Sementara itu di sebuah
kantor, Robi masih termenung. Dia masih tak percaya bisa bertemu dengan Sita. Dulu mereka berenam selalu bersama. Hampir setiap hari mereka belajar atau bermain bersama. Sampai kelulusan sekolah dasar. Mulai SMP dan SMA, Robi tidak pernah bertemu dengan Sita. Walaupun rumah mereka jaraknya tidak terlalu jauh, tapi dia tidak pernah melihatnya.
Mungkin mereka sibuk belajar, pikir Robi. Istri Robi, Rani, juga berkata jarang melihat mereka. Rani memiliki bisnis ritel sendiri, warisan dari ayahnya. Perusahaannya cukup berkembang pesat.
Sayangnya, Robi tidak mau bergabung, dengan alasan ingin mandiri. Alasan klise memang, tapi itulah kenyataannya. Rani ingin mewariskan perusahaan kelak kepada Zidan. Dia sudah cukup kelelahan mengurusnya sendiri. Robi menyerahkan semua keputusan tersebut kepada Rani. Sayangnya, Robi dan Rani tidak tahu, bahwa dulu, anak semata wayang pernah menjalin kasih dengan Sita. Hanya orangtua Sita yang tahu.
"Sudah sampai, ayo turun." Ajak Dafa. Ternyata Dafa mengajak Sita ke pantai. Ombaknya yang tenang, membuat Sita terhanyut. Mereka duduk di pasir pantai sambil meminum es kelapa. Dafa sengaja menunggu matahari terbenam. Sangat indah melihat matahari terbenam bersama seseorang. Mereka berdua pun berfoto bersama sunset. Tak lupa Dafa mempostingnya di status.
"Sunset with princess. Shining just like you."
Mereka berdua menikmati indahnya pantai. Untuk orang yang datang bersama kekasih, mungkin ini akan romantis. Tetapi tidak bagi Dafa dan Sita. Dafa hanya ingin menghibur Sita dan membuatnya kembali bersinar.
"Indah sekali Daf, Terima kasih ya. Mood-ku seketika membaik. Setelah padatnya pekerjaan tadi."
"Berjanjilah padaku untuk tetap bahagia Ta, walaupun aku ga bisa menemanimu setiap hari.
Kamu harus bisa menutup luka itu. Perlahan tapi pasti."
"Sakit Daf." Sita mulai terisak. Dan air matanya pun tumpah lagi. Dengan senang hati Dafa meminjamkan bahunya untuk bersandar. Sita masih menangis di bahu Dafa. Dia membutuhkan banyak waktu sepertinya, pikir Dafa.
"Its oke. Take yourtime," kata Dafa.
Mereka terdiam untuk beberapa saat sambil memandangi matahari yang mulai tenggelam. Pantai pun mulai terlihat lebih ramai saat menjelang malam. Dafa pun mengajak Sita menuju masjid terdekat. Mereka melaksanakan kewajibannya. Setelah selesai, Dafa menunggu Sita di parkiran. Cukup lama, pikir Dafa. Mungkin Sita masih menumpahkan
kesedihannya. Sedangkan Sita, masih terdiam di atas sajadahnya dan kembali menangis. Dafa lalu masuk kembali ke dalam lalu mencari Sita di bagian khusus perempuan. Dia melihat Sita masih menangis.
"Ta, kamu udah selesai?"
Sita segera bergegas setelah Dafa memanggilnya. Lalu mengusap kasar air matanya dan segera menghampiri Dafa.
"Maaf ya kelamaan nunggu."
"Ga apa. Ayo kita cari makan."
"Aku mau seafood. Kamu yang traktir ya."
"Oke."
Sementara itu, di
kediaman Zidan. Zidan
sedang termenung melihat status Dafa, mereka bersama lagi, pikir Zidan. Kenapa mereka hampir setiap hari pergi berdua. Zidan masih tak habis pikir. Ga mungkin kalo Dafa suka sama Sita. Kalo memang iya, kenapa ga dari dulu mereka bersama. Lalu, pintu rumah Zidan diketuk. Mbok Yem, pembantunya Zidan, mengetuk pintu kamarnya.
"Den, ada tamu."
"Siapa Mbok?"
"Non Wina."
Malas rasanya menghadapi temannya yang satu ini. Perempuan yang selalu datang ke rumahnya walaupun dia selalu menolaknya, Wina sangat keras kepala. Wina adalah temannya dari kecil. Dia juga kenal dengan semua grup Mentari, yaitu Zidan, Dafa, Gege, Fara, Sita, dan Mira.
Grup Mentari adalah nama grup yang diberikan oleh wali kelas mereka dulu. Setiap kelompok diberi nama yang berbeda. Wina masuk grup Pelangi bersama Ria, Feri, Resi, Kena, dan Raya.
"Hai Zi. Kenapa ga ngabarin kamu dah balik ke Indo?"
"Kamu tahu dari mana Win?"
"Aku lihat status Gege.
Kupikir pasti dia bareng ma kamu dan Dafa liburan. Dugaanku tepat."
"Ya," Zidan malas menanggapinya. Dia hanya tersenyum kecut.
"Kita keluar yuk Zi. Aku belum makan malam."
Zidan hanya mengiyakan. Lalu masuk ke kamarnya dan berganti baju. Mereka pun berangkat. Lalu, tiba-tiba muncul ide gila Zidan. Dia akan menyusul Dafa dan Sita ke pantai. Ide yang luar biasa, pikir Zidan.
"Mau makan di mana Zi?"
"Kita makan di pesisir pantai yuk, dah lama aku ga ke pantai."
"Aku ngikut aza. Gimana kuliahmu di sana? Kapan selesai? Kalo aku kan ambil D3, bulan depan aku wisuda. Kamu dateng ya."
"Kuliahku beres sekitar 2
tahun lagi. Masih lama. Oh kuliahmu dah beres ya, selamat Win, tapi kayanya aku ga bisa ambil libur. Ini aza aku ambil libur karena Dafa ma Gege yang maksa aku ikut."
"Ya, padahal aku berharap kamu bisa dateng Zi. Tapi ya sudahlah."
Tak lama, mereka sampai juga di pantai. Zidan mulai mencari tempat yang strategis, untuk memantau Sita dan Dafa. Mereka masuk ke sebuah rumah makan. Lalu mulai memesan. Dan ternyata, tempat makan Sita dan Zidan bersebelahan. Pandangan mata Sita dan Zidan bertemu saat Zidan masuk bersama Wina. Dafa kaget melihat Zidan datang bersama Wina, begitu juga Sita. Dafa lalu teringat saat mereka kecil. Zidan tidak suka dengan Wina. Menurut Zidan, Wina untuk ukuran perempuan, termasuk terlalu berani, temperamen, pemilih, dan masih banyak
kejelekannya yang lain. Dafa mulai berpikir logis, mengapa Zidan dan Wina ada di sini. Apa karena Zidan melihat statusku lalu dia mengajak Wina? Tapi jelas-jelas Zidan sudah menolak Sita. Ah, tambah dipikir, tambah mumet, pikir Dafa.
"Zi, kamu di sini juga, eh sama Wina juga." Dafa mulai menyapa.
"Eh ada Dafa ma Sita. Kok bisa kebetulan ya bertemu di sini." Wina pun menjawab.
"Aku dan Sita udah dari sore di sini Win. Mau ngelihat sunset." Beber Dafa.
"Oh gitu, duh Zi, padahal kita dari sore juga di sini, kan bisa lihat sunset juga. Indah banget kayanya."
"Kamu kan dateng ke rumahku abis magrib. Gimana mau lihat sunset."
"Eh iya lupa."
"Yuk Daf, kita duluan ya. Mau makan, laper," kata Zidan.
"Oke."
Oh ternyata Wina yang mendatangi rumah Zidan. Dari dulu ga berubah tuh anak, selalu ngejar-ngejar Zidan. Anehnya, kok sekarang Zidan tidak menolak ya.
"Daf, kok melamun, ayo terusin makan," Sita berbicara.
"Ga ngelamun kok. Cuma aneh aza, bertemu mereka berdua di sini. Di antara semua tempat, kenapa mesti bertemu di sini."
"Udah ga usah dipikirin Daf, yuk lanjutin makan."
Sita makan sambil berpikir dan tak terasa makanan pun telah habis. Iya juga, kenapa Zidan bisa kepikiran untuk ke sini ya. Dan melihatnya bersama Wina, entah mengapa dadanya sedikit sesak. Air matanya memang tidak bisa turun, tapi dadanya sekarang yang bermasalah. Sesak ini, kenapa datang sekarang. Sita memegang dadanya sejenak dan menghentikan makannya. Dafa yang melihatnya, langsung mendekati Sita.
"Kamu ga apa-apa? Ini minum dulu Ta."
"Aku ga apa-apa." Sita menarik napas panjang lalu mulai minum dengan perlahan. Sesakit inikah melihat orang yang masih bersemayam dalam hati, bersama perempuan lain.
"Aku sudah selesai makan Daf. Bisakah kita pulang sekarang?"
"Iya, kita pulang sekarang. Aku juga udah selesai."
Setelah membayar tagihan, Dafa berpamitan pada Zidan dan Sita. Zidan memandangi punggung mereka berdua. Kenapa melihatnya secara langsung, hatinya bertambah sakit.
Melihatnya di status Dafa saja, dia udah merasa sesak. Apalagi ini melihat secara langsung. Dadanya bergemuruh menahan sakit. Tapi berusaha dia tahan karena dia sedang bersama Wina.
"Kok makanmu sedikit Zi?"
"Aku lagi ga nafsu makan. Tapi tenang aza, pasti aku abisin, mubazir."
"Setelah makan, kita nonton yuk Zi. Ada film bagus baru rilis."
"Mungkin nanti ya Win, ga hari ini. Mami dan papi memintaku pulang jangan terlalu larut."
"Oke, nanti kita jadwalkan ya Zi."
Zidan masih merasa sesak. Setelah makanannya habis, dia akan langsung mengantar Wina pulang. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Dia hanya ingin merebahkan diri di kasurnya. Saat hendak keluar dari rumah makan, dia melihat lagi pemandangan yang membuatnya bertambah sakit. Dafa sedang memeluk Sita. Sesakit inikah rasanya. Zidan ingin menangis. Dia pun bergegas menuju tempat parkir dan mengajak Wina pulang.
Sementara itu, setelah keluar dari rumah makan, bahu Sita bergetar naik turun. Dafa tahu Sita mati-matian menahan tangisnya. Setelah agak jauh dari tempat makan, grep, Dafa memeluk Sita. Dan Sita memeluk Dafa sambil menangis terisak. Dafa mengusap punggung Sita dengan lembut. Sita mengeratkan pelukannya. Mereka berpelukan tanpa tahu Zidan sedang memandangi mereka.
"Aku ada di sini. Jangan khawatir ya Ta. Menangislah di dadaku." Sita hanya bisa pasrah menangis di d**a Dafa.