Kebaikan Rain

1647 Kata
Fani dan Bagas yang melihat kedatangan Rain, langsung beranjak dari duduknya. Mereka lalu menyapa dan mencium punggung tangan Rain. Rain menyuruh mereka untuk kembali duduk. Rain menatap Bagas yang terlihat begitu tegang. “Kamu kan... cowok yang waktu itu ingin mengajak Aira nonton kan?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. Mati aku. “I—ya, Om. Maaf, Om,” ucap Bagas gugup. Rain tersenyum. “Kenapa kamu setegang itu, apa wajah saya begitu menakutkan?” Bagas menggelengkan kepalanya. “Saya hanya merasa tidak enak saja sama, Om. Karena waktu itu saya sudah lancang ingin mengajak Aira nonton bioskop,” ucapnya sambil menundukkan wajahnya. “Om, waktu itu bukannya mau memarahi kamu, hanya saja, kalian itu masih kecil, jadi Om tidak bisa melepaskan Aira begitu saja. Apalagi kalian hanya pergi berdua, itu lebih tidak mungkin lagi untuk Om mengizinkannya.” Bagas mengangguk mengerti. “Iya, Om.” Seorang wanita paruh baya datang sambil membawa nampan yang berisi minuman dan camilan. “Silahkan diminum Den, Non, Tuan.” “Terima kasih, Bi.” Wanita paruh baya itu lalu melangkah pergi. Tak berselang lama, Aira yang sudah berganti pakaian menghampiri teman-temannya di ruang tamu. Ia lalu duduk di samping Rain. “Tante Karin, kemana, Om?” “Tante kamu tadi sedang teleponan dengan sahabatnya.” Rain lalu beranjak dari duduknya. “Kalau begitu Om tinggal dulu. Om juga tidak ingin mengganggu obrolan kalian.” Pria itu lalu melangkahkan kakinya menjauh dari ruang tamu. Bagas menghembuskan nafas lega, ia lalu mengusap dadanya, ia sungguh merasa terintimidasi saat berhadapan dengan Rain. “Ra, jantungku hampir copot tahu.” Aira hanya menggelengkan kepalanya. “Apa kamu sekarang masih takut dengan Om Rain?” “Tidak sih, tapi aku belum siap untuk bertatapan lagi dengan om kamu itu.” Fani mengambil jus dari atas meja. “Om kamu ganteng ya, Ra. Masih awet muda. Kalau aku sudah dewasa nanti, aku ingin mempunyai cowok seperti om kamu itu,” ucapnya lalu meminum jus itu dan meletakkan kembali gelas itu ke atas meja. “Dasar! Apa kamu diam-diam penyuka om-om,” sindir Bagas. “Memangnya kenapa, masalah buat kamu!” Fani melototkan kedua matanya ke arah Bagas. “Kalian ini ya, bisa tidak—tidak bertengkar terus. Aku pusing mendengar kalian yang terus meributkan hal-hal yang tidak penting.” Aira lalu beranjak dari duduknya. “Lebih baik kita mengobrol di teras belakang saja, lebih enak juga suasananya,” ucapnya lalu melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tamu. Fani membawa nampan yang berisi minuman, sedangkan Bagas membawa toples yang berisi camilan. Mereka lalu melangkah menuju teras belakang. Aira mengajak mereka untuk mengobrol di tepi kolam renang. “Siang-siang begini kalau berenang, pasti seru ya,” ucap Fani sambil mengayun-ayunkan kakinya yang sudah dimasukkan kedalam kolam renang. “Apa kamu mau berenang? Kalau mau, aku pinjamkan pakaian renangnya.” “Boleh. Panas-panas begini, kalau berenang, pasti bisa mendinginkan pikiran.” Fani berucap sambil melirik ke arah Bagas. “Kalau begitu aku ambilkan baju renangnya dulu.” Aira lalu beranjak dari duduknya. Fani menarik tangan Aira, saat gadis itu ingin melangkah pergi. “Tapi, Ra. Bajunya tidak....” Fani melirik ke arah Bagas, mana mungkin dia akan berpakaian seksi di depan Bagas. Aira tersenyum. “Tenang saja, baju renangnya masih sopan kok.” Gadis itu lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Fani dan Bagas. Bagas tidak peduli dengan tatapan tajam Fani, ia malah asyik menikmati camilan yang di pegangnya. Bagas juga tidak akan tertarik saat melihat Fani memakai baju renang, karena baginya, gadis yang bisa menarik hatinya, hanyalah Aira seorang. Aira kembali sambil membawa baju renang miliknya. “Ini,” ucapnya sambil memberikan baju renang itu kepada Fani. Fani beranjak berdiri, ia lalu mengambil baju renang itu. “Ra, anterin aku ganti baju dong,” pintanya. Aira menganggukkan kepalanya. “Pakai toilet yang berada di belakang aja ya.” Fani menganggukkan kepalanya, mereka lalu melangkah pergi meninggalkan Bagas yang masih asyik dengan camilan. Pemuda itu bahkan tidak menyadari, jika ia hampir menghabiskan setengah isi toples itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Fani dan Bagas berniat untuk berpamitan. “Om, Tante, terima kasih karena telah mengizinkan kami untuk berkunjung ke rumah ini, terima kasih juga untuk makan siangnya. Kami ingin pamit pulang,” ucap Bagas lalu mencium tangan Rain dan juga Karin. “Karena kalian tadi kesini bersama dengan istri saya, saya akan mengantar kalian pulang,” ucap Rain. Bagas dan Fani menganggukkan kepala mereka. “Terima kasih, Om,” ucap mereka bersamaan. “Om, apa Aira boleh ikut?” Rain menganggukkan kepalanya, ia lalu mengusap puncak kepala Aira. “Boleh dong, Sayang.” Sebelum mereka keluar dari rumah itu, mereka terlebih dulu berpamitan kepada Karin. “Hati-hati ya, Mas, sebelum makan malam sudah harus sampai di rumah.” Rain menganggukkan kepalanya. “Iya, Sayang, kalau begitu Mas pergi dulu,” pamitnya lalu mengecup kening Karin. Aira, Fani, dan Bagas berdehem melihat kemesraan Rain dan Karin. “Om, kita ini masih kecil lho, Om. Tapi Om malah mesra-mesraan sama Tante di depan kami,” goda Aira. Karin mengusap lengan Aira. “Kalian ini masih kecil, belum boleh cinta-cintaan, Ok?” Aira, Fani, dan Bagas hanya mengangguk mengerti, meskipun dalam hati mereka, bertolak belakang dengan anggukkan kepalanya. Terutama Bagas, ia bahkan sudah menaruh hati kepada Aira, hanya saja ia tidak bisa mengutarakan perasaan cintanya, karena ia belum dewasa. “Kalau begitu, kami pergi dulu,” pamit Rain. Karin menganggukkan kepalanya, mereka lalu melangkahkan kakinya keluar dari rumah. “Makasih ya, Om. Sudah mau mengantar teman-teman Aira pulang.” Mereka saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumah Bagas, karena rumah Bagas lebih dekat ketimbang rumah Fani. “Sama-sama, sayang. Om kan juga tidak tega membiarkan teman-teman kamu pulang sendirian, apalagi sudah mau malam.” Rain lalu menatap Fani dan Bagas lewat kaca spion yang berada di depannya. “Apa kalian tadi sudah berpamitan dengan kedua orang tua kalian, kalau kalian mau bermain ke rumah Aira?” tanyanya kemudian. Fani dan Bagas menggelengkan kepalanya. Rain menepuk keningnya sendiri. “Astaga! Pasti sekarang orang tua kalian sangat khawatir. Lain kali, kalau mau main itu, kalian harus minta izin dulu sama kedua orang tua kalian. Mengerti!” Fani dan Bagas menganggukkan kepalanya. “Iya, Om. Maaf,” ucap mereka bersamaan. Rain menghela nafas panjang. “Aira, kamu juga. Kalau kamu mau main ke rumah teman-teman kamu, kamu harus izin sama Om dan tante, mengerti,” ucapnya sambil mengusap puncak kepala Aira. “Mengerti, Om.” Sesampainya di rumah Bagas, Rain, Aira, dan Fani ikut turun menemani Bagas. Ternyata apa yang dikhawatirkan Rain benar-benar terjadi, kedua orang tua Bagas tengah kebingungan mencari keberadaan Bagas, apalagi ponsel Bagas tidak bisa dihubungi karena baterainya habis. “Maafkan saya, Pak, Bu. Kalau saya tahu, Bagas belum meminta izin untuk bermain ke rumah keponakan saya, maka saya akan melarang mereka, dan menyuruh mereka untuk meminta izin terlebih dahulu.” Kedua orang tua Bagas juga meminta maaf dan mengucapkan terima kasih karena Rain mau mengantarkan anak mereka sampai di rumah. Bagas adalah anak tunggal, itu sebabnya kedua orang tuanya sangat mengkhawatirkannya. Setelah dari rumah Bagas, kini mereka menuju rumah Fani. Fani berasal dari keluarga yang sederhana, ia tidak sekaya Aira dan Bagas. Tapi, Fani bersyukur, karena Aira dan Bagas mau tulus berteman dengannya. Sesampainya di rumah Fani, ternyata rumah itu sepi. Fani sudah bisa menebak, karena kedua orang tuanya harus bekerja untuk mencari uang, mereka pun akan pulang di malam hari. Fani mempunyai kakak laki-laki, tapi dia bekerja di luar negeri untuk membantu perekonomian keluarganya. “Terima kasih, ya Ra, Om. Karena sudah mau mengantar aku pulang.” “Apa kamu tidak apa-apa di rumah sendirian?” tanya Rain cemas. Fani menganggukkan kepalanya. “Tidak apa-apa, Om. Saya sudah terbiasa kok,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya. “Jam berapa ayah dan ibu kamu pulang?” “Tidak tentu sih, Om. Kadang jam 20.00 malam, bisa juga sampai 22.00 malam.” Rain melihat jam di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul 17.00. “Em... kalau begitu lebih baik kamu ikut saya makan malam sekalian, saya tidak bisa meninggalkan kamu sendirian disini.” “Tapi, Om. Bukankah tadi Tante Karin berpesan untuk pulang sebelum makan malam?” Rain tersenyum. “Iya, sayang. Biar Om telpon tante kamu dulu, tante kamu pasti mengerti.” Aira menganggukkan kepalanya. Rain lalu menghubungi Karin. “Halo, Sayang,” sahutnya saat panggilan itu mulai tersambung. “Iya, Mas. Ada apa Mas menelpon?” “Sayang, sepertinya Mas dan Aira tidak bisa makan malam di rumah, karena ternyata Fani di rumah sendirian, kedua orang tuanya belum pulang bekerja. Mas berniat untuk mengajak Fani makan malam dulu, setelah itu baru pulang ke rumah. Kamu tidak marah kan, sayang?” “Tidak, Mas. Apa yang Mas lakukan itu sangat aku dukung. Fani pasti juga sudah sangat lapar. Aku bangga mempunyai suami sebaik, Mas.” Rain tersenyum. “Terima kasih sayang, i love you.” “I love yo too, Mas.” Rain lalu mengakhiri panggilan itu. “Sebaiknya kita kembali masuk ke dalam mobil, Om akan mengajak kalian makan malam.” “Terima kasih, Om.” Rain tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Mereka bertiga pun kembali masuk kedalam mobil, Rain lalu melajukan mobilnya menuju restoran yang terdekat. Sesampainya di restoran, Rain memesan banyak makanan, dan itu membuat Aira dan Fani membulatkan kedua matanya. “Kalian masih dalam masa pertumbuhan, harus makan yang banyak,” ucap Rain saat melihat kedua gadis itu tercengang sambil menatapnya. “Kalau banyak makan, malah jadi gemuk dong, Om. Om kan tahu, Aira paling takut mempunyai tubuh gemuk.” Rain tersenyum. “Kalau begitu, biar Fani dan Om yang menghabiskannya. Om tidak takut gendut, karena meskipun tubuh Om berubah menjadi gendut, Om masih tetap tampan,” candanya. “Om, memang tampan. Kalau saya sudah dewasa nanti, saya ingin mempunyai suami seperti Om,” ucap Fani dan mampu membuat Rain dan Aira tercenggang. Tak berselang lama, makanan yang Rain pesan, sudah terhidang di atas meja. Rain menyuruh Aira dan Fani untuk segera makan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN