“Setiap orang punya sudut pandang dan penilaian yang berbeda dalam mencintai.”
----
“Lho, Al? Lo ke sini sekarang?”
“Hm, iya.”
“Gue belum kelar lho.” Vanila mencopot apron yang melekat di tubuhnya kemudian menggantungkannya di sudut dinding.
“Boleh gue bantu?”
Aly merapikan kursi yang berjejer hampir tidak karuan karena siang tadi banyak pengunjung yang datang untuk sekedar ngopi dan menikmati roti.
“Jadi ngerepotin.”
“Ah nggak. Kan biar kerjaan lo cepet selesai juga.”
Vanila hanya menanggapinya dengan senyuman tipisnya dan kembali menata meja dan kursi.
“Lo udah lama sering bantu-bantu di sini?” tanya Aly memecah kecanggungan di antara keduanya.
“Gue kecil di sini, tapi mulai bantu-bantu pas udah SMP. Kasihan kalo ibu harus jaga sendirian.”
“Kok gue gak pernah liat lo ya?”
“Itu karena lo gak pernah merhatiin lingkungan lo sendiri, Al,” batin Vanila.
“Ya, maksudnya gue kan sering ke sini gitu. Kita kan satu sekolah, tapi lo gak nyapa gue atau apa.” Aly menambahkan penjelasan.
“Gue bukan orang yang sok akrab sama orang lain, ya biar pun gue tau kita satu sekolah. Cuma gue kan gak kenal-kenal banget sama lo.” Vanila memberikan jawaban selogis mungkin.
Di saat siswi-siswi SMA Pertiwi berebut mendapat perhatian Aly, Vanila malah biasa saja bahkan menjawab demikian. Aly yakin bahwa Vanila bukan gadis yang suka tebar pesona sana-sini. Ia gadis yang hidup apa adanya, dengan segala kesederhanaannya. Namun, istimewa di mata kawan terdekatnya dan kini Aly.
“Al, ini udah mendung banget. Lo gak takut kemaleman di sini?” tanya Vanila. “Maaf lho, ini bukannya ngusir, cuma gak enak aja kalo lo sakit gara-gara kehujanan.”
Vanila lihat, Aly tidak membawa mobilnya dan hanya ada sebuah motor sport yang terparkir di depan tokonya yang ia yakin itu adalah milik Aly.
“Kalem,” jawab Aly tenang.
Hanya beberapa menit setelah percakapan mereka, hujan mengguyur ibu kota dengan lebatnya. Tanpa ampun dan tanpa gerimis sebelumnya. Layaknya perasan cinta yang hinggap tiba-tiba tanpa peringatan sebelumnya.
“Tuh kan. Mana hujan kayak gini tuh redanya pasti lama,” keluh Vanila.
“Ya udah sih, Van. Segitu khawatirnya lo sama gue?” decak Aly.
“Bukan gitu. Cuma gue males aja ngerasa bersalahnya. Bukan karena besok lo gak masuk sekolah ya, itu sih udah biasa. Tapi, nanti kalo lo sakit terus musti di rawat dan gue harus tanggung jawab gimana? Gue gak punya banyak duit buat biayain lo.”
Aly terbahak menanggapi omongan Vanila yang ternyata mengkhawatirkan keuangannya jika Aly sakit.
“Ya Tuhan, lo itu pikirannya jauh banget. Gue gak bakal minta tanggung jawab kok, kan gue yang ke sini sendiri. Tenang aja, gue gak kurang duit kok sampe minta lo tanggung jawab segala.”
“Iya deh Tuan kaya!” tekan Vanila.
Hening kembali. Sampai Resti datang menghampiri kedua remaja itu.
“Eh, ada Nak Aly.”
“Hallo, Bu.” Aly mencium punggung tangan Resti.
“Vani, ajak ke atas aja Alynya,” titah Resti pada putri semata wayangnya. “Ini nanti ibu yang lanjutin.”
Vanila mengangguk dan mengajak Aly menuju lantai dua tokonya. Itulah rumahnya.
“Sorry berantakan sama sempit.”
“Gue bukan pangeran Harry kali. Ya biar pun gantengnya gak bisa di bedain.”
“Pede lo, ya kan lo anak—“
“Orang kaya?” potong Aly.
Vanila mengangguk. “Maaf kalo kesinggung.”
“Maaf mulu sih kayak lebaran.”
Vanila menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia membawa Aly ke balkon rumahnya yang berhadapan langsung dengan padatnya jalanan ibu kota.
“Duduk, Al. Gue ngambil minum dulu.”
Aly mengangguk sambil memperhatikan sekitarnya. Pandangannya tertuju pada bingkai foto yang menempel di sudut dinding.
Aly memperhatikan dengan seksama, di sana terdapat tiga orang –yang Aly duga Vanila dan orang tuanya-- yang sedang tertawa lepas di pantai. Ia termenung menatap foto itu lebih dalam. Mereka utuh dan bahagia.
“Al.” Panggilan Vanila mengejutkan Aly, anak lelaki itu terkesiap dan berbalik.
“Sorry lancang.”
“Santai aja. Nih.” Vanila menyerahkan sebuah buku setelah menaruh baki berisi air ke atas meja.
“Buku puisi gue,” jawab Vanila seakan mengerti tatapan tak mengerti dari Aly.
Anak lelaki itu menerimanya dan mulai membuka buku itu lembar demi lembar.
“Isinya tentang orangtua semua?” Aly mengernyit.
Vanila mengangguk dan mulai bercerita.
“Gue gak tau dengan cara apa ngungkapin rasa sayang gue ke Ayah sama Ibu. Jadi gue bikin aja puisi. Terlebih Ayah. Gue selalu bikin puisi kalo lagi kangen banget sama Ayah.”
Aly menatap wajah sayu gadis di depannya. Cuaca dan wajahnya kini seperti dua hal yang sedang berdampingan. Sama-sama mendung. Kenangan tentang ayahnya selalu menguak luka yang amat dalam atas kepergiannya.
“Gue gak maksud bikin lo kembali mengingat masa-masa itu.” Aly merasa bersalah.
“Takdir, Al. Gue ikhlas kok, ini cuma kangen.” Vanila mengusap air mata yang mengalir di pipinya tanpa permisi.
“Eh kok jadi gue yang curhat. Katanya mau belajar bikin puisi, Al.” Vanila mengalihkan topik.
“Tapi gue bingung, mau ngambil tema apa.” Aly mengetuk-ngetuk dahinya.
“Orang tua?”
“Bad idea.”
“Why?”
Aly hanya menggeleng. Vanila paham, ada hal yang tak boleh ia tanyakan lebih jauh.
“Oke, gimana kalo cinta?”
“Gue gak ngerti juga.”
“Really? Al, gue gak percaya lo gak ngerti.”
“Serius. Gue belum pernah jatuh cinta,” jawab Aly.
“Masa? Tapi kan lo—“
“Gonta-ganti cewek?” sambarnya.
Vanila mengangguk.
“Oke gue emang b******n. b******k. Gue sering mainin cewek. Tapi gak ada satupun yang gue suka, kecuali---” Aly menggantung kata-katanya.
“I see. Lo cuma ngumbar hawa nafsu?”
“Bukan ngumbar hawa nafsu, tapi gue laki-laki normal. Kalo disodorin ya mana bisa nolak.”
“Ngeles aja lo!”
Keduanya tertawa. Entah bagaimana, Vanila tidak merasa risih dengan pengakuan Aly. Ia cukup nyaman bercakap dengan anak lelaki itu. Karena baginya tidak ada manusia yang sempurna, tidak ada manusia yang benar-benar suci. Tapi ia yakin jika ada sesuatu yang baik yang belum di ketahuinya.
“Balik lagi ke puisi, nanti makin larut.” Vanila meluruskan tujuan Aly yang sebenarnya modus.
“Apa dong?”
“Sahabat?”
“Maksud lo gue nulis puisi tentang sahabat? Gila geli banget gue ngebayangin si Bima.” Aly terbahak.
“Lah, malah ketawa.”
“Jadi gini ya, Vani. Sebenernya gue bingung apa yang mau gue tulis tentang persahabatan gue sama Bima. Dia itu gak bisa gue, aduh bingung. Pokoknya, dia tuh segalanya. Sahabat gue, keluarga dan satu-satunya orang yang ngertiin gue. Oke sekarang gue lebay. Tapi ya itu kenyataannya.”
“Salut gue. Gak nyangka!” Vanila memandang takjub Aly. “Bahkan mungkin gue, Vey sama Virgo aja gak sebegitunya. Walaupun, kita udah temenan dari kecil.”
“He's my everything!” jawab Aly mantap. “Eh kok kesannya gue kayak m**o ya?”
Vanila tertawa mendengarnya.
“Jangan ketawa!”
“Iya maaf, abisnya lo kayak mengakui gitu.” Vanila terbahak lagi.
“Gak lucu! Udah jangan ketawa lagi ih, gue normal ya. Pipis juga udah tegak kok!”
Vanila semakin tergelak mendengar penuturan Aly.
“Vani. Jangan ketawa udah stop! Lo makin keliatan manis kalo ketawa gitu.”
“Apa?” Vanila meminta Aly mengulang perkataannya. Takut ia salah dengar karena saking kencangnya tertawa.
“Lo manis.” Aly mengulang kata-katanya tegas.
“Padahal, gue lebih dari manis, udah lucu, imut, cantik lagi.” Vanila tertawa lagi hingga air matanya keluar.
Vanila, bukan gadis yang mudah blushing karena rayuan dan gombalan kecil. Dia malah menanggapi perkataan Aly dengan candaan.
Aly menatap gadis itu, ia yakin bahwa gadis di hadapannya ini bukan gadis yang mudah tergoda dengan apapun. Dia sederhana dan apa adanya. Dia baik tapi tidak pernah memandang buruk orang lain.