“Aku mengagumimu lewat secarik kertas dan goresan pena. Seberapa banyak? Entahlah.”
----
Vanila menghirup aroma harum dari buket bunga mawar putih di tangannya, senyumnya merekah sempurna. Paginya indah.
‘Aku pikir, kamu hanya pelangi yang indah namun hanya sekejap singgah.
Ternyata, kamu Edelweiss yang indah dan abadi.
Tidak semudah itu menggapaimu.
Tidak boleh pula memilikimu.
Tapi tidak dengan kamu, edelweissku.
Meski sulit, aku akan tetap menggapaimu.
Kemudian memilikimu seutuhnya.’
With Love,
AP.
“Cie, pagi-pagi udah senyum-senyum aja. Baper ya dapet bunga dari kakanda?”
Pucuk di cinta sang pengantar bunga tiba. Dengan percaya dirinya Aly memasuki kelas Vanila yang belum begitu ramai.
“Wah wah! Good job, Al! Cepet banget lo belajar puisi udah bisa sekeren itu. Gue jadi bangga gimana gitu. Gak sia-sia kan gue punya murid yang cepat tanggap,” gurau Vanila.
Aly menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Ia mencerna perkataan Vanila perlahan. Ternyata, tawa gadis itu bukan karena bunga yang ia terima, melainkan puisi Aly yang cukup baik untuk seorang pemula. Sungguh di luar prediksi.
“Em, iya. Duh jadi malu.”
“Apaan malu? Dih preman sekolah sok malu-malu.”
Aly tidak menjawab. Sedangkan, Vanila sibuk membolak-balikan secarik kertas berisi puisi karya Aly.
“Oh iya, kok lo ngasih puisinya ke gue?”
“Itu, em, apa, gue cuma pengen lo jadi orang pertama yang tau puisi gue. Kan, lo yang ngajarin,” alibi Aly sambil tergugup.
“Terus bunganya?”
“Gue pikir lo suka, sekalian tadi lewat aja sih.”
“Suka. Apalagi mawar putih. Kayak peramal lo, tau aja.”
“Gue pilih random aja. Kebetulan itu yang paling segar.” Tentu saja, Aly berbohong lagi.
Padahal, sebelumnya ia sudah menginvestigasi layaknya seorang detektif untuk mengetahui segala tentang Vanila.
“Al,” panggil Vanila.
“Iya?” Aly tersentak karena gadis itu menatap ke pusat mata coklat miliknya.
“Lo gak denger?
“Apa?” Aly masih dalam mode cengo.
“Bel masuk. Bukannya ngusir, tapi bentar lagi guru masuk. Jangan cari masalah terus. Kurang-kurangin sikap trouble makernya.” Vanila tersenyum tipis.
“Oke! Gue cabut ya. Sampai ketemu istirahat pertama di kantin. Gue udah reservasi tempat buat kita berdua.” Aly mengedipkan sebelah matanya sambil keluar dari kelas Vanila.
Gadis itu menatap punggung Aly yang mulai tak terlihat sambil berdecak. “Dasar cowok aneh!”
Ia memasukkan buket bunganya kedalam laci mejanya dan mulai mengeluarkan buku tulis, paket dan LKS ke atas mejanya. Tak lupa juga alat tulisnya.
****
“Balik sekolah jalan yuk!” Virgo buka suara.
“Gue jaga toko kalo perlu gue ingetin lagi.”
“Sorry, lupa.”
“Abis maghrib aja gimana?” usul Vera yang langsung di iyakan oleh kedua sahabatnya.
Ketiganya berjalan memasuki kantin karena perut mereka sudah tidak menerima alasan apapun selain makanan.
“Vani.” Aly melambaikan tangannya dari meja paling pojok kantin.
“Gue?” tunjuk Vanila pada dirinya sendiri. Gerakannya terhenti karena merasa namanya terpanggil.
“Vani mana lagi yang gue kenal selain lo?” kekeh Aly menghampiri gadis yang tengah bersama kedua sahabatnya itu.
“Yuk!” Anak lelaki itu mengamit lengan Vanila tanpa permisi.
“Eh eh. Apa nih?” Vanila meronta.
“Kan gue udah bilang tadi, gue udah reservasi meja buat kita berdua.”
“Lo pikir restoran pake reservasi segala? Lagian gue udah sama Vey sama Virgo,” dengus Vanila.
“Kan lo udah janji tadi.”
“Gue gak iyain kali, Al.”
“Gak usah maksa kalo orangnya gak mau!” bentak Virgo.
“Iya, lo kan bisa ngajak cewek lain. Vani gak kayak cabe yang lalu lalang di sekitar lo!” timpal Vera ketus.
Memang, kedua sahabat Vanila itu tidak menyukai jika cowok playboy macam Aly mendekati sahabat mereka. Meski mereka tidak mengatakannya secara langsung kepada Vanila.
“Kalian boleh gabung kok. Gue yang traktir.”
Mendekati sahabatnya adalah upaya Aly untuk mendekati Vanila. Jika sahabatnya suka, maka akses pedekatenya dengan Vanila menjadi lebih lancar. Cowok dengan sejuta akal.
“Lo pikir kita gak mampu bayar apa?” Virgo malah merasa direndahkan atas perkataan Aly.
“Gak gitu, maksud gue—“
“Udah, stop!” potong Vanila. “Kita mau makan, bukan mau debat.”
“Kita duduk bareng, dan bayar masing-masing!” putus Vanila akhirnya.
Aly, Virgo dan Vera hanya mengangguk lemas dan mengikuti Vanila ke pojok kantin. Tempat duduk yang ‘katanya' sudah di reservasi oleh Aly tersebut.
“Mau makan apa?” Aly memecah keheningan di antara mereka.
Hanya Vanila yang tampak celingukan bingung menjawab pertanyaan Aly. Sementara, Virgo dan Vera tampak acuh sambil memainkan satu ponsel berdua. Entah apa yang mereka lakukan.
“Guys…” Vanila berbisik sambil menyenggol lengan Vera.
“Iya kenapa, Van?”
“Mau pesen apa?”
“Samain sama lo!” Kini, Virgo yang menjawab.
Kemudian, kedua sahabat Vanila itu fokus kembali pada ponselnya. Ternyata, mereka berdua tengah menonton drama Korea, Dream High. Vanila yang menyadari itu hanya menggeleng.
“Bae Suzy cakep banget anjir!”
“Cakepan gue!”
“Suzy lah!” Virgo ngotot.
“Sama Naki?”
“Suz—ya Naki lah. Pake ditanya.”
“Oke, jawaban pertama biasanya jujur.” Vera menyeringai sedangkan Virgo mendengus.
“Alay lo pada!”
Aly hanya mengamati ketiga orang yang sangat akrab di hadapannya. “Gue jadi kangen si Bimbim,” gumam Aly.
Pasalnya, sahabatnya itu sudah beberapa hari tidak masuk sekolah karena sakit demam. Sangat tidak elit memang, pikir Aly. Tukang clubbing tapi sakit demam.
“Ini sih gagal total pedekate gue. Ngedeketin temennya sih ngedeketin temennya. Tapi gak gini juga kali,” batin Aly.
Sementara itu, trio V itu tengah sibuk dengan entah apa. Aly tidak memahaminya sama sekali.
“Eh bel masuk.”
Mereka berempat pun beranjak dari kantin dengan agak tergesa-gesa sebelum guru pelajaran selanjutnya mendahului mereka.
“Pulang bareng gue ya.” Aly mencekal lengan Vanila sebelum gadis itu meninggalkan kantin.
Vanila hanya mengangguk kemudian segera berlari karena khawatir terlambat masuk ke kelas.
Aly tak henti-hentinya mengulas senyum di sepanjang koridor menuju kelasnya membuat siswi-siswi berteriak histeris, kemudian berbisik mengagumi keindahan ciptaan Tuhan tersebut.
Anak lelaki itu semakin menyeringai dan mengedipkan sebelah matanya. Tak biasanya memang, tapi rasa bahagianya tak bisa ia sembunyikan lagi. Dan soal pesona, ia sudah sangat mempesona tanpa harus tebar pesona.
Ia tidak masuk kelas, langkahnya tertuju pada tangga yang menghubungkannya dengan lantai teratas sekolahnya. Ya, rooftop adalah tujuan utamanya. Ia lebih memilih merokok di sana ketimbang mengikuti pelajaran yang membuatnya ngantuk.
Sebenarnya, ia ingin membolos keluar sekolah, tapi tujuannya saat ini adalah menunggu Vanila pulang. Itu saja.
Aly mengepulkan asap rokoknya ke udara, itu isapan terakhirnya sebelum ia melemparkan puntungnya sembarangan. Kemudian, melirik Daniel Wellington di pergelangan tangan kirinya. Dua puluh menit lagi bel pulang. Ia mengambil sebatang rokok lagi dan menyelipkan di antara lipatan bibirnya, lalu menyalakan pemantiknya.
“Al? Kok lo di sini? Bukannya kelas lo ada jam tambahan ya?” tanya Vanila heran karena melirik kelas Aly yang terlihat masih menjalani KBM.
“Gue gak masuk,” jawab anak lelaki itu enteng.
“Lo hobi banget bolos ya, Al? Gak takut tinggal kelas apa?” decak Vanila sambil berjalan mendahului Aly.
“Gak akan! Eh tungguin dong, Van.” Anak lelaki itu mengekori Vanila.
“Kok sibuk banget?”
“Hm…”
“Gak nyimak gue?”
“Ha? Gimana, Al? Ini gue balas chat dulu bentar.”
“Siapa? Kok kayak fokus banget?”
“Kepo!” Vanila menjulurkan lidahnya sambil berlari kecil.
Aly terkekeh melihat tingkah Vanila yang sangat menggemaskan di matanya.