gak suka liat pentas seni yang bakal diadain kakak kelas nanti di hari terakhir MPLS?" tanya Tulip lagi. "Oh iya? Apa itu ada?" Ia tampak sangat terkejut. "Iya, ada. Memang kamu gak baca rundown yang udah dibagiin?" Naya menggeleng dan langsung mengecek ponselnya. Ekspresinya berubah, ia tampak begitu semangat, tidak seperti tadi. "Apa kamu tau? Sekolah kita ini banyaaak banget cowok idaman! Itulah yang bikin aku semangat sekolah di sini," ucapnya. "Wow, jadi motivasimu cuma itu?" "Ya bukan itu aja sih, itu cuma salah satu motivasiku. Kalo banyak yang indah-indah, kan, semangat juga bakal semakin meningkat. Iya, kan?" tanyanya dengan semangat. "Mungkin iya, tapi mungkin juga enggak," jawab Tulip seraya menggigit roti potongan kedua. "Coba liat di sana! Apa mungkin mereka yang bakal pentas besok?" tanya Naya seraya menunjuk ke arah sebuah ruang kelas yang letaknya di paling ujung belakang.  Di sana terdapat beberapa siswa berseragam yang masing-masing membawa alat musik. Ada juga yang bekerja sama untuk menggotong keyboard. Meski terlihat berat, namun mereka hanya memperlihatkan ekspresi yang bahagia. Bahkan di antara mereka ada yang saling menjahili rekannya yang sedang membawa alat yang cukup berat. "Ah, itu vokalisnya!" ujar Naya lagi setelah seorang siswa laki-laki menyusul dengan membawa kabel dan kotak microphone. "Apa kamu kenal dia?" tanya Tulip semangat. "Enggak, hehe," jawabnya disertai senyuman yang menyerupai kuda. "Terus, gimana kamu bisa tau kalo dia vokalisnya?" "Cuma nebak aja, soalnya dia bawa microphone," jawab Naya dengan santai. Tulip mendengus pelan, ia sedikit kecewa. Ia berharap bisa mengetahui siapa pemilik suara emas waktu itu. Sayangnya, keadaan belum mengizinkan. Ia berharap bisa mendengar suara itu lagi nanti sewaktu pentas seni dilaksanakan.  *** Jam dinding sudah menunjuk angka tiga. Tulip baru saja masuk ke dalam rumah, ia baru pulang dari sekolah dijemput oleh supir pribadinya –yang kadang berbagi dengan Aaron. Mengetahui Tulip sudah sampai di rumah, Aaron langsung keluar dari kamar dan menyusul Tulip ke dapur. "Gimana hari pertamamu?" tanya Aaron pada Tulip yang sedang menuangkan air mineral ke dalam gelas. "Hmm… not bad," jawabnya kemudian menghabiskan air yang baru ia tuangkan dalam sekali minum. "Ada sesuatu yang buruk? Kayanya kamu gak happy." "Bukan, bukan gitu. Aku seneng kok. Baru hari pertama, tapi aku udah punya temen," jawab Tulip seraya meletakkan tasnya di atas meja makan dan duduk di salah satu kursinya. "Terus kenapa jawabanmu tadi 'not bad'?" tanya Aaron penuh dengan rasa penasaran. Ia merasa menyesal karena sudah melewatkan satu kejadian yang hampir membahayakan kondisi adik kesayangannya itu. "Apa Kakak kenal sama seseorang yang punya suara emas?" "Cowok apa cewek?" "Cowok." "Ciri-cirinya?" "Suaranya lembut, ganteng dan manis." Tulip menjawabnya dengan mata tertutup dan senyuman yang tersungging di bibirnya. "Yang ganteng suaranya?" tanya Aaron tak percaya. Tulip membuka mata dan mengangguk semangat. "Iya! Apa Kakak kenal?" "Definisi yang kamu kasih aja gak jelas, gimana aku bisa tau? Suara ganteng itu yang kaya mana? Berat, gak? Masuk kategori suara bass atau tenor atau apa?" tanya Aaron bertubi-tubi. "Hehe, aku gak tau. Cuma, dari suaranya aku bisa tahu kalo dia itu cowok yang ganteng." Jawaban Tulip berhasil membuat Aaron menggelengkan kepala. "Mendingan sekarang kamu ganti baru, terus tidur siang! Otakmu terlalu capek sampe berhalusinasi kaya itu," ujar Aaron seraya memakai kembali earphone-nya. "Ah, Kakak gak asyik!" gerutu Tulip. Aaron hanya menggerakkan tangan kanannya dengan maksud mengusir Tulip dari meja makan. Tulip memanyunkan bibirnya, namun tetap melakukan apa yang diperintahkan Aaron. Ia beranjak dari kursi dan membawa tasnya ke dalam kamar. Kemudian, Aaron juga meninggalkan ruang makan itu. 'Sebenernya aku tau siapa yang kamu maksud, Lip. Gak ada cowok bersuara emas di sekolah selain anak itu,' batin Aaron sembari melangkah ke kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN