Pertemuan takdir yang menyesakkan

1002 Kata
Kakinya sudah melangkah jauh meninggalkan sekolahnya. Dia berlari terlalu cepat hingga merasakan sesak di dadanya. Dia tidak mau dikirim ke Singapura. Jelas sekali apa tujuan dari pamannya itu ingin mengirimnya pergi jauh. Semua hanya karena warisan yang ditinggalkan orangtuanya. "Sial, mereka masih bisa mengejar!" maki Belva melihat orang-orang itu ada jauh di belakangnya. Dia kembali berlari dengan nafas tersengal dan wajah memerah karena terpapar teriknya matahari. Jelas anak orang kaya sepertinya tidak pernah main panas-panasan. Peluh juga sudah membahasi sekujur tubuhnya. Ini adalah rekor lari dengan jarak terjauh sepanjang hidupnya. Bahkan dia tidak lagi mengetahui dimana dia berada. Hanya terus berlari dari kejaran orang-orang suruhan pamannya itu. "Kanan atau kiri?" Belva tidak mengenali Jalanan ini, dia bingung harus lari ke arah mana. "Berjalan harus di sebelah kiri, berarti kiri aja!" Gumamnya meyakinkan dirinya sendiri. Tapi malang, karena jalan yang dipilihnya adalah jalan buntu. Hanya ada beberapa rumah di sekitar sini. Dan termasuk sepi karena semua pagar tertutup rapat. Dia tidak akan bisa meminta tolong saat nanti orang-orang itu menangkapnya. "Mati gue! Kayaknya pasrah aja kalo gini!" Belva sudah tidak kuat lagi berlari, lagi pula dia juga tidak tahu harus berlari kemana lagi. Tiba-tiba ada yang membekap mulutnya. Belva berusaha meronta saat dia diseret ke dalam sebuah rumah. Orang yang tadi membekap mulutnya adalah orang asing. Bukan orang-orang suruhan pamannya. Belva melihat orang itu sedang gugup. Laki-laki usia sekitar empat puluhan itu mulai panik mengintip di jendela. "Anda siapa? Kenapa bawa saya ke sini?" Belva ketakutan, dia tidak mengenal orang itu, tapi kenapa dia di bawa ke sini? Belva takut jika orang itu akan memperkosanya, atau memutilasinya. "Diam, kamu!" bentak orang itu sambil melotot ke arahnya. Belva panik, dia mengamati rumah itu mencari celah untuk melarikan diri. Tapi semua pintu terkunci, dia juga tidak bisa melarikan diri lewat jendela, karena jendela di rumah itu terpasang tralis besi. "Kamu ingin lari kemana?" Orang itu memegang Belva yang meronta ingin dilepaskan, tapi karena tenaganya terlalu lemah, Belva berakhir terlempar ke dinding dengan kuat. "Jangan macam-macam! Atau akan kupotong kakimu itu!" Penjahat itu memamerkan pisaunya. Belva langsung membeku melihat pisau di tangan orang itu. Dia bahkan tidak jadi merintih dan memilih menahan sakit di lengannya. Air matanya sudah menetes, dia heran, kenapa takdir tidak pernah berpihak padanya. Ditinggal mati orangtuanya beberapa bulan lalu, kemudian di teror oleh keluarga pamannya agar menyerahkan hak warisnya. Yang paling dia tidak mengerti dari hidupnya adalah, dia berakhir di tangan orang asing yang mengancam akan memotong kakinya. Sungguh takdir yang mengenaskan. Dia masih belum mengerti tujuan orang asing itu membawanya ke rumah ini. Apalagi melihat gerak-geriknya yang terus mengintip di jendela. Hingga dia mendengar suara mobil mendekat. Belva melangkah mundur, dia takut jika itu adalah kawanan orang asing itu. Apa yang harus kulakukan? Belva terkejut saat pintu terbuka dan melihat wajah-wajah seram muncul dari sana. Mereka semua memiliki tato di bagian tubuh mereka. Satu hal yang ada dibenaknya, orang itu pasti orang jahat! "Wah, bagaimana bisa kau memiliki putri yang cantik?" tanya salah seorang bertato pada orang asing yang membawanya tadi. "Iya, ibunya mewariskan kecantikannya pada anak itu. Sekarang kau bisa membawanya. Hutangku lunas bukan?" Orang asing itu menunjuk Belva dan hendak meraihnya mendekat, tapi Belva berlari menjauh. "Aku tidak yakin dia putrimu. Bahkan dia ketakutan melihatmu!" Kata orang itu meragukan laki-laki asing yang mengaku-ngaku Belva sebagai putrinya. "Aku bukan putrinya!" Belva memberanikan diri mengatakan hal tersebut, sayangnya mereka malah tertawa. Laki-laki asing itu ketakutan. Tapi dia masih kekeh mengatakan jika Belva adalah putrinya. Orang-orang itu sepertinya tidak percaya, mereka menghajar orang asing itu hingga babak belur. Menginjak kepalnya di lantai. "Kau mau membohongi kami rupanya. Maka temui saja ajalmu!" Letusan senjata api membuat darah muncrat dari punggung laki-laki asing itu. Belva menutup mulutnya menahan isakan. Tamatlah riwayatnya, dia akan mati di tangan orang yang tidak dia kenal. Berharap nanti akan ada yang menemukan mayatnya. Belva luruh terduduk di lantai dengan air mata yang sudah bercucuran. "Bawa gadis itu!" Belva menggeleng takut, dia tidak mau. Mereka mau membawanya kemana? Sungguh, dia ketakutan dan menyesal. Seharusnya dia mengikuti permintaan pamannya saja. Setidaknya dia akan bisa tetap hidup meskipun di negeri orang. Sekarang, dia hanya bisa menangis saat tangannya dicekal dan diseret menuju ke mobil. Kepalanya di tutupi kain hitam. Tangisannya teredam oleh kain tersebut. Belva juga merasakan tangan dan kakinya yang diikat. Tidak tahu kapan dia mulai tidak sadarkan diri karena merasa sesak dan lelah menangis. Matanya terpejam dengan tubuh lunglai. Kemana takdir membawanya, Belva hanya bisa pasrah. Dia dijadikan orang asing untuk membayar hutang. Padahal, jika masalah uang, dia juga memiliki banyak di bank. Seharusnya tadi dia menawarkan uangnya. *** Belva terkejut saat ada air membasahi wajahnya. Dia terbangun dengan wajah panik. Dia masih ingat insiden mengerikan yang terjadi sebelum dia tertidur. Matanya melotot saat melihat wanita telanjang di sebelahnya. Bukan hanya satu, tapi ada tiga orang. Dan lagi, banyak orang bertato yang melihat dari kejauhan. Para wanita itu terlihat ketakutan dan menangis. Salah satunya memiliki bekas merah memanjang di tubuhnya. Belva malu, dia juga seorang wanita. Tapi melihat wanita dewasa telanjang, dia jadi miris sendiri. Belva reflek melihat tubuhnya sendiri, takut jika tubuhnya juga sudah telanjang saat dia tidak sadarkan diri. Tapi beruntung, dia masih melihat seragam sekolahnya melekat lusuh di badannya. Ada orang membawa pecutan. Belva menebak jika orang itu yang membuat tanda merah di tubuh salah satu wanita itu. "Ayolah, kenapa kau menutupinya. Kau sudah telanjang. Tidak perlu menutupinya!" Orang yang membawa pecutan itu memperingatkan pada wanita yang tengah menangis sambil menutupi bagian d**a dan bagian area pribadinya di bawah sana dengan tangan. Belva bergidik ngeri. Dia masih terduduk dengan wajah dan rambut basah. Ada ember di sebelahnya duduk. Jelas, jika mereka menyiramkan air dari ember itu. "Suruh wanita itu membuka bajunya!" Ada suara dari lantai atas, Belva mendongak dan melihat banyak laki-laki berjejer di pagar pembatas. Apa-apaan ini. Apa dia juga akan dijadikan tontonan. Belva memegang erat kemeja putih yang kini terlihat lusuh. Dia tidak akan mau bertelanjang di hadapan banyak orang seperti wanita-wanita di sebelahnya. Air matanya kembali mengalir, saat ada tangan yang memaksanya untuk melepaskan pakaiannya. Tidak, apakah takdir begitu membenciku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN