LIMA
Ada yang salah, Alfar tahu dengan jelas akan hal itu.
Jika mengingat bagaimana cara Brian memperlakukannya, Alfar yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang menyangkut dengan Amira. Kalau tidak, untuk apa cowok itu sampai nyaris menghajarnya segala dan menyuruhnya untuk menjauhi Amira?
Alfar harus segera mencari tahu. Karenanya, cowok itu datang ke kampus Amira. Dia akan menunggu Amira hingga cewek itu muncul tepat di hadapannya. Masa bodoh dengan perintah Brian. Alfar harus bicara dengan Amira, dengan atau tanpa persetujuan sahabat cewek itu.
Kasak-kusuk mulai terdengar di sekitarnya, ketika Alfar duduk di lobby kampus. Cowok itu tidak mau ambil pusing dan mengeluarkan ponselnya guna membunuh waktu. Dia tidak tahu apakah Amira memiliki jadwal kuliah hari ini atau tidak, mulai jam berapa dan selesai jam berapa, tapi, dia mendapat informasi dari Beno bahwa sore nanti, akan diadakan arahan mengenai pementasan drama untuk acara makrab.
Well, Alfar memang menghubungi Beno pagi-pagi sekali dan menanyakan jadwal organisasi hari ini. Setelah mendapat wangsit dari Beno, Alfar tersenyum puas dan menjalankan rencananya untuk menemui Amira. Setelah bermain ponsel beberapa menit lamanya, Alfar menyadari kehadiran Amira karena mendengar suara cewek itu.
Amira terlihat seperti sedang emosi, karena di belakangnya, sosok Brian mengikuti. Melihat wajah emosi Amira entah kenapa membuat Alfar menahan senyum. Cewek itu terlihat lucu dan menggemaskan saat sedang marah.
“Dengar, ya, Yan,” kata cewek itu yang bisa tertangkap jelas di kedua telinga Alfar. Jarak tangga dan tempatnya duduk sekarang tidak terlalu jauh. Meski begitu, Amira sepertinya belum menyadari kehadirannya. “Gue ogah kalau harus ngejalanin itu semua. O-G-A-H! Bisa mati muda gue, Brian!”
Ah, Alfar benar-benar senang bisa bertemu lagi dengan cewek itu. Rambutnya sudah lebih memanjang dibandingkan dengan dulu. Wajahnya bertambah manis. Bisa dibilang, tidak ada perubahan spesifik mengenai Amira selama ini. Hanya rambutnya yang mengalami perubahan berarti.
Perdebatan di antara Amira dan Brian masih berlanjut, disaksikan oleh Alfar yang semakin tersenyum di tempatnya. Ada daya tarik dan aura tersendiri yang terpancar dari cewek itu.
“Ya elah, Mir,” kali ini, Alfar bisa melihat Brian mencekal lengan Amira, saat cewek itu hendak pergi meninggalkan sahabatnya. Amira terlihat setengah hati menatap Brian, bahkan dia memalingkan wajahnya dari cowok itu. Amira menunduk, memainkan kedua kakinya. “Dicoba dulu, lah. Demi kesuksesan acara makrab kita, loh. Lagian, pemilihan pemain itu berdasarkan hasil voting semua anggota panitia. Bukan karena kemauan Kak Beno.”
“Ya, tapi dia harus konfirmasi dulu sama gue, Yan!” Amira masih bersikukuh. Kini, dia menatap lagi wajah sahabatnya. “Yang jadi partner gue di pementasan drama nanti itu si Elang kalau lo nggak lupa. Elang, Yan... Elang! Lo mau ngeliat gue dibantai habis-habisan sama si kulkas itu?!”
Alfar mengangkat satu alisnya. Siapa itu Elang? Dan kenapa Amira keukeuh nggak mau dipasangkan dengan Elang dalam pementasan drama nanti?
“Gue bahkan tau semua itu dari Elang, Yan! God! I can’t believe this! Can’t you imagine, that?!” Amira menggelengkan kepalanya. “Kalau bukan karena gue respect sama Kak Beno, mungkin gue nggak akan sudi jadi Putri Salju! Harusnya judulnya diubah aja. Pangeran Salju! Itu lebih pas, lebih cocok!”
Alfar bisa melihat Brian hampir saja terbahak mendengar celotehan Amira itu.
“Mir, kita coba dulu latihan lagi, gimana?” bujuk Brian. Saat itulah, Alfar bangkit dan tanpa kentara menghampiri kedua orang tersebut dari arah samping. “Kasian sama yang lain, Mir. Lo tadi main pergi gitu aja dari lembaga di saat proses latihan.”
Amira memutar bola matanya kesal. “Gimana gue nggak main pergi gitu aja, kalau gue di sana dipelototin terus sama—“
“Hai, Amira.”
Rentetan kalimat Amira tadi dipotong begitu saja oleh Alfar yang sudah berdiri tepat di samping keduanya. Gestur tubuh Amira berubah, pun dengan raut wajahnya. Semuanya tertangkap jelas di kedua mata Alfar. Kemudian, Brian memutar tubuhnya dan menatapnya tajam. Alfar bahkan bisa melihat kedua tangan Brian yang terkepal di sisi tubuhnya.
“Kak... Alfar...?”
###
Brengsek!
Harusnya, semalam Brian langsung menceritakan perihal pertemuannya dengan Alfar. Hanya saja, di saat dia mendengar dari mulut Elang kalau sahabatnya itu sedang sakit—yang omong-omong, Brian sempat takjub ketika menyadari bahwa Elang yang memberitahunya mengenai kondisi sang sahabat—Brian langsung khawatir.
Dia memutuskan untuk tidak menceritakan semuanya kepada Amira dulu agar cewek itu tidak kepikiran dan akan berakibat buruk pada kesehatannya nanti. Bisa saja setelah Brian menceritakan semuanya, kemudian Amira jadi semakin sakit, kan? Who knows?
Dan sekarang, di saat dia sudah melarang Alfar untuk mendekati Amira, cowok itu bisa-bisanya nekat mendatangi sahabatnya di kampus? Unbelievable!
“Mau apa lo ke sini?” tanya Brian dingin.
Amira menoleh dan menatap sahabatnya. Tidak ada lagi sorot keramahan terlihat di sana. Yang ada di depannya adalah sosok Brian yang lain. Brian yang sedang mencoba mengontrol emosinya.
Seperti kemarin, Alfar memasang sikap santai dan tenang menghadapi emosi Brian. Cowok itu memasukkan kedua tangannya di saku celana, kemudian mengangkat bahu sambil tersenyum ke arah Amira. “Mau ketemu sama Amira.”
“Bukannya gue udah nyuruh lo untuk ngejauhin Amira, Kak?” Brian bersedekap. “I thought I made myself clear!”
Kening Amira mengerut. Brian menyuruh Alfar untuk menjauhinya? Jadi, sebelum ini, mereka pernah... bertemu? Lantas, kenapa Brian tidak pernah menceritakannya?
“Gue harus ngomong sama Amira.”
“Nggak ada yang perlu lo omongin sama sahabat gue.” Brian menggenggam tangan Amira, berniat membawa cewek itu pergi agar tidak menjadi bahan omongan mahasiswa lain yang saat ini terang-terangan menatap ke arah mereka bertiga dengan penuh minat. “Ayo, Mir!”
Awalnya, Alfar hanya berdiam diri. Cowok itu tetap menatap ruang di depannya, di mana tadi berdiri sosok Amira. Sambil mendengus, Alfar memutar tubuh kemudian menghadang langkah Brian. Mau tidak mau, cowok itu terpaksa menghentikan langkahnya, membuat Amira juga berhenti mendadak bahkan membentur punggung sahabatnya itu.
“Gue udah peringatin sama lo, Kak! Lo ngerti bahasa Indonesia, kan?!” seru Brian berang. Di belakangnya, Amira bahkan sampai terkejut dengan seruan Brian itu. Bergantian, cewek itu menatap Brian dan Alfar.
“Mau lo tonjok gue berapa kali pun, gue akan tetap ngomong sama Amira, Yan.” Alfar mengeluarkan kedua tangannya dari saku celana, kemudian melipatnya di depan d**a. Senyuman itu mulai terbit, membuat magma dalam d**a Brian mulai meluber bak letusan gunung berapi.
“Kurang ajar!”
Tanpa peringatan sama sekali, Brian melepaskan genggamannya pada tangan Amira lantas meringsek maju. Dia berniat menghajar Alfar, mempersetankan semua tatapan ingin tahu yang dilayangkan oleh mahasiswa lain ke arahnya, saat Amira maju dan berdiri tepat di hadapan Brian.
Cewek itu menengahi kedua cowok tersebut. Brian yang kaget langsung menghentikan kepalan tangannya yang sudah terlanjur mengudara, hanya sepersekian detik saat wajah manis Amira berada tepat di depannya. Alfar bahkan terlihat kaget juga dengan tindakan Amira itu.
“Amira! Elo—“
“This isn’t you, Yan,” potong Amira tegas. “Brian yang gue kenal nggak akan pernah menghajar orang lain, meskipun emosinya udah nggak bisa tertahankan lagi!”
Brian mendengus dan berdecak. Dia menurunkan tangannya lagi dan menatap semua mahasiswa yang sedang memperhatikan mereka bertiga, dengan tatapan ganas. “Apa lo semua?!” hardiknya keras. “Pergi sebelum gue terpaksa ngehajar kalian! Lo semua pikir ini tontonan gratis, hah?!”
Sadar bahwa nyawa mereka di ujung tanduk, semua langsung meninggalkan tempat kejadian sambil berbisik-bisik. Brian semakin emosi. Dia menggeram kesal lalu menatap Alfar yang tidak mengeluarkan suara semenjak Amira menengahi mereka berdua.
“Kalau bukan karena Amira,” kata cowok itu dingin kepada Alfar. “Lo nggak akan lolos dari kepalan tangan gue!”
Di tempatnya, Amira memejamkan kedua mata kuat-kuat. Tidak bisa dipungkiri, bertemu dengan Alfar membuatnya senang sekaligus sesak. Senang karena dia memang nyatanya merindukan cowok itu, sesak karena dia ingat bahwa sampai kapan pun, perasaannya kepada cowok itu hanya bertepuk sebelah tangan.
“Amira,” panggil Alfar lembut. Dia mengulurkan tangan kanannya, bermaksud menyentuh lengan cewek itu agar menghadapkan tubuh Amira ke arahnya. Sejak tadi, Amira masih saja membelakanginya dan menatap Brian. “Kamu apa ka—“
Belum selesai Alfar mengucapkan kalimatnya, serta tangannya yang belum sempat menyentuh lengan cewek itu, semua terjadi dalam hitungan detik. Seseorang yang entah datang dari mana, menyambar lengan Amira, membuat tubuh cewek itu berputar dan berhadapan langsung dengan oknum yang menarik lengannya tersebut. Amira mengerjap kemudian membuang muka. Di tempatnya, Alfar hanya bisa diam, meneliti keseluruhan fisik dari cowok berwajah datar di hadapannya.
Brian sendiri hanya menatap Amira dan Elang yang muncul seperti jin keluar dari dalam botol itu dengan tatapan biasa. Dia memang sebal pada Elang karena selalu membuat Amira naik darah dan kesal, tapi, kemuncullannya sekarang membawa anugerah tersendiri bagi Brian. Setidaknya, Brian berharap Elang bisa menyeret cewek itu pergi dari hadapan Alfar.
“Bisa-bisanya lo kabur dari latihan?” tanya Elang dengan nada sok arogannya, membuat Amira berdecak jengkel dan menyentak tangan cowok itu dari lengannya. Alfar masih diam, memperhatikan dengan seksama keadaan tersebut.
Siapa cowok itu? Ada hubungan apa dia dengan Amira? Kenapa rasanya ada yang menggelitik hatinya saat ini? Rasanya, Alfar tidak rela kalau perhatian Amira sepenuhnya terpusat pada cowok itu.
“Terserah gue!” seru Amira keki. Hilang sudah rasa sesak yang memenuhi rongga dadanya barusan, ketika dia harus bertemu dan mendengar suara Alfar. Kehadiran Elang membuat Amira lupa akan sosok Alfar yang berada sangat dekat dengannya saat ini. “Gue malas ada di satu ruangan sama lo!”
“Kalau Tuan Putri nggak lupa,” balas Elang tak kalah sengit, “tugas Tuan Putri adalah tidur manis di dalam kotak berlapis kaca di sana, sambil nunggu Pangeran datang dan menghidupkan kembali Tuan Putri.”
“Kalau gue jadi Tuan Putri beneran, gue lebih baik mati daripada harus dicium sama Pangeran menyebalkan macam elo, Elang!”
Alfar mengangkat satu alisnya. Elang?
Jadi, cowok ini yang bernama Elang? Yang tadi diributkan oleh Amira dan sahabatnya itu? Kenapa sikap keduanya sangat jauh dari kata akur? Amira sepertinya membenci Elang, pun dengan sebaliknya. Kalau sudah tahu begitu, kenapa mereka berdua kebagian peran utama yang mengharuskan bekerjasama dan saling membantu?
“Emang lo udah punya amal yang cukup, Amira?” tanya Elang sinis. Yang ditanya malah mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya sambil memelototi cowok itu.
“Amira....”
Suara itu menembus kabut dunia Amira, menjungkirbalikkan dunia cewek itu lagi, setelah beberapa menit yang lalu sempat normal kembali. Amira menoleh pelan dan mendapati senyuman Alfar menyambutnya. “Bisa kita bicara sebentar?” tanya cowok itu.
“Aku....” Amira bingung harus merespon apa. Cewek itu menundukkan kepalanya dan menarik napas panjang. Dia belum siap harus berdua saja dengan Alfar. Dia belum siap mendengar apa pun yang akan dibicarakan oleh Alfar.
“Latihan lagi!” Elang mendadak bersuara sambil mencekal pergelangan tangan Amira, membuat cewek itu beserta Brian dan Alfar terkejut. “Panitia yang lain nungguin elo yang kabur seenak jidat!”
Belum sempat Amira mengeluarkan argumen apa pun untuk balas menyerang Elang, cowok itu telah lebih dulu menarik Amira. Cewek itu pasrah dan hanya bisa mengikuti langkah lebar dan panjang milik Elang. Meninggalkan Alfar yang mendadak kesal dengan kelakuan cowok bernama Elang itu, yang sudah membawa pergi Amiranya.
Tunggu dulu! Apakah barusan Alfar mengatakan bahwa Amira adalah... miliknya? Astaga! Pikiran konyol macam apa, itu? Dari dulu sampai sekarang, Alfar hanya menganggap Amira sebagai teman dan adik, tidak lebih, for God’s sake!
“This is the last warning,” ucap Brian dengan nada rendah dan tegas, menyadarkan Alfar dari lamunannya. Cowok itu menatap Brian. “Gue mau lo pergi dari kehidupan Amira, ngerti lo?!”
Selesai berkata demikian, Brian mengikuti jejak Amira dan Elang. Sekarang tugasnya hanya satu. Menyelamatkan cewek itu dari terkaman Elang.
###
Sungguh, Elang bukanlah tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain.
Cowok itu malas jika harus berurusan dengan orang yang tidak dikenalnya. Tapi, saat tadi dia disuruh oleh Beno mencari Amira dan Brian, cowok itu tidak sengaja mendengar dan menyaksikan perdebatan yang terjadi di antara Brian dan seorang cowok lain yang tidak dikenalnya. Namun, Elang sangat yakin jika dia pernah melihat wajah cowok itu sebelumnya. Wajah itu terasa familiar baginya. Hanya saja... di mana?
Ketika Elang mendengar Brian memanggil nama cowok itu, diikuti dengan kata sapaan ‘Kak’, dia mengangkat satu alisnya. Senior mereka? Entahlah, tapi... ah! Elang bersedekap. Cowok berkacamata itu bukannya yang waktu itu tidak sengaja bertabrakan bahu dengannya di koridor, ya? Ya, benar! Elang ingat sekarang.
“Eh, eh, coba liat. Itu bukannya alumni kampus kita? Kak Alfar, kan?”
Suara kasak-kusuk di dekatnya membuat Elang melirik sekilas kemudian kembali fokus pada pertengkaran Brian dan senior bernama Alfar itu. Meski begitu, Elang tetap berkonsentrasi mendengar percakapan pelan yang berada di dekatnya tersebut.
“Iya, dia Kak Alfar! Ya ampun, tuh cowok makin ganteng aja, ya?”
“Katanya, sih, dari dulu dia dekat sama Amira. Anak dari jurusan sastra Inggris itu, loh. Lo juga tau itu, kan?”
“Iya, gue tau. Dulu, mereka sering makan bareng di kantin, ngobrol di lobby, bahkan katanya sering pulang bareng juga. Mereka serasi, loh. Kalau nggak salah, Kak Alfar lulus satu tahun yang lalu, kan?”
“Iya. Semenjak lulus, baru kali ini dia datang lagi ke kampus. Tapi, kenapa dia kayak lagi berantem sama Brian, ya? Tuh, Amira juga kayaknya frustasi gitu.”
“Apa sebenarnya mereka pacaran? Terus Kak Alfar nyakitin Amira dan Brian nggak terima? Biar gimana, Brian sama Amira kan sahabatan.”
“Mungkin juga—ya ampun!”
Seruan dan sentakan napas dari dua mahasiswi yang asyik menggosipkan Amira dan Alfar itu membuat Elang kaget. Dia bahkan ikut tersentak dan dua kakinya refleks melangkah begitu saja. Niatnya ingin menghampiri Amira dan menarik cewek itu dari sana, ketika egonya kembali mengambil alih. Langkah kakinya terhenti dan cowok itu mengerutkan kening.
Gue kenapa? Batin Elang bingung. Kenapa gue malah mau ikut campur gini, sih?
Tadi, saat Brian hendak menghajar Alfar dan si cewek bodoh Amira itu malah memasukkan dirinya ke dalam bahaya dengan cara memposisikan dirinya sendiri di antara dua cowok itu, Elang langsung bergerak di luar kesadarannya sendiri. Dia seperti ingin menghampiri Amira dan menjauhkan cewek itu dari Brian juga Alfar.
Setelah dirasa cukup hanya berdiam diri di tempatnya, menyaksikan ketiga orang tersebut layaknya orang bodoh, Elang mulai bergerak. Dia berjalan mendekati ketiganya, mengabaikan tatapan Brian yang disadarinya melalui ekor mata, kemudian menghampiri cewek berisik itu dari arah belakang Alfar dan mulai memancing emosi Amira.
Well, setidaknya, Amira kelihatan lebih manusiawi dengan sifatnya yang suka marah-marah dan bawel seperti sekarang ini, ketimbang tadi, saat cewek itu hanya diam tak berkutik di hadapan Alfar. Heran, apa benar yang didengarnya dari dua orang mahasiswi tadi bahwa Alfar dan Amira mempunyai hubungan?
Cih, kalau pun benar, untuk apa dia peduli? Dia tidak akan pernah ambil pusing dengan semua hal yang menyangkut Amira.
Tak lama, Elang mendengar suara langkah kaki yang menyusulnya dan Amira. Cowok itu melepaskan cekalannya pada Amira dan menyuruh cewek itu untuk naik ke atas dengan suara tegasnya. Yang disuruh malah mendengus kemudian berlari, diikuti oleh Brian yang kedatangannya memang sudah diketahui oleh Elang.
Ketika sosok Amira menghilang dari pandangan, barulah Elang menoleh ke bawah. Di sana, Alfar masih berdiri tegak. Kepala cowok itu menunduk sambil berkacak pinggang. Lalu, saat kepalanya kembali terangkat, Elang mengangkat satu alisnya.
Alfar menatapnya sengit.
###
Suasana aula terlihat sangat ramai.
Para panitia sibuk menghafal dialog yang sudah dibuat oleh Amira, sesuai dengan perannya masing-masing. Beno memberi arahan dengan suara tegasnya. Sesekali, latihan itu justru melenceng jauh dari yang seharusnya. Miko, si cowok humoris dari jurusan sastra Jepang selalu saja memberikan guyonan dan lawakan yang akhirnya membuat semua orang tertawa.
Brian duduk di sudut panggung sambil membaca dialognya sendiri. Dia kebagian peran menjadi salah satu dari tujuh kurcaci yang ada di dalam cerita dongeng tersebut. Kurcaci yang sifatnya sedikit tidak bersahabat dan hobinya marah-marah pada kurcaci yang lain, seolah dia lah yang paling berkuasa. Sementara itu, Amira duduk di belakang Brian, di atas sebuah kursi yang ditemukan Beno entah di mana.
“Yan,” panggil Amira. Cowok itu hanya menggumam tidak jelas. “Kenapa lo nggak cerita kalau lo ketemuan sama Kak Alfar?”
Konsentrasi Brian mendadak lenyap. Cowok itu berhenti membaca dan hanya menatap skrip di tangannya tersebut. Sambil menghela napas, Brian menoleh dan menatap langsung ke manik mata sahabatnya itu.
“Lo lagi sakit saat itu, Mir,” jelas Brian. “Mana mungkin gue cerita ke lo kalau gue sama Kak Alfar ketemuan? Yang ada, elo tambah sakit nanti karena kepikiran sama cerita gue.”
“Lo bahas apaan berdua sama dia?”
“Nothing special.” Brian mengangkat bahu tak acuh. “Gue cuma ngasih peringatan sama dia untuk menjauhi lo. Lo juga nggak cerita ke gue kalau dia nelepon lo dua hari yang lalu.”
“Bukannya gue nggak mau cerita,” sahut Amira. “Gue cuma lagi kacau aja waktu itu. Benar-benar nggak menyangka sama sekali, kalau dia bakalan ngehubungin gue setelah satu tahun lamanya kita nggak saling berkomunikasi.”
Terdengar sorakan penuh godaan disertai dengan siulan. Amira mengerutkan kening dan menoleh, begitu juga dengan Brian. Keduanya menyaksikan bagaimana Elang menghampiri seorang cewek berambut panjang yang membawa rantang di tangan kirinya dan merangkul cewek itu. Cewek yang dilihat oleh Amira tempo hari di foodcourt mall. Kini, semua orang sibuk menggoda Elang dan cewek itu.
“Mir? Itu ceweknya Elang, ya?” tanya Brian. Cewek itu hanya menoleh sebentar dan mengangkat bahu tak acuh.
“Mungkin. Gue nggak ngurusin.”
Amira tidak sadar kalau Brian sedang menatapnya dengan kerutan di kening dan sorot mata yang terlihat curiga.