Raldo berdiri dari duduknya ketika pintu kamar mandi dibuka dari dalam. Dan Airin melangkah keluar dengan tergesa, hendak pergi dari ruangan itu. Gadis itu bahkan tidak melihat ke arah Raldo yang sedang berdiri di depan sofa barang sedetik saja.
Sekilas dapat ia lihat mata Airin yang sembab, Raldo yakin kalau gadis itu pasti menangis di dalam kamar mandi tadi. Pria itu buru-buru mengejar Airin, dan langsung meraih tangan gadis itu yang hampir saja berhasil meraih gagang pintu keluar.
“Airin stop! Aku bisa jelaskan semua!” pinta Raldo, berusaha mencegah Airin pergi dari ruangannya dalam keadaan marah. Membalikkan tubuh sang kekasih agar berhadapan dengannya.
“Nggak ada lagi yang perlu dijelaskan, semua sudah jelas sekarang!” teriak Airin marah sambil mengibaskan tangannya, dan membuat pegangan Raldo terlepas begitu saja.
Wajah gadis itu terlihat begitu kecewa, bahkan tatapannya juga mengguratkan betapa perih luka yang sudah digoreskan pria itu di dalam hatinya. Mendengar Raldo menyetujui permintaan sang ibu membuat Airin merasa sangat hancur. Sungguh ia merasa tidak berarti sedikit pun di mata kekasihnya itu.
“Jangan seperti ini, please! Aku akan jelaskan semuanya, dan kamu harus mendengar alasanku menerima pertunangan ini!” Raldo masih saja berusaha membuat Airin mengerti. Ia bahkan kembali memegang tangan gadis itu dan menggenggamnya sangat erat dengan kedua tangannya. Rasa takut kehilangan kini menyelimuti hatinya.
“Kenapa tidak kamu jelaskan pada kedua orang tuamu tadi tentang kita? Tentang hubungan kita, cinta kita, kenapa kamu tidak ingin memperjuangkannya?” Airin berteriak histeris, mengungkapkan seluruh rasa sesak dalam d**a.
“Lepas! Lepaskan aku!” Gadis itu meronta, minta agar Raldo melepaskannya pergi. Tapi sekeras ia berusaha, Raldo malah semakin mengeratkan genggaman tangannya.
“Tidak akan! Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kita selesaikan semua di sini! Dan semua harus berakhir baik seperti sebelumnya!” tegas Raldo.
Tapi pintu yang dibuka dari luar, dan Laura -sekretaris Raldo- tiba-tiba berada di depan pintu, membuat Raldo langsung melepaskan pegangan tangannya. Ia masih tidak ingin ada orang yang mengetahui hubungan dirinya dan Airin.
Wanita seksi itu diam sambil mengerutkan keningnya, ketika melihat Raldo berada berdua saja dengan Airin di ruangan itu. Di belakangnya berdiri beberapa orang asing yang ikut menatap kedua orang berlainan jenis itu.
Melihat perubahan sikap Raldo pada dirinya ketika berada di depan orang lain, membuat Airin tersenyum kecut. Ternyata kekasihnya itu masih saja memilih menjadi seorang pengecut dibanding jadi lelaki sejati yang mau mengakui hubungan mereka di hadapan orang banyak.
“Tuan Raldo, apa saya mengganggu Anda?” tanya Laura penasaran.
Raldo menggeleng cepat, tidak ingin Laura merasa curiga. Akan berbahaya bila wanita yang sudah lima tahun terakhir ini bekerja sebagai sekretarisnya itu curiga. Karena Laura dulu adalah sekretaris sang ayah, siapa tahu Gunawan sengaja menempatkan Laura di kantor Raldo, untuk mengawasi tindak tanduk sang anak.
Airin tidak ingin membuang waktu ketika merasa ada kesempatan untuk kabur. “Permisi!” pamitnya sambil berlalu keluar. Setengah berlari Airin segera menuju lift sambil mengusap air matanya yang terus saja mengalir membasahi pipi.
Rasanya Raldo ingin mengejarnya, mencegah gadis itu pergi dan memintanya untuk tetap tinggal. Tapi saat ini sepertinya tidak mungkin, hingga Raldo memilih diam dan hanya bisa menatap punggung sang kekasih yang semakin jauh dan menghilang di balik pintu lift.
“Tuan, ini para investor yang ingin bertemu dengan Anda!” Laura mengenalkan beberapa orang asing yang berada di belakangnya.
Raldo menghela nafas, menata hati, sebelum akhirnya mencoba tersenyum dengan ramah pada orang yang akan menjadi rekan bisnisnya. Pria itu mengulurkan tangannya.
“Selamat datang! Nama saya Raldo, senang bertemu dengan Anda!” sapa Raldo ramah. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dengannya hari ini.
***
Airin baru saja masuk ke dalam ruangan karyawan, ketika beberapa teman kerjanya terlihat sedang ribut membicarakan sesuatu hal yang penting. Gadis itu sudah menghapus seluruh jejak kesedihannya, sambil berusaha terlihat baik-baik saja. Tampak beberapa orang sedang berdebat, sambil bertahan di pendiriannya masing-masing.
“Ada apa?” tanya Airin pada Naura yang juga berada di ruangan itu.
“Kamu belum dengar kabar terbaru? Nyonya Besar tadi datang ke sini!” jawab Naura setengah berbisik.
“Kalau itu aku juga sudah tahu!” Airin mengambil tempat, duduk di samping Naura sambil tetap mendengarkan pembicaraan rekan kerjanya yang lain. Tentu saja, bahkan ia juga tahu apa yang menjadi alasan mereka untuk datang hari ini.
Dari yang Airin dengar, sepertinya beberapa temannya itu sedang berdiskusi tentang konsep acara pertunangan yang akan berlangsung di restoran mereka dalam waktu dekat ini. Mas Ardi, manajer yang mengepalai divisi tempat Airin bekerja melihat ke arah Airin yang baru saja datang. Pria itu langsung mengangkat tangan kanannya, memberi tanda agar Airin mendekat ke arahnya.
“Airin, sini kamu!” panggilnya. Membuat beberapa orang yang sedang berbicara di depannya langsung berhenti dan ikut melihat ke arah yang Ardi lihat.
Airin yang dipanggil langsung berdiri dari duduknya, dan segera berjalan mendekati ke tempat Mas Ardi duduk sekarang.
“Ada apa mas?” tanya gadis itu setelah berdiri di samping mas Ardi.
“Duduk sini kamu!” suruhnya, dan langsung dituruti Airin.
“Saya ingin dengar pendapatmu, biasanya idemu yang paling encerkan dibanding teman-temanmu yang lain kalau menyangkut dekorasi pesta!” puji Mas Ardi yang membuat wajah Airin merona merah.
“Ah, biasa aja kok mas! Cuma karena sering nonton drakor plus seneng ngehalu juga, jadi ide banyak ngalir!” kekehnya sambil menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal.
“Begini, tadi Nyonya Besar datang ke sini, dan beliau meminta kita untuk menyiapkan konsep acara pertunangan yang tidak biasa! Ia ingin semua terlihat mewah dan luar biasa! Tau sendiri gimana selera Nyonya Sinta, harus berkelas!” terang Mas Ardi sambil menyodorkan selembar kertas kosong ke hadapan Airin.
“Acara pertunangan, Mas?” tanya Airin, takut salah dengar. Jantungnya sudah berdetak kencang, mencoba menduga-duga tentang acara pertunangan ini.
Mas Ardi mengangguk cepat. “Kan kamu yang biasanya punya ide-ide brilian!” kata Mas Ardi sambil menepuk punggung Airin hingga gadis itu terbatuk beberapa kali.
Airin membenarkan posisi duduknya, dan mengambil pena yang ada di atas meja. Bersiap menuangkan semua ide yang terlintas di kepalanya dalam kertas kosong yang Mas Ardi berikan tadi.
“Ehm, oke, sekarang katakan, pesta seperti apa yang Nyonya Besar inginkan?” Airin berdehem sebelum memulai bicara. Ia mencoba berpikir sepositif mungkin, bisa saja kan ini adalah pesanan klien Nyonya mereka.
“Ya seperti yang sudah aku katakan tadi, sesuatu yang tidak biasa, mewah, dan berkelas! Begini saja, andai itu adalah pesta pertunanganmu, kamu ingin yang seperti apa?” tanya Mas Ardi, mempermudah Airin dalam berhalusinasi.
“Hmm, kalau aku dan Raldo bertunangan, ingin pesta yang seperti apa? Eh, aku dan Raldo ...,” gumam Airin dalam hati dan kini wajahnya langsung merona karena membayangkan kalau itu adalah pesta pertunangan dirinya dan Raldo.
Airin menutup kedua matanya. Bagai mendapat wangsit, ide dalam kepala Airin langsung mengalir begitu saja. Dengan cepat ia menuliskan apa saja yang bisa ia lihat dalam bayangannya sekarang. Sebuah pesta dengan nuansa pastel, karena warna itu adalah warna kesukaan dirinya dan Raldo. Dengan hiasan kain-kain menjuntai yang begitu indah, juga lampu yang membuat dekorasi terlihat begitu terang dan indah.
Hiasan buket bunga dengan warna-warna pastel yang begitu indah menghias hampir di seluruh ruangan pesta. Meja-meja dengan hiasan lilin putih di atasnya. Dan yang paling penting adalah hiasan tempat ia dan Raldo akan berdiri berhadapan sambil saling menggenggam tangan.
Airin mengenakan gaun indah dengan warna pastel yang indah, dengan riasan kepala yang membuat penampilannya terlihat begitu memesona. Wajahnya terlihat begitu cantik dengan riasan sederhana, karena pada dasarnya gadis itu memang sudah cantik alami.
Sedang Raldo berdiri di hadapannya, menatap gadis itu penuh cinta. Raldo terlihat begitu tampan dan memesona dengan setelan tuxedo warna senada dengan gaun yang Airin pakai. Keduanya terlihat begitu serasi dan terlihat sebagai pasangan sempurna.
“Hoi, ngelamun aja! Dari tadi di panggil juga!” Mas Ardi menepuk pundak Airin, seketika membuyarkan lamunan gadis itu.
“Eh, iya! Maaf mas, terbawa suasana!” kilah Airin sambil tersenyum malu.
Gadis itu mulai menulis apa yang tadi terbayang di pikirannya. Sebuah pesta pertunangan bersama Raldo yang menjadi impiannya. Sepertinya kejadian di ruang kerja atasannya beberapa waktu yang lalu menguap begitu saja ketika ia harus membayangkan sesuatu yang indah. Beberapa rekan kerjanya yang lain hanya diam, membiarkan Airin menyelesaikan tulisannya. Mereka ingin tahu, apa ide gadis itu kali ini.
***
Raldo tidak bisa duduk diam di kursinya. Entah sudah berapa kali pria itu mondar mandir di depan meja kerjanya. Mencari cara menjelaskan kenapa ia menerima rencana perjodohannya pada Airin tanpa membuat gadis itu semakin marah. Dan yang paling penting adalah cara agar gadis itu tetap berada di sampingnya walau sudah mengetahui kalau dirinya akan bertunangan.
Raldo meremas rambutnya dengan kedua tangan. Rasanya sebentar lagi ia bisa gila, andai nanti Airin memilih meninggalkannya setelah tahu kalau Raldo sudah dijodohkan dengan wanita lain. Apalagi kekasihnya tadi pergi dengan sangat marah dari ruangannya.
“Aargh, sial! Bagaimana ini! Aku sangat takut kehilangan Airin, tapi membatalkan perjodohan itu juga sesuatu yang tidak mungkin terjadi! Bisa-bisa Papa menarik semua aset yang ia berikan padaku, atau yang lebih parah, mencoretku dari daftar warisan! Aku masih belum siap jatuh miskin mendadak begini!” teriak Raldo, merasa sangat frustasi.
Andai saja ada sedikit keberanian dalam diri pria itu, mungkin hidupnya tidak akan serumit ini. Namun Raldo memang terlalu pengecut, hingga rela mengorbankan apa pun demi menuruti kemauan orang tuanya, asal tidak sampai jatuh miskin.
***
Di ruangan karyawan, Airin sudah hampir selesai menuangkan semua idenya. Tidak sanggup menahan rasa ingin tahu, bibir gadis itu tertarik untuk bertanya.
“Ngomong-ngomong, emang siapa yang akan bertunangan, Mas?” tanya Airin sambil tetap melanjutkan tulisannya.
"Siapa lagi, masak Nyonya yang akan bertunangan!” jawab Mas Ardi di sambut derai tawa teman-temannya. “Tentu saja Tuan Raldo, dia kan putra mereka satu-satunya!” lanjutnya lagi.
Pena yang berada dalam genggaman tangan Airin seketika terlepas dan jatuh ke lantai. Ingatan perkataan Nyonya Sinta serasa berdengung kembali di telinganya. Gadis itu terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Dan mengulang kembali pertanyaan yang sama, siapa tahu memang tadi telinganya yang salah dengar.
“S-siapa Mas?” tanya Airin lirih dan suaranya bergetar.
“Tuan Raldo! Kudengar ia dijodohkan dengan salah satu putri rekan bisnis ayahnya! Enak sekali ya jadi orang kaya, mau nikah nggak usah ribet! Cukup hubungi rekan bisnismu, dan mereka akan segera mendapatkan calon menantu yang sederajat!” canda mas Ardi yang terdengar sangat lucu di telinga teman-temannya, kecuali Airin.
Mata gadis itu mulai memanas, dan sudah berkaca-kaca. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja untuk butiran bening itu lolos dari sudut matanya. Wajahnya langsung berubah pucat. Jantung Airin berdegup kencang, ternyata telinganya tidak salah, memang Raldo yang akan bertunangan. Rasanya langit Airin runtuh, dan tubuh gadis itu mulai gemetar. Airin berdiri dari duduknya.
“Mas, permisi, aku ke toilet dulu!” pamit Airin sambil menundukkan wajahnya.
Tidak ingin teman-temannya melihat betapa kacaunya wajah gadis itu sekarang. Belum mendapat jawaban dari mas Ardi, tapi Airin langsung berlari keluar dari ruangan. Membuat mas Ardi dan beberapa temannya saling pandang. Tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi dengan gadis itu.
“Naura, ada apa dengan Airin? Apa dia sedang sakit?” tanya mas Ardi sambil menengok ke arah Naura yang sedang duduk tak jauh di belakangnya sambil bermain ponsel.
Naura mengedikkan bahu. “Entah, mungkin dia terlalu menghayati khayalannya tadi, hingga terharu setelah menulisnya!” jawab Naura asal.
Mas Ardi mengangguk beberapa kali, lalu mengambil kertas yang Airin tulis tadi. Dibacanya perlahan, hingga kemudian bibirnya tersenyum senang.
“Sudah aku duga, ide Airin selalu cemerlang! Aku yakin, Nyonya akan senang bila membaca kertas ini!!” kata Mas Ardi merasa sangat puas dengan hasil kerja Airin.