Luka yang Terselip di Antara Tawa

1187 Kata
Beberapa hari setelah pertemuan di rumah Wulan… Pagi itu, suasana SMA Tirta Bangsa heboh. Poster besar terpampang di mading utama: > Lomba Presentasi Ilmiah Antar-Kelas Tema: Inovasi Sederhana untuk Lingkungan Sekitar Hadiah: Uang tunai, piagam, dan... LIBUR DUA HARI KHUSUS KELAS PEMENANG! Seketika satu sekolah geger. “LIBUR CUY! Dua hari! Di luar kalender akademik!” teriak salah satu siswa sambil joget di depan kantin. Di kelas XI IPA 3, Pak Hadi, wali kelas mereka yang terkenal dengan kumis tipis miring ke kanan, berdiri di depan kelas sambil berdehem. “Kelas kita harus menang. Dan saya tunjuk... Keira, Icha, Wulan, dan Naya sebagai wakil!” Sontak semua mata menoleh ke arah mereka berempat. “Ya ampun, Pak! Kenapa kita sih?!” teriak Icha refleks. “Karena kalian punya nilai rata-rata terbaik dalam tugas terakhir,” jawab Pak Hadi singkat. “Dan karena saya percaya, kelompok aneh kayak kalian bisa bikin kejutan.” Keira senyum simpul, Wulan tertunduk malu, Icha melongo, dan Naya cuma mengangkat alis. “Aneh ya, Pak? Baru kali ini guru ngomong jujur banget.” --- Latihan demi latihan pun dimulai. Tema mereka: “Sampahku, Energi Masa Depanku”. Ide awalnya dari Wulan, yang ternyata pernah membaca buku daur ulang limbah plastik jadi lampu darurat. Keira bagian presentasi data dan statistik. Icha jadi MC dan tukang narik perhatian juri. Wulan mendesain infografis dan alat peraga. Naya? Jadi tim keamanan dan nyari bahan bekas ke tukang rongsok. Mereka bahkan rela bolos ekskul buat nyusun alat dari botol bekas dan kawat. Suatu malam, mereka latihan di rumah Icha. Rumah petak sempit dengan atap seng, dapur terbuka, dan tumpukan buku pelajaran adik-adiknya yang berserakan. Meski sempit, suasananya hangat. “Makan dulu, Kak,” ucap adik Icha yang paling kecil sambil menyodorkan piring berisi tempe goreng. Keira dan Wulan tertegun. Mereka merasa seperti menemukan makna baru dari kata 'cukup'. Sampai akhirnya, kejadian tak terduga muncul. --- Dua hari sebelum lomba. Naya tidak muncul. HP-nya mati. Grup w******p sepi dari notifikasi “Naya is typing…” Awalnya mereka pikir dia cuma bosan. Tapi makin lama, Keira merasa ada yang aneh. “Aku coba ke rumah Naya, ya,” katanya. Rumah Naya terletak di g**g sempit, nyempil di belakang lapangan voli kampung. Saat Keira tiba, yang membuka pintu adalah seorang nenek renta dengan rambut memutih dan langkah gemetar. “Oh... kamu temannya Naya ya? Maaf, Naya lagi... nggak bisa diganggu.” “Kenapa, Nek?” tanya Keira cemas. Sang nenek menghela napas panjang. “Papanya datang lagi semalem. Bikin ribut. Naya diseret keluar rumah. Dia dipaksa pulang ikut bapaknya ke luar kota. Tapi Naya lari tengah malam. Sampai sekarang belum pulang…” Deg. Keira pulang dengan d**a berat. Ia langsung mengabari Wulan dan Icha. Malam itu mereka bertiga keliling kota naik ojek online, menyusuri tempat-tempat yang mungkin jadi pelarian Naya: taman belakang sekolah, halte kosong, bahkan warnet tempat biasa nongkrong anak-anak bandel. Hingga akhirnya, mereka menemukannya. Di belakang gedung tua dekat rel kereta, duduk sendiri sambil memeluk lutut, mata sembab. “Kenapa kalian cari aku?” suara Naya pelan. Keira mendekat, menatapnya lurus. “Karena lo temen kita, Nay. Dan karena lo janji, kita nggak ninggalin siapa pun.” Naya menangis. Bukan tangis biasa. Tapi tangis yang selama ini dipendam, yang tak pernah sempat ia tumpahkan. “Aku capek pura-pura kuat... Aku gak tahu kenapa hidupku begini...” Wulan memeluknya. Icha duduk di samping sambil merangkul bahu Naya. Dan untuk pertama kalinya, Naya tak marah saat disentuh. Ia membiarkan dirinya rapuh di hadapan mereka. --- Hari lomba pun tiba. Dengan mata masih sembab tapi tekad membara, Naya berdiri tegak di panggung bersama tiga sahabatnya. Presentasi mereka mencuri perhatian juri. Bukan hanya karena ide mereka brilian, tapi karena kerja sama mereka nyata. Tulus. Penuh rasa. Dan ketika diumumkan bahwa kelas mereka menang, bukan hadiah yang paling mereka syukuri. Tapi karena mereka sadar, mereka tak lagi sekadar duduk di sudut kelas—mereka sudah duduk di sudut hati satu sama lain. Hari itu, setelah lomba berakhir dan nama mereka diumumkan sebagai pemenang, seluruh kelas XI IPA 3 bersorak. Bahkan Pak Hadi, guru paling hemat ekspresi se-Tirta Bangsa, terlihat senyum sampai matanya menyipit. “Luar biasa kalian, luar biasa!” katanya bangga sambil menepuk-nepuk bahu Keira. Icha langsung berdiri di bangku, mengangkat tangan seperti orator. “Dengarkan aku, rakyat-rakyat kelas sebelah! Kami menang! Dan kami akan menikmati LIBUR DUA HARI seperti ratu-ratu masa depan!” teriaknya, membuat satu sekolah tertawa. Tapi di balik sorakan dan pelukan kemenangan itu, Naya tetap diam. Ia ikut tersenyum, tapi tidak secerah biasanya. Ada yang masih tertinggal di pikirannya. Dan Keira tahu itu. --- Malamnya, di grup chat 'Pojok Girls' Keira: Nay, kamu mau nginep di rumahku malam ini? Nggak usah balik dulu kalau belum siap. Naya: … Naya: Boleh. Wulan: Aku bawa es krim dan film horor. Icha: Gua bawa cemilan dan bantal guling. Serius, gua udah siap ngadain sesi pelukan berantai. Naya: Kalian ini ya… gila. --- Malam itu, mereka berkumpul di kamar Keira. Tempat tidur empuk, selimut tebal, pendingin ruangan yang dinginnya kayak hatinya mantan. Tapi yang paling hangat justru tawa dan cerita mereka. “Aku... pernah kepikiran kabur jauh. Kayak bener-bener pergi ke kota lain, kerja apa aja. Biar bisa bebas,” ujar Naya tiba-tiba. Keira menoleh. “Terus kenapa gak jadi?” Naya menghela napas. “Karena aku inget kalian.” Hening sejenak. Lalu Wulan membuka suara. “Kalian tahu kenapa aku selalu pakai baju warna gelap dan diem aja?” Icha menatapnya penasaran. “Kenapa?” “Aku dulu... pernah dikunci di kamar mandi panti selama dua hari cuma karena aku ketahuan nyari tahu soal orang tuaku. Sejak itu, aku takut bicara. Aku takut kalau suara atau rasa ingin tahuku malah bikin aku ditinggal.” Semua terdiam. Icha, yang biasanya paling heboh, hanya bisa memeluk Wulan pelan. Lalu giliran Keira. “Kalian pikir hidupku enak karena uang? Aku bahkan gak bisa sarapan bareng papa dan mama tanpa mereka bertengkar. Di rumah itu, semua ada—kecuali kedamaian.” Mata Icha mulai berkaca-kaca. Tapi ia mencoba tersenyum. “Kalian tahu... aku pernah jualan keripik keliling sekolah sebelum masuk SMA. Aku pura-pura nganterin buat kakakku, padahal itu jualan sendiri. Buat bantu beli s**u adikku.” Satu per satu rahasia mereka terungkap malam itu. Tapi bukannya membuat jarak, justru mengikat hati mereka lebih erat. --- Tengah malam, setelah tawa dan tangis reda… Keira membuka album foto lamanya. “Aku pengin satu foto bareng kalian, malam ini. Biar nanti, kalau kita udah tua dan rambut kita udah putih, kita bisa inget: dulu, kita pernah duduk di sudut kelas, tapi tumbuh besar di hati masing-masing.” Mereka pun berfoto. Rambut acak-acakan, mata bengkak, tapi senyum merekah. Empat gadis. Satu per satu datang dari dunia yang berbeda. Tapi malam itu, dunia mereka menyatu. --- Besok paginya, kabar mengejutkan datang. Ada murid baru pindahan dari Bandung, masuk ke kelas XI IPA 3. Dan anehnya… cowok itu menatap ke arah Keira cukup lama, lalu tersenyum ke Wulan, dan melirik Naya dengan wajah bingung. “Eh, jangan-jangan cowok itu... mantan seseorang di antara kita?” bisik Icha penuh drama. Mereka hanya saling pandang. Tapi satu hal pasti: babak baru akan dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN