2. Tentang Kanaya

1464 Kata
Perempuan bernama Jiana Kanaya itu sudah seperti orang gila sekarang, bicara sendiri di sepanjang koridor rumah sakit, kadang tersenyum lebar, kadang menghentak-hentakkan kaki hingga membuat perhatian beberapa pengunjung tertuju padanya. Aneh saja pikir mereka. Kenapa bisa ada pasien rumah sakit jiwa yang berkeliaran di rumah sakit khusus untuk orang sakit fisik? "Sedang apa, sedang apa, sedang apa sekarang? Sekarang sedang jalan, sedang jalan sekarang," nyanyinya dengan suara yang sedikit nyaring. Tidak peduli jika suaranya bisa mengganggu kenyamanan pasien rumah sakit. Diingatkan saja juga percuma sebab Kanaya akan tetap mengulanginya lagi dan lagi, sampai-sampai entah perawat atau siapa pun yang menegurnya meresa bosan dan jengah sendiri pada kelakuan gadis itu. "Kok ada sih, orang ganteng macam Dokter Sean? Duh, bikin hati gonjang-ganjing aja. Untung Kanaya tegar!" ujarnya sambil mengangkat tangan kanannya yang ia kepalkan tinggi-tinggi. Namun, sedetik kemudian, wajah semangatnya berubah menjadi wajah kecut. "Tapi, Dokter Sean itu jutek banget sama aku. Nggak pernah mau lirik aku. Padahal, aku hampir nggak ada kurangnya. Aku cantik? Udah pasti! Manis? Jangan ditanya lagi, gula aja kalah. Imut? Itu pertanyaan paling retoris yang pernah ada. Keimutanku setara sama marmut merah jambu. Bener-bener nggak ada kurangnya, kan? Tapi kenapa Dokter Sean masih nggak tertarik sama aku? Kenapa coba?!" Ia menggerutu sebal sambil sesekali menghentakkan kaki ke lantai. "Udah gitu suka dorong-dorong aku lagi, sampek jatuh kayak kemarin. Pant*tku kan jadi sakit, terus kalau tambah tepos gimana?" ujarnya kembali dengan tangan yang sibuk mengusap-usap bagian belakang tubuhnya. Sean memang mendorongnya kemarin. Ternyata, keputusannya membiarkan perempuan itu memeluknya hingga bosan sangatlah salah. Kanaya ternyata sangat betah memeluknya. Jadilah, Sean yang saat itu ingat kalau dia ada pertemuan dengan pasien pengidap kanker yang ingin berkonsultasi dengannya, mencoba melepaskan Kanaya yang menempel erat pada tubuhnya. Sean butuh tenaga ekstra untuk melepaskan diri dari jeratan perempuan itu. Kanaya begitu merekat padanya, seolah-olah ada lem super yang sengaja dioleskan di tubuh gadis yang ia anggap gila itu sebelum memeluknya tadi. Alhasil, karena ia tak kunjung lepas, Sean memilih jalan kasar dengan mendorong tubuh Kanaya hingga perempuan itu jatuh terjerembab ke lantai dan mendapat tawa geli dan juga kasihan dari sebagain orang yang berada di sekitar mereka saat itu. "Dokter Sean pasti lagi jual mahal sama aku, dia nggak mau keliatan murahan gitu mungkin." Ia masih sibuk dengan monolognya. Mencoba berprasangka baik pada Sean. Gadi itu lantas mengangguk yakin, kemudian meneruskan langkahnya. Terkadang juga ia tertawa saat membayangkan suatu saat nanti bisa bersanding dengan Sean di pelaminan. Namun ketika Kanaya mengingat sikap lelaki itu yang dingin dan cuek padanya, bibir gadis itu langsung tertekuk ke dalam, dan malah membuat spekulasi orang-orang benar, tentang dia si pasien rumah sakit jiwa yang sengaja kabur. "Kapan ya aku dilamar Dokter Sean? Kok rasanya itu mustahil banget?" Ia mengerucutkan bibirnya, membayangkan kedekatannya dengan Sean yang sama sekali tidak ada perkembangan. Pria itu selalu bersikap cuek dan dingin jika berada di dekatnya. "Tapi, nggak ada yang nggak mungkin kan di dunia ini, semustahil apa itu? Kanaya, kamu harus yakin kalau Dokter Sean itu jodoh kamu. Jangan sampe enggak. Yakin, harus yakin. Percaya diri Kanaya," kata gadis itu, mencoba menghibur diri. Namun, baru beberapa detik berlangsung wajahnya sudah kembali masam lagi, persis seperti perasan air limun. "Tapi, hilalnya itu lho! Mana? Mana? Kok nggak kelihatan?! Hah, pusinglah kepalaku." Kanaya mengusap wajahnya dengan kasar, sementara kakinya, ia hentak-hentakkan ke lantai rumah sakit. Tak! Sebuah jitakan mendarat mulus di dahi perempuan itu. Sontak saja hal itu membuatnya memberengut sebal menatap si penjitak yang juga tengah menatapnya dengan tatapan geli. "Ck! Dokter Garril ih! Awas nih!" Kanaya mengepalkan tangannya di udara, memberi peringatan pada pria itu. "Astaga Nay, saya ini lebih tua tujuh tahun dari kamu. Bisa nggak sih, kamu bersikap lebih sopan dan manis gitu sama saya?" Lelaki itu menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan gadis yang lebih muda beberapa tahun darinya itu. "Saya tahu kamu dan saya udah berteman baik, tapi ya nggak gitu juga. Gimana pun, kamu harus tetep hormatin saya sebagai yang lebih tua." "Iya, iya, yang tua, yang udah mau ketemu Tuhan," sambut gadis itu dengan mimik mengejek. "Heh! Kamu ya?" Kanaya mendengus keras, sebelum berdecih pelan. "Aku nggak peduli tuh, dan nggak akan pernah peduli juga!" balasnya seraya menatap tajam pria bersneli putih itu. "Lagian Dokter Garril ganggu aku nggak tahu waktu. Mood-ku lagi jelek tahu, tapi Dokter Garril yang jomblo ini malah dengan kurang ajarnya gangguin aku. Kurang kerjaan banget sih! Dasar, Dokter Jones, Jomblo Ngenes, bisanya gangguin anak gadis orang aja!" Kanaya memukul lengan Garril dengan keras, membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan. Garril Pramono, dokter spesialis bedah jantung itu memberikan tatapan garangnya pada Kanaya. "Ya ampun Kanaya, kamu yang keliatan menggemaskan kayak gini ternyata punya tenaga yang nggak kalah dari Samson ya?" Laki-laki berusia tiga puluh dua tahun itu memberikan tatapan takjub yang dibuat-buat. Kanaya mencebikkan bibirnya. "Iya lah! Selain gemesin gini kan aku kuat, udah gitu cantik, manis, lucu abis," ujar Kanaya dengan penuh percaya diri. Garril mengulurkan tangannya, mengacak-acak puncak kepala Kanaya dengan gemas, sampai membuat rambut gadis itu berantakan. Ia selalu suka dengan tingkah Kanaya yang meskipun luar biasa aneh dan menjengkelkan, tapi mampu membuat perasaannya menghangat. Garril tidak akan bosan jika ia diharuskan melihat tingkah gadis itu sampai hela terakhir napasnya di dunia. Sebab baginya, Kanaya sendiri adalah candunya. Seseorang yang selalu ia nantikan di hari-harinya yang begitu melelahkan. "Ya ampun, Dokter Garril! Rambutku jadi berantakan, padahal udah satu jam aku tadi di salon! Nanti kalau dokter Sean nggak suka karena rambutku berantakan kayak gini, gimana? Dokter Garril mau tanggung jawab?!" Namun, senyum manis yang menghiasi wajah Garril pun tak bisa bertahan lama. Raut wajah lelaki itu seketika berubah masam begitu mendengar Kanaya menyebutkan nama Sean. Namun, sebisa mungkin ia mengubah air mukanya menjadi seperti sedia kala, agar Kanaya tak melihatnya, lalu menanyainya dengan pertanyaan aneh. Pria itu lantas menatap lekat wajah cemberut Kanaya. Gadis itu tengah menata poninya agar tak seberantakan sekarang. Kesalahannya yang memang tak berusaha jujur perihal perasaannya pada Kanaya, membuat gadis itu tanpa sadar terus-terusan melukai hatinya. "Oh iya, aku baru ingat. Katanya, Ayah mau buat pesta nanti malam, Dokter Garril tahu?" tanya Kanaya yang sepertinya sudah tak mempedulikan lagi rambutnya. Keduanya lantas berjalan bersama. Langkah kaki keduanya pun mulai mengarah ke taman yang berada di sisi mereka, sebelum Kanaya memutuskan untuk duduk di tepi air mancur sembari memainkan air. Gadis itu memang gampang sekali terdistraksi dengan hal-hal sederhana di sekitarnya. Membuat Garril tersenyum dan perasaannya kembali seperti sedia kala. "Tahu," jawab Garril kemudian setelah ia berada di dekat gadis itu. "Diundang?" Garril cuma mengedikkan kedua bahunya untuk itu. Kanaya mengangkat sebelah alisnya. "Oh, jadi Dokter nggak diundang? Baguslah kalau gitu, aku suka keputusan Ayah. Berarti nggak akan ada penganggu di sana." Tak! Lagi-lagi Garril seperti tadi, menjitak kepala Kanaya seenaknya sendiri. "Dokter, sakit tahu!" Garril mengabaikan Kanaya. Ia berjalan mundur, lalu duduk di kursi yang tersedia di sana. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Kanaya mencipratkan air ke arahnya. "Lagian, kamu aneh-aneh aja. Masa saya calon mantunya yang paling sempurna gini nggak diundang?" selorohnya melempar candaan. "Dih, Dokter lagi mimpi apa gimana nih? Calon mantu Ayah? Emang Kak Miranda udah pasti mau sama Dokter? Secara, Kak Miranda itu high quality yang pasti pengen laki-laki yang kualitasnya baik juga. Nggak kayak Dokter yang abal-abal," sambut gadis itu. "Kok jadi Miranda? Kenapa nggak kamu aja?" "Hah? Aku? Ogah ya aku sama Dokter dan nggak bakalan mau aku. Dokter aneh, ogah pokoknya," sahutnya dengan enteng, tanpa tahu efek yang ia timbulkan setelah itu pada Garril. Rasanya, ada sesuatu yang tak kasat mata yang mencubit hati lelaki itu, meninggalkan rasa perih yang teramat. "Tapi kan kamu nggak tahu gimana takdir Tuhan, gimana kalau ternyata saya emang jodoh kamu?" Kanaya membulatkan mata. "Amit-amit, nggak mau pokoknya. Aku maunya kan sama Dokter Sean, aku bakal maksa Tuhan buat nyatuin sama dia." Lagi-lagi, Garril merasakan denyut nyeri di hatinya. Penolakan Kanaya sudah cukup menjadi sembilu untuknya. Garril lantas menghela napas. Mencoba menetralkan perasaan emosional yang menguasai jiwanya. Ia pun lantas memaksakan seulas senyum pada Kanaya. "Udah, jangan natap saya kayak gitu. Saya cuma bercanda lagi." Kanaya merotasikan bola matanya. "Dokter sama sekali nggak lucu." "Saya kan emang bukan pelawak, bayi kecil yang gemesin, atau badut gendut yang perutnya buncit. Saya kan cuma seorang dokter yang mengabdikan dirinya di rumah sakit ayah kamu." "Dokter gila!" "Kalau saya gila, saya sudah ada di rumah sakit jiwa sekarang, bukan ada di sini dan jadi dokter." Garril menjawab dengan kedua bahu yang mengedik enteng. Rahang Kanaya tampak mengeras, tangannya terkepal kuat. "Ih Dokter Garril!" pekiknya tertahan. "Apa?" Garril tersenyum, menggoda Kanaya. Ia selalu suka melihat bagaimana gadis itu yang tengah emosi. "Ck, Dokter, susah emang kalau ngomong sama jomblo kadaluwarsa!" Dan pada akhirnya, Kanaya mencipratkan air ke arah Garril dan tepat mengenai wajah lelaki itu. Garril memberengut, memandang tajam ke arah Kanaya. Bukannya takut, Kanaya malah tertawa lepas. Diam-diam Garril tersenyum, melihat Kanaya yang seperti itu membuat perasaannya menghangat. Garril memang mencintai Kanaya, namun perasaan itu ia kubur dalam-dalam. Ia memang memilih memendamnya daripada mengutarakannya secara langsung pada Kanaya. Garril tak mau jika persahabatan yang sudah berlangsung selama lima tahun itu harus hancur begitu saja. Mungkin persahabatan mereka terkesan rancu karena perbedaan umur yang cukup jauh. Kanaya dua puluh lima tahun, sementara Garril, sudah menginjak usia tiga puluh dua tahun. Pertama kali Garril bertemu dengan Kanaya adalah saat dia baru saja menjalani PPDS-nya yang kebetulan sekali ia ditempatkan di rumah sakit itu. Waktu itu ia menemukan Kanaya sedang menangis di rooftop rumah sakit. Suaranya terdengar pilu hingga membuat kakinya tergerak untuk mendekati gadis yang saat itu sama sekali tak ia tahu identitasnya. Kanaya bercerita panjang lebar tentang perlakuan tidak adil yang ia dapat dari ayahnya. Ia mengatakan jika sudah tidak sanggup lagi melanjutkan kuliah kedokterannya. Namun ayahnya malah memarahinya, dan menyuruhnya untuk lebih giat lagi mempelajari ilmu kedokteran, serta praktiknya. Ayahnya selalu membeda-bedakannya dengan Miranda, kakak perempuannya yang memang sangat pintar, bisa dikatakan sangat jenius. Perempuan itu bercerita banyak padanya, tak peduli jika keduanya belum mengenal satu sama lain. Garril menghela napas pelan. Barangkali status di antara mereka tak akan pernah berubah. Namun, takdir Tuhan tak ada yang tahu, kan? "Oh iya, ngomong-ngomong soal pesta, aku lupa lagi tanya sama Dokter Sean. Dia diundang juga nggak ya sama Ayah?" Ucapan Kanaya berhasil menarik Garril dari lamunan singkatnya. Ia terdengar menghela napas lagi. Nyatanya, perasaannya itu sudah bertepuk sebelah tangan. Di hati Kanaya sudah penuh oleh Sean, Sean, dan Sean. Jadi, akan sangat tidak mungkin ia bisa menyatu dengan perempuan yang telah lama mengendap di hatinya itu. Bagi Kanaya, selamanya keduanya mungkin hanya akan menjadi sahabat. Ia benar-benar sudah tak memiliki harapan lagi. Tbc...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN