"Bekal aku mana?" tanyaku pada Qiera sambil menatap meja kosong yang biasanya ada bekal untukku, yang biasanya aku kasihkan kepada Salsa. Namun, siapa sangka diminta bos, jadi aku bisa memanfaatkan hal ini untuk menambah bonus yang sangat banyak.
"Bekal?" Qiera tampak kaget ketika aku bertanya barusan. "Enggak ada."
"Apa? Kok, bisa?"
"Tidak ada uang, berarti tidak ada bahan masakan yang bisa dibeli." Ia menjawab santai tanpa merasa bersalah sedikit pun.
"Kan pakai uangmu dulu bisa." Aku mendengus kesal.
"Uang istri tetap milik istri, sementara uang suami adalah milik istri. Tapi kau ... sangat pelit. Jadi, sekarang tolong jelaskan kenapa aku harus berbaik hati padamu, memangnya kau juga baik padaku?"
"Kau!" Ingin aku memaki dan memarahinya, tapi sekuat tenaga aku tahan karena kalau tidak berangkat sekarang aku akan terlambat.
Semoga saja nanti dia masak, kalau tidak, aku takut Ibu dan Yani kelaparan selama ada di sini.
Aku membawa kotak makan dari rumah dan beli makanan dari luar. Untungnya hari ini dompetku masih aman kalau hanya untuk beli makanan warung nasi, kalau tidak mungkin aku sudah kehilangan bonusku bulan ini.
"Kenapa pagi-pagi sudah lesu?" Bos gila itu kembali menatapku penuh kebencian. Anehnya selalu datang awal, padahal bawahannya saja belum pada datang.
Apa jangan-jangan dia sedang menarik perhatian dari pimpinan pusat? Ya, sudah pasti seperti itu. Rasanya tidak mungkin kalau dia melakukan hal ini tanpa alasan, hanya buang-buang waktu.
"Enggak apa-apa, Bos."
"Tumben beberapa hari ini kamu gak curhat tentang rumah lagi, biasanya sudah bicara dari A ke Z sama teman-temanmu itu." Dia kembali ikut campur dengan masalah pribadiku.
"Sekarang anak-anak sudah tidak di rumah, Pak. Jadi rumah sudah terjaga kebersihannya, juga tidak ada lagi yang hobinya suka teriak-teriak." Aku menjawab jujur.
Akan tetapi, sekarang anak-anak yang suka membuat rumah berantakan sudah digantikan oleh Ibu dan adikku. Bahkan rumah dua kali lebih berantakan dan kotor daripada oleh anak-anak.
"Baguslah, tapi hati-hati dan jangan terlalu senang dulu. Karena boleh jadi ini adalah persiapan yang dilakukan istrimu agar bisa meninggalkan kamu selama-lamanya." Ia berbicara menakutkan, sama seperti suara film horor.
Tidak mungkin Qiera berani meninggalkan aku, apalagi kita sudah punya dua buah hati yang sangat cantik dan pintar, juga tampan. Biasa saja yang melihat mereka akan langsung tahu kalau mereka adalah anakku.
"Terima kasih, Pak." Aku hanya berani mengeluarkan kata itu, soalnya kalau diajak berbicara lebih lama, takutnya dia akan semakin menggila. Kata-kata menyakitkan bisa langsung keluar dari bibirnya.
***
Kata-kata yang diucapkan Bos gila itu selalu terngiang di telinga sampai aku tidak bisa bekerja dengan fokus. Ditambah kemarin Qiera bilang, 'Dia akan meninggalkan aku kalau nanti sampai mendiamkannya'.
Eh, tunggu, memangnya siapa kedua orang tua sampai membuatku kehilangan kesabaran? Biarkan saja, toh mereka berdua adalah orang yang sama. Sama-sama tidak penting.
Aku tidak butuh istri, tapi yang kubutuhkan hanya orang yang bisa membantu membereskan rumah, masak, dan yang lainnya tanpa mengeluarkan banyak uang. Jadi, aku hanya perlu membiarkan Qiera di sisiku, ada atau tidak ada anak bukanlah masalah. Toh, nanti anak-anakku tetap akan mencari ayahnya tanpa perlu aku yang repot-repot mencari mereka.
***
"Mama!"
"Ma!"
"Jangan teriak-teriak! Berisik!"
Baru saja membuka pintu rumah, aku kejutkan dengan teriakan anak sulungku, dan juga Ibu.
"Kenapa kalian berisik sekali? Tidak bisakah membiarkan aku tenang untuk istirahat setelah pulang kerja?" Aku langsung memaki dengan tatapan tajam ke arah Ziron.
"Ini anak kamu! Teriak-teriak terus dari tadi sampai telinga Ibu berdengung!"
"Apanya yang Ziron, orang dari tadi Ibu sama Yani juga terus teriak-teriak loh." Qiera ikut bicara untuk membela anaknya.
"Diam kamu, kalau anak salah itu jangan dibela, nanti kebiasaan!" Aku menarik tangan Ziron dan kumasukkan ke dalam kamar mandi, lalu menguncinya.
Namun, belum ada satu menit, lima menit anak itu sudah berhasil keluar dengan bantuan pisau yang entah dari kapan dia pegang.
"Kenapa keluar? Mau jadi anak durhaka?" Aku kembali berteriak, tapi anak itu sama sekali tidak bicara.
"Anak durhaka apanya, Mas? Justru kamu yang durhaka sama anak sendiri." Qiera kembali membelanya.
"Sudah tidak perlu membelanya! Sudah muak aku tinggal di rumah ini kalau ada anak-anak. Lagipula kenapa kamu bawa dia ke sini lagi, bukankah katanya dia mau tinggal di rumah Mama?"
"Di mana pun dia ingin tinggal, aku tidak akan melarangnya. Terlebih mulai hari ini dia akan kembali ke sekolah, jadi tentu saja dia harus tinggal di sini," jawabnya tanpa menunggu persetujuanku lebih dulu dalam melakukan apapun.
Dia memang sudah melewati batas.
"Kau! Aku ini suamimu, kenapa hal seperti ini saja tidak dibicarakan lebih dulu? Apa kau lupa kalau di sini sedang ada Ibu dan Yani? Di mana anak ini tidur nanti?" cecarku geram.
Qiera tidak menjawab, dia malah saling bercanda dan tertawa dengan anak kecil itu. Anak yang tidak berbicara sepatah kata pun ketika berhadapan denganku. Memang anak yang tidak berbakti.
"Menyangkut tidur saja tidak masalah. Aku punya seribu satu solusi." Qiera tersenyum menyeringai.
"Kau!" Aku berhasil melayangkan satu tamparan di pipinya, tapi anehnya dia malah tersenyum sambil memegang ponsel.
"Video ini akan aku kirimkan kepada Bapak mertua yang sudah pasti akan marah melihat anaknya memperlakukan menantu dan cucunya seperti ini bukan?" ancamnya membuatku membeku.
Kenapa akhir-akhir ini dia berbeda, tidak seperti dulu yang selalu diam saja ketika aku marahi.
Tubuh ini mendadak gemetar ketika dia menyebut Bapak, bahkan Ibu dan Yani pun terdiam. Tidak ada yang berani bicara lagi.
"Kenapa? Takut?" Qiera tersenyum bangga. "Tentunya kalian sudah tahu bukan kalau Bapak mertua sangat menyayangiku, tapi terserah apa yang akan kalian pilih. Kalau mau membuat keributan denganku dan anak-anak ayo, tapi itupun kalau tidak takut dengan konsekwensi yang akan kalian terima nanti."
"Yasa, Yani, ikut Ibu sekarang!" pinta Ibu ketika Qiera sudah pergi ke kamar.
Kami bertiga berkumpul di sebuah kafe dekat rumah untuk menemukan cara membuat Qiera kembali seperti dulu. Bukan hanya aku, Ibu, dan Yani pun merasa heran dengan perubahan istriku.
Dulu, dia selalu menurut kepada kami tanpa ada perlawanan apapun. Tapi sekarang, dia bahkan berani membawa nama Bapak untuk mengancam kami.
Memang tidak bisa dipungkiri kalau Bapak lebih menyayangi Qiera daripada aku dan Yani, begitupun dengan Ibu.
"Jadi apa yang harus kita lakukan, Bu?" Aku dan Yani menunggu rencana Ibu.
Ibu mulai menjelaskan kalau kita harus mengambil semua ponsel Qiera dan jangan memberikannya akses untuk bisa bertemu dengan orang tuanya, apalagi Bapak.
Ibu sendiri akan membuat Ziron lebih nurut pada Ibu daripada Qiera, agar mudah dikendalikan, dan membuat anak itu melihat sosok jahat ibunya dengan cara membuat Qiera selalu marah-marah kepada kami bertiga tanpa alasan yang jelas.
"Siapa yang kalian targetkan?"
Suara seorang pria yang sangat kami kenal tiba-tiba terdengar dan membuat kami kembali diam dengan tubuh gemetaran.