Siapa?

1399 Kata
"Hai Kang! Met pagi." "Cengar-cengir mulu, atuh Eneng teh kamana kemaren? Ada yang cariin Neng." "Hah? Saha?" Pagi ini, Mina duduk berselonjor di trotoar. Di depan area apartemen sempitnya. Di sampingnya ada Akang Asep yang sudah mangkal. "Itu ... si Tante-tante yang lipstiknya warnanya teh merah merona dan cetar membana." Mina yang memegang semangkuk bakso mengangguk. "Owhh ... Nene Lampir itu 'kan? Kemaren Neng udah ketemu, terus Neng kabur." Kang Asep semakin serius. Ia juga ikut jongkok di trotoar bersam Mina. "Suruh bayar utang," lanjut Mina dengan santai. Kang Asep memasang wajah kesal. Ia memukul kepala Mina dengan handuk yang selalu tersampir di pundak Kang Asep. "Huhh! Bebel! Itu mah Eneng yang salah," ujar Kang Asep dengan nada Sunda nya. "Bebel teh naon, Kang?" tanya Mina. "Itu tuh otak Eneng bebel!!" Mina langsung mingkem. Ia memutar bola matanya malas. "Akang Eneng ngutang, ya? Besok Neng bayar deh," tawar Mina sambil menyimpan mangkuk yang sudah kosong. "Besoknya kapan, Neng?" "Hehe ... ya besok, Kang." setelah berkata begitu Mina berlari laju sembari tertawa pelan. Ia memasang earphone di telinganya. Dan sesekali memutar-mutar tubuhnya karena alunan lagu. Hari ini cerah, dan tujuannya adalah ruang introgasi. Dua puluh menit berjalan kaki, ia akhirnya sampai. Sesampainya di sana, sweater hitam andalannya ia pasang tudungnya. Memasuki lobi ia memasang masker dan topi. Hingga sampailah ia di tempat tujuannya. Di balik kaca yang tebal, ia melihat seorang remaja yang masih memakai baju sekolah terduduk sembari menunduk. "Kasus apa?" Bian yang sedang mengintruksi rekan lainnya kini menatap Mina. "Pembunuhan." "Hah?" Mina nampak terkejut. "Kok? Di mana?" Bian menggeleng lalu memberikan beberapa berkas dan bukti. Mina meneliti satu persatu-satu. Menatap jeli setiap foto itu. Foto pertama adalah tempat kejadian dari jauh. Foto kedua adalah korban yang di tusuk area leher. Foto ketiga berupa barang bukti berupa pisau dan ada juga narkoba jenis sabu-sabu. Dan beberapa foto lainnya untuk area kejadian dan barang-barang korban. "Kejadiannya di mana?" "Perumuhan ramai, korban ditemukan di depan ruang tv," jawab Bian. Mina menatap lagi berkas itu. "Bagaimana bisa murid tanpa skandal justru menjadi pembunuh?" Bian menggeleng. "Ini gak masuk akal. Tapi lo bisa liat sendiri, namanya bener-bener bersih. Tim udah lakukan introgasi dengan teman-teman kelasnya. Dan katanya, dia memang baik, pandai, ramah." "Sisi negatifnya?" tanya Mina. "Gaada Na, namanya Rey, dan gaada sama sekali sisi bur ...." tiba-tiba Bian berhenti berucap. "Kenapa?" "... murid yang lain terkadang lihat dia dipukuli. Itu saja." Mina berdecih. "Itu saja?" Bian mengedikkan bahu. "Pengacaranya ada?" "Ada." "Gue masuk dulu," pamit Mina. . Di dalam ruangan yang sumpek ini. Mina menatap anak muda itu dengan datar. Di depannya ada laptop dan beberapa barang bukti serta berkas-berkasnya. "Rey Cakrawala ... bisa kita mulai?" Cowok dengan beberapa luka di wajahnya itu menatap balik Mina. Tanpa jawaban yang jelas, dan mina anggap itu sebagai persetujuan. "Apa benar kamu membunuh korban yang bernama Lily?" Rey menggeleng. Mina menyodorkan berang buktinya. "Jam tanganmu ketemu di sana, pisau lipat yang di duga punyamu, dan juga ini ..." Mina menatap satu barang bukti. "... gelang yang sama seprti punya korban. Menurut beberapa teman sekelasmu, kalau kamu dengan Lily dekat. Bener? Yaa ... saya gak tau pasti dan saya juga gak peduli kalo kalian dekat atau enggak. Yang saya mau kasus ini selesai dengan cepat." Hening. "Siapa lo?" tanya Rey dengan suara serak. Mina terdiam. Di balik kaca tebal Bian juga terdiam. Rey tersenyum miring. "Lily ... bukan siapa-siapa gue. Dan gue gak pernah bunuh dia." Mina mengangguk. Ia menunjukkan berkas lagi. "Sidik jarimu ada di sini. Mungkinkah kami salam tangkap?" tanya Mina dengan dalam dan dingin. Rey terdiam. "Sekarang katakan ... kamu bunuh dia atau enggak?" "No," jawab Rey dengan nada yang sangat dingin. Mina mengangkat alisnya. Sembari mengetik di laptop Mina berucap. "Ataukah mungkin Lily benar pacarmu, kalian berkelahi dan akhirnya mati. Ehh ... ya mungkin seperti itu. Hubungan percintaan anak muda memang menyakitkan, dan itu mungkin saja terjadi." Rey masih diam. "Dan bahkan ketika kamu terkenal sebagai good boy, itu gak ngerubah arah kalo kamu pembunuhnya. Paham?" Rey berdecih kesal. "Ataukah itu suruhan dari bos ... mu?" Rey mengernyitkan dahi. "Ahhh ... aku dengar dari beberapa siswa bahwa kamu sering berkelahi diam-diam dengan anak nakal di sekolahmu." "Tau apa lo?" "Banyak ... termasuk pekerjaan Lily." "Hahh?!" "Yaa ... dan pekerjaanmu juga." Mina tersenyum miring di balik masker. "Siapa lo?" "Lo ... gak khawatir nama baik Lily? Gimana kalo mereka ngebongkar rahasia?" "Lo siapa sih?!" "Kalo Lily ... pengedar narboka." "GILA LO!!" "Owhh kamu yang pengedar narkoba! Anak muda sinting!" Brak Rey menggebrak meja. "Duduk diam!!! Dan ikuti proses ini segera!" hentak Mina sebelum Rey sempat berbicara. Tiba-tiba datang dua orang petugas untuk berjaga. Rey kembali duduk. "Katakan sejujurnya, maka ini gak akan memberatkanmu!" "Lily beneran mati." Mina memijat pelipisnya. "Jawab! Kamu bunuh korban yang bernama Lily? Tidak perlu basa-basi lagi! Bukti sudah semua di depan mata! Kamu pikir kalau kamu bilang 'tidak' aku akan diam saja?" Rey kembali mengernyitkan dahi dengan dalam. "Tidak! Bahkan jika kamu bilang 'iya' pun aku gaakan diam saja.'' "Tidak! Gue gak bunuh Lily." "Kalo gitu jelasin!" Mina menunjuk semua brang bukti dan beberapa berkas. Rey kembali diam. "Hanya satu luka di leher. Kamu terburu-buru? Apa karena ada saksi yang liat?" Rey membulatkan matanya. Ia menatap tajam Mina. "Ataukah kamu terpaksa?" "Tidak! Tidak sama sekali!" "Kalau begitu ini ulah bosmu?" "Kenapa?" "Itu yang harusnya aku tanya? Kenapa dia bunuh Lily?" "Hah?" Mina mengetuk-ngetuk jari. "Ahh ... karena bosmu gak dapat jatah sabu gratis 'kan?" Brak Rey kembali menggebrak meja. Tiba-tiba Bian mengintruksi untuk intograsi di lanjutkan besok. Mina keluar lebih dulu, sebelumnya ia menepuk dua kali bahu Rey. Setelah intograsi yang tak berakhir itu. Mina memutuskan untuk berjalan santai di luar lagi. Ya, ini lah hidupnya, tanpa tujuan. Mina tak ada niatan untuk di promosikan, dilantik, atau dinaikkan jabatan. Bahkan hanya untuk memegang satu tim. Mina berhenti di penjual eksrim. Duduk dengan santai sembari menatap kendaraan lalu lalang. Helaan napas panjang dari Mina mencuri perhatian tukang eksrim. "Hidup emang keras Mba, kalo gak mau keras gak usah hidup," ujarnya tanpa aba-aba. Mina menengok ke kanan dan kekiri. "Hah?" "Mba kalo cape istirahat aja. Jangan bunuh diri." "What? Bunuh diri?" Abang eskrim menengok menatap Mina. "Bukan kamu atuh Neng." "Lah? Terus siapa?" "Yang di sampingnya Eneng." Mina menelan ludah dengan keras, ia menengok ke samping, namun tak ada orang sama sekali tak ada. Dengan napas yang sudah tercekat, Mina lari ngibrit entah kemana. Sedangkan, tukang eskrim menggaruk pelipisnya. Ia menengok berita yang tertempel di tiang listrik samping Mina duduk tadi. Berita itu terdapat kasus bunuh diri. Mina ngos-ngosan, tapi dengan begitu ia masih saya memakan eskrimnya. Mina melambai-lambaikan tangan dan memberhentikan taksi. Ia masuk ke dalamnya, tanpa aba-aba. "Bang! Jalan Yuta, perumahan Clisa." Mobil jalan perlahan. Dan Mina sibuk memainkan ponsel. Tanpa Mina sadari bahwa supir itu memperhatikan Mina dengan dalam dari spion depannya. Ia tersenyum tipis melihat Mina terus asik memakan eskrim sembari bermain ponsel. Tiga puluh menit tapi masih belum sampai. Bahkan Mina tak menyadarinya. "Ini di mana sih? Kok belum nyampe-nyampe?" tanya Mina sembari menguap. Pasalnya ia baru saja bangun dari tidur. "Macet," jawabnya dengan datar. Mina mengangguk. Ia kembali bersandar. "Nanti bangunin ya, gue mau tidur dulu." Mina yang sembrono dan petakilan langsung saja tidur. Tanpa merasa curiga sedikit pun. Tiba-tiba ponsel supir itu berdering. Ia menangkatnya. "Sayangggggg!" Cowok itu menjauhkan ponselnya. "Daaaa! Lo di mana sih? Gue udah nungguin di cafe dari setengah jam yang lalu." "Gue sibuk." "DAMIANNNN." Tut . Menggeliat pelan. Mina mengerjap beberap saat. Ketika membuka matanya ia sudah berada dalam kamarnya. Ia kembali memikirkan dan mengingat dan benar kok, bahwa Mina baru saja di naik taksi dan mungkin belum bernayar. Tapi, kenapa justru ia ada di dalam kamar. Tak ingin pusing memikirkan, Mina berjalan untuk mengambil makan. Yah, walau hanya sebungkus mie goreng tapi itu tak masalah. Mina duduk di kursi kerjanya, sembari menatap layar komputer. Tangannya tak berhenti untuk bergerak mencari-cari sesuatu. Sesekali ia memakan mie gorengnya. Sepuluh menit akhirnya Mina selesai. Ia kembali mengutik-ngutik komputernya. Dan akhirnya, lagi-lagi menggebrak keyboard karena kesal. “Ck, sebenarnya tuh sekolah apasih? Kenapa gak bisa ngimput datanya.” Karena kesal Mina akhirnya berbaring. Membuka sweater hitamnya yang kini hanya menampakkan baju oblong mini saja. Ia mengambil ponsel kesayangannya dan mulai rutinitas rebahannya. Tak lama, ia mengambil minum dan langsung meminumnya. Hingga beberapa detik kemudian, ada pesan masuk. 08××××××× Kalo minum jangan sambil tidur “Hah?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN