Bab 2 - Jebakan Permulaan

1494 Kata
Gisca sangat terkejut. Namun, detik berikutnya Gisca mulai waspada, diambilnya guling yang ada di kasur untuk berjaga-jaga siapa tahu pria itu bermaksud macam-macam padanya. Gisca mulai bepikir, siapa pun pria di hadapannya ini, sangat jelas pria tersebut memiliki akses masuk ke apartemen Sela. Jadi sudah pasti ini adalah orang yang Sela kenal. Atau jangan-jangan ... pria di hadapan Gisca ini adalah pacar Sela? Hanya itu kemungkinan yang paling masuk akal mengingat apa yang hendak pria itu lakukan cenderung mengarah pada hal vulgar. Gisca yakin, pria ini salah mengira kalau dirinya adalah Sela. "Tunggu, tunggu ... seharusnya aku yang nanya begitu. Kamu siapa dan kenapa bisa ada di kamar ini?" tanya sang pria. Sial … kenapa pria itu harus top-less, sih? Jujur, ini kali pertama Gisca melihat pemandangan sialan begini secara langsung. Selama ini ia terbiasa melihatnya di serial drama favoritnya. Dan Gisca refleks menelan ludahnya. Apa Tuhan memang terkadang sengaja memberikan anugerah ganda pada seseorang? Bagaimana tidak, pria itu sudah memiliki tubuh yang bagus, perutnya kotak-kotak bak roti sobek, ditambah lagi paras yang sangat tampan. Postur tubuhnya pun sangat proporsional sehingga cocok dijadikan model. "Maaf, sebenarnya kamu siapa?" ulang pria itu. "A-aku teman Sela." Gisca masih merasa gugup. Namun, ia sudah meletakkan guling ke tempat semula karena sepertinya pria itu tidak akan macam-macam, jadi Gisca tak perlu memukulnya untuk membela diri. "Jadi kamu teman Sela?" Gisca mengangguk. Sejujurnya masih ada perasaan syok dengan apa yang baru saja terjadi. "Sebelumnya sori. Aku nggak tahu kalau kamu ada di sini. Aku kira kamu Sela. Padahal jelas-jelas Sela udah bilang hari ini sibuk banget banyak kerjaan, tapi aku tetap ngira kamu Sela. Apalagi kamu pakai baju Sela." Gisca masih melongo. Dugaannya benar kalau pria di hadapannya ini pasti salah mengira. "Oh iya, hampir lupa. Kenalin ... aku Saga, pacar Sela." Benar lagi dugaan Gisca! Itu pacar Sela! Memiliki pacar adalah hal normal. Namun, Gisca masih tidak menyangka kalau kehidupan asmara Sela sebebas ini. Pria bernama Saga ini jelas-jelas tadi hendak melakukan hal yang lebih dari sekadar memeluk di ranjang. Semua orang 'dewasa' pasti tahu kelanjutannya akan bagaimana. "Sumpah demi apa pun, aku nggak bermaksud melakukan hal yang lancang sama kamu," tegas Saga. "Andai tahu ada teman Sela sendirian di sini, aku pasti nggak akan datang," sambungnya. Tentu saja tanpa dijelaskan pun Gisca sudah tahu ini hanya salah paham dan Saga tidak punya maksud berbuat tak senonoh padanya. Untuk itu, Gisca tidak punya alasan untuk mempermasalahkan apalagi marah pada pria itu. Selain itu, ada hal yang lebih konyol. Ya, bohong jika Gisca tidak terpesona pada ketampanan Saga. Namun tentu saja ia harus sadar diri dan ingat status hubungan Saga dengan Sela. "Sadar, Gis! Sadar!" Ya, Gisca harus secepatnya sadar, jangan jadi teman yang tidak tahu diri. Sekalipun hanya terpesona dalam hati, itu tetap tidak boleh. "Maaf? Kamu dengar apa yang aku katakan?" Lamunan Gisca seketika buyar. "Eh?" Sial, untuk apa Gisca melamun di saat seperti ini? "Dengar, kok. Aku ngerti ini murni ketidaksengajaan," sambung Gisca. "Ya, apa yang barusan terjadi ... itu kecelakaan," balas Saga. Belum sempat Gisca menjawab lagi, suara ponsel otomatis menghentikan pembicaraan mereka. Rupanya itu berasal dari ponsel milik Saga yang diletakkan di meja seberang tempat tidur. "Sela," gumam Saga. "Sela nelepon?" tanya Gisca spontan. Entah kenapa ia jadi deg-degan berlebihan, padahal ini murni ketidaksengajaan. Ia takut Sela salah paham. Saga mengangguk. Pria itu tidak lupa mengambil kausnya kemudian menjauh dari Gisca. Ponsel Saga pun kini sudah menempel di telinganya. "Halo, Sayang?" sapa Saga pada Sela di ujung telepon sana. "Sayang ... aku tadi udah bilang hari ini sibuk banget, kan?" "Iya, anehnya kenapa masih bisa nelepon aku? Sekangen itukah?" Saga berkata setenang mungkin. Seolah tidak terjadi apa-apa. Ah, memang faktanya tidak terjadi apa-apa, bukan? "Aku lupa bilang kalau apartemenku lagi kedatangan tamu. Teman sekampungku. Jadi, jangan datang dulu, oke?" "Sejak kapan? Seingatku kemarin nggak ada siapa-siapa." "Perhari ini. Aku nggak tahu sampai kapan, yang pasti jangan datang dulu. Aku nggak mau bikin Gisca nggak nyaman." "Oh, jadi namanya Gisca," batin Saga. "Untung kamu bilangnya tepat waktu. Hampir aja aku mau istirahat tidur siang di apartemen kamu," bohong Saga. "Astaga. Untung aja. Ya udah aku tutup dulu ya, Ga. Masih banyak kerjaan nih." "Iya, Sayang. Semangat kerjanya." Setelah menutup sambungan teleponnya, Saga langsung menoleh pada Gisca yang sedang berjalan ke arahnya. Sebenarnya, sedari tadi Gisca mencuri dengar apa yang Saga katakan pada Sela di ujung telepon sana. Dan tentu saja Gisca terkejut Saga berbohong. "Kenapa kamu bohong?" tanya Gisca. Saga tidak langsung menjawab. Ia lebih dulu memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ia juga yang semula tidak mengetakan atasan sudah kembali memakai kausnya. "Mencegah urusannya jadi panjang. Ribet nantinya." "Ya ampun." "Kalau Sela tahu apa yang kita lakukan tadi, bukankah pertemanan kalian malah jadi canggung dan nggak nyaman? Terlepas kalau itu kecelakaan," jawab Saga. "Baik, kita memang nggak ngapa-ngapain, tapi tetap aja ... bahaya kalau Sela tahu kita 'hampir'. Aku hafal betul sifat dia, kamu juga harusnya tahu karena temennya," lanjut pria itu. Gisca akui ada benarnya juga, tapi tetap saja bagi Gisca ada yang mengganjal hatinya saat berbohong begini. "Berbohong demi kebaikan bukan masalah. Aku juga lagi malas berantem. Itu sebabnya aku bilang hampir mau datang ke sini, padahal sebenarnya aku udah di sini," jelas Saga kemudian. Gisca memilih tidak menjawab. Ia mengerti tujuan Saga. Namun, entah kenapa ia malah jadi tidak enak sendiri, seperti sudah berbuat salah pada orang yang sudah menolongnya. "Udah, nggak usah dipikirin. Anggap aja nggak terjadi apa-apa di antara kita," kata Saga lagi. "Oh ya, nama kamu Gisca, kan?" Gisca tidak heran, pasti Sela yang memberi tahu namanya pada Saga. "Salam kenal, ya. Mungkin kesan pertama pertemuan kita cenderung aneh dan konyol, tapi mau gimana lagi. Kita nggak bisa menebak segala sesuatu yang akan terjadi." Saga lalu mengulurkan tangannya, "Meskipun kita barusan udah saling tahu nama masing-masing, tapi nggak ada salahnya untuk berkenalan secara resmi. Kenalin ... aku Saga," lanjutnya. Meskipun ragu, Gisca menerima uluran tangan Saga sambil berkata, "Gisca." Gisca harap, ini adalah kali pertama dan terakhir dirinya berurusan dengan Saga. Entah kenapa firasatnya mengatakan agar dirinya jauh-jauh dengan pria tampan itu. Terlebih tatapan mata Saga memancarkan sesuatu yang sulit Gisca artikan. "Karena kamu udah telanjur bohong sama Sela ... kamu nggak mungkin di sini terus sampai dia pulang, kan?" tanya Gisca hati-hati. Lebih tepatnya, mengusir Saga secara halus. "Aku mau pulang sekarang, kok. Tapi sebelumnya mau izin ke toilet dulu." "Oh, silakan silakan," balas Gisca. "Kamu nggak mungkin nungguin di kamar terus, kan? Soalnya aku mau pakai toilet yang ada di kamar ini." "Astaga. Sori. Silakan." Gisca jadi salah tingkah sendiri. Ia lalu cepat-cepat keluar dari kamar dan menuju ruang tamu. Sungguh, ini adalah hari yang absurd. *** Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan Sela belum juga pulang. Gisca yang baru saja mencuci piring bekas makan malamnya, kemudian memilih menghabiskan waktu di kamar. Sialnya, Gisca masih teringat Saga. Ralat, tepatnya bukan Saga-nya yang ia ingat, melainkan kejadian yang mereka alami tadi yang seolah betah dalam pikirannya. Berusaha mengenyahkan segala hal yang mengganggu pikirannya mengingat besok adalah hari yang menentukan diterima atau tidaknya Gisca, untuk itu Gisca akan berusaha lebih fokus dan konsentrasi. Jangan sampai kejadian konyol yang sepele malah merusak segalanya. Gisca berbaring dan menarik selimutnya. Saat tubuhnya hendak menyamping, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal pahanya. Dengan tangannya, Gisca berusaha menggapai benda keras tersebut. Gisca sontak mengernyit saat berhasil mengambilnya, yakni sebuah dompet pria berwarna cokelat. Refleks Gisca langsung terduduk. Jangan-jangan ini milik Saga yang ketinggalan. Astaga ... bagaimana jika iya bahwa pria itu tidak sengaja meninggalkannya? Namun, jika tak sengaja, bukankah seharusnya Saga sudah balik lagi untuk mengambilnya karena pria itu pergi dari sini sudah beberapa jam yang lalu. Daripada penasaran, Gisca dengan hati-hati membuka untuk memeriksanya. Begitu dompet terbuka, sebuah kertas yang dilipat cukup besar dan sengaja diselipkan sembarangan, berhasil menarik perhatian Gisca. Wanita itu perlahan membukanya. Hai Gisca, ini dompetku. Titip dulu ya, sebagai gantinya, maaf dengan lancang aku bawa dompetmu. Jadi untuk sementara kita bertukar dompet dulu. Kamu boleh pakai uangku sesuka hatimu, begitu juga sebaliknya. Gisca, mari bertemu lagi untuk menukar dompet masing-masing. Lebih cepat lebih baik. Segera hubungi aku di nomor yang tertulis di balik kertas ini. ~Saga Gisca lalu membalik kertasnya. "Dasar gila!" Seharusnya Gisca sudah sadar sejak awal kalau ketampanan Saga digunakan untuk hal-hal seperti ini. Ya, Saga pasti playboy! Kalau bukan playboy, untuk apa Saga melakukan hal itu? Ah, pokoknya Gisca menyesal sempat terpesona pada pria itu. Sungguh, Gisca sama sekali tidak tahu kapan dan bagaimana caranya Saga mengambil dompetnya yang disimpan dalam handbag-nya. Gisca juga baru menyadarinya sekarang karena sedari tadi ia memang tidak menggunakan dompetnya lantaran tidak membeli apa pun. Oh Tuhan, bagaimana ini? Bicara pada Sela pun mustahil. Firasat Gisca jadi semakin buruk. Seharusnya ia tidak terlibat dengan pacar Sela. Benar, pertemuan antara dirinya dengan Saga hari ini, seharusnya menjadi awal sekaligus akhir interaksi mereka. Namun nyatanya, sepertinya Gisca terpaksa akan bertemu lagi dengan pria itu. Astaga ... sebenarnya apa yang Saga inginkan, sih?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN