Chapter 9

1517 Kata
  Suara itu membuyarkan tangisan Celline dan membuatnya menatap iris mata coklat pengendara motor itu. Pengendara motor itu tak lain dan tak bukan adalah Aldi yang baru saja pulang dari kerjanya. Aldi melepas helmnya dan melihat kondisi Celline yang terluka. Lengan baju kirinya sobek dan ada bercak darah di area belakang lengan dan bahunya. Belum lagi kakinya yang tergores bebatuan di sana dan tungkainya membiru karena terkilir.      “A- aku baru saja dicopet dan aku mengejarnya lalu aku terjatuh di sini. Betapa sialnya aku- hiks,“ jawab Celline yang kembali menangis merutuki nasib sialnya.      Aldi jadi ikutan panik. Sepertinya Celline perlu segera mendapatkan pertolongan. “Di mana rumahmu? Aku antar ke sana,” tanya Aldi yang berusaha membantu.      “Di Sepanjang.”      “ASTAGA! Itu masih 45 menit lagi jauhnya dan jika lukamu tidak segera diobati, ini akan infeksi-“      “Aku tidak apa, Kak. Lebih baik aku pulang saja,” jawab Celline lirih sambil berusaha untuk berdiri lalu ia terduduk lagi karena kakinya begitu sulit digerakkan. Ia meringis kesakitan      “Lihat kan? Lukamu ini harus segera diobati. Tapi, kurasa toko obat dan klinik di sekitar sini sudah tutup sekarang,” Aldi tampak berpikir keras dan ia menemukan satu-satunya jalan. “Kurasa aku tahu satu tempat.” Aldi segera menggendong Celline dan mendudukannya di atas motornya. Celline terkesiap dengan Gerakan cepat Aldi.      “Kau bisa duduk di motor?” tanya Aldi memastikan dan Celline mengangguk. Aldi melepas jaketnya dan memakaikannya pada Celline lalu memakaikan helm cadangan yang ia bawa kepada gadis itu. Wajah Celline merona karena perlakuan Aldi.      “Kita mau ke mana, Kak? Ini sudah malam,” tanya Celline kuatir dan sedikit was-was pada pria yang sekarang menyalakan mesin motornya ini      “Rumahku,” jawab Aldi singkat lalu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.  ***     Sepanjang jalan Celline hanya terdiam sambil meringis kesakitan. Sesekali Aldi menanyakan keadaannya. Aldi menarik tangan Celline untuk memeluknya agar tidak terjatuh. Celline yang awalnya kikuk akhirnya melakukan yang diperintah Aldi mengingat motor itu begitu kencang. Hingga tak berapa lama, mereka sampai di sebuah rumah sederhana dengan gerbang dari kayu usang di depannya.      “Ini rumah siapa, Kak?” tanya Celline terheran-heran dan ia sudah berpikiran yang tidak-tidak. Bagaimana jika Aldi ternyata orang jahat, bagaimana jika Aldi justru melecehkannya atau kejadian buruk apa lagi yang akan menimpanya di sini.      “Sudah kubilang ini rumahku. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita hanya akan mengobati lukamu dan akan kuantar kau pulang,“ jawab Aldi yang seakan tahu isi kepala Celline. Aldi menurunkan badan Celline dari motornya dan memapahnya melangkah ke depan pintu rumah perlahan.      “Maafkan rumahku yang agak berantakan,” kata Aldi seraya membuka pintu rumah kontrakannya.      Ia mendudukkan Celline di sofa di depan televisi kecil lalu mengambil beberapa benda. Celline dapat melihat bahwa rumah itu begitu berantakan. Baju bertebaran di mana-mana, belum lagi di beberapa sudut ada debu yang menumpuk dan menimbulkan bercak hitam di lantai, kaca jendela yang kotor dan ada beberapaa bungkus snack yang masih teronggok di atas meja di depan televisi. Ia yakin bahwa Aldi memang jarang membersihkan rumah kontrakannya ini.      Celline melepas jaket Aldi yang dipakainya secara perlahan sambil meringis kesakitan. Aldi berkutat di dapurnya sejenak untuk membuatkan teh hangat untuk Celline. Mungkin dengan segelas teh hangat bisa meredakan rasa syok yang Celline alami. Ia menyerahkan sebuah gelas berisi teh hangat itu pada gadis itu dan memegang 1 gelas lagi untuk dirinya sendiri. Ia duduk di sisi lain sofa itu sambil menyesap teh hangatnya. Sejenak suasana hening.      “Aku ingat kau bilang kalau rumahmu di Sepanjang. Lalu, untuk apa kau jauh-jauh sampai ke daerah ini?” tanya Aldi memecah keheningan.      “Ah… itu… aku bermaksud menginap di rumah sahabatku di dekat sini, tapi ternyata ia pergi keluar kota bersama keluarganya. Dan, malangnya nasibku ternyata malah kecopetan,” jawab Celline sambil meringis.      “Mengapa juga kau harus mengejar copet itu? Kau tahu bukan jika seberapa kuatpun kita berlari, kita tidak akan mungkin menyamai kecepatan motor,” tanya Aldi yang memecah keheningan.      “Aku… Semua barang yang ada di dalam tasku itu penting dan jika kehilangan semuanya itu Ibuku akan menghabisiku,” jawab Celline.      “Hey! Mana ada Ibu yang tega menghabisi anaknya seperti itu?” Aldi menanggapi ucapan Celline dengan tertawa.      “Tentu saja ada. Ibuku contohnya. Ia tidak akan segan memukulku bahkan hampir setiap hari,“ jawab Celline tak terima dengan pernyataan Aldi yang mengeneralisasi semuanya.      “Hah? Sungguh?” sahut Aldi tak percaya. Celline menganggukan kepalanya.      “Yah, begitulah. Mungkin sudah nasibku untuk hidup dengan seperti ini. Hampir setiap hari aku mendapatkan makian hingga pukulan. Jika aku tidak menuruti apa katanya atau kalau aku menyinggung perasaannya atau bahkan ketika aku tidak setuju dengan sesuatu, ia jadi emosi dan mudah sekali memukul-“ Celline tertunduk dan sudut matanya lagi-lagi mengeluarkan air mata.      “Betapa menyedihkannya hidupku ya?” ucapnya berpura-pura tersenyum dan menahan air matanya untuk menetes. Tapi seberapapun mencoba ia menahan, ia tak mampu menyembunyikaan ratapannya. Pria itu makin iba melihat gadis ini. Ia gadis yang sangat-sangat rapuh.      “Maafkan aku… aku tidak bermaksud untuk..”      Celline mengusap air matanya dan tersenyum,”Hahaha… tak apa. Mungkin aku saja yang terlalu mendramatisir semua yang kualami.”      “Pasti menyakitkan untukmu hidup dengan penderitaan sebesar itu,” kata Aldi mencoba berempati. Entah mengapa hati Celline begitu rapuh mendengat kata-kata Aldi, ia menangis kembali. Aldi memutar bola matanya mencoba mencari topik yang lain.      “Mari kita bicara yang lain saja… Eng… kau masih ingat kejadian di The Grand Dining waktu itu?” tanya Aldi disambut anggukan kepala Celline.      “Ah… iya, aku sungguh minta maaf karena membuatmu mendapatkan hukuman. Aku tahu Kakak hanya mencoba membelaku dari Brandon waktu itu. Aku ingin menyampaikan maaf sekaligus terima kasih tapi aku tak punya kesempatan hari itu,” kata Celline lalu ia menyesap tetes terakhir tehnya.      “Kau tak perlu berlebihan. Aku hanya tidak suka ada wanita yang dilecehkan. Ngomong-ngomong, siapa pria itu memangnya? Mengapa kau terlihat risih bersamanya?”      “Dia Brandon, anak teman Ibuku. Mereka menjodohkanku dengan Brandon karena Ibuku berpikir jika aku bersama dengan Brandon, kami akan hidup dengan nyaman. Eng… maksudku tidak seperti sekarang yang sedikit sulit bagi kami. Kami harus bekerja keras untuk hidup, tapi Brandon dan keluarganya adalah orang kaya. Kalau aku dan dia akhirnya menikah, setidaknya kami bisa mendapatkan kenyamanan dari keluarganya,” jelas Celline.      “Maafkan kalau aku bertanya, apakah kau menyukai pria itu?” tanya Aldi yang disambut gelengan kepala dari Celline.      “Apakah kau sudah mencoba mengungkapkan perasaanmu pada pria itu?” Celline kembali menggeleng.      “Aku hanya takut, jika aku berani menolak Brandon, Ibuku akan bertindak lebih gila dari biasanya. Dan, a-aku sungguh takut… aku tidak suka dipukul.” Badan Celline kembali bergetar, air matanya kembali menetes. Lagi-lagi Aldi melihat gadis ini rapuh. Entah mengapa hatinya tiba-tiba tergerak untuk berusaha melakukan sesuatu bagi gadis rapuh ini.      Aldi meletakkan gelas kosongnya lalu mendekatkan dirinya dan memeluk Celline. Celline tidak menolak pelukan itu justru ia merasakan kenyamanan yang ia tidak pernah dapatkan sebelumnya. Aldi mengelus pelan punggung gadis itu hingga tanpa sadar ia menyentuh luka Celline.    “Ouch….” Celline mengerang kesakitan.      “Oh, maafkan aku… mari kita obati lukamu.”  ***      Aldi keluar dari kamarnya dan kembali dengan sebuah kemeja putih, dan handuk di tangannya. Ia memberikan kemeja dan handuk ke Celline. Celline mengernyit heran, mengapa bukan kotak obat yang dibawa Aldi?      “Kau cobalah bersihkan dirimu terlebih dulu baru kita obati lukamu,” kata Aldi dengan lembut. Celline masih ragu untuk mengambil benda-benda itu dari tangan Aldi.      “Kita tidak bisa mengobatinya jika masih ada kotoran yang menempel di sana, bisa-bisa akan infeksi,” jawaban Aldi meyakinkan Celline bahwa ia tidak berpikiran yang tidak-tidak padanya. Celline yang ragu akhirnya mengambil handuk dan kemeja itu dari tangan Aldi.      Ia mencoba berdiri namun kakinya masih terasa sakit ketika digerakkan. Aldi dengan sigap memapah Celline untuk masuk ke kamar mandi, yang ternyata hanya ada di dalam kamar Aldi, lalu mendudukannya perlahan di atas kloset yang tertutup. Ia sudah menyiapkan seember air hangat di dekat kloset itu untuk dipakai Celline membersihkan diri. Aldi menutup pintu kamar mandi itu dari luar dan ia menunggu di atas ranjangnya sambil.      Beberapa menit kemudian ia mendengar suara Celline memanggilnya. Tanda bahwa ia sudah selesai membersihkan dirinya dan Aldi kembali memapahnya keluar dari kamar mandi dan mendudukkannya di atas ranjangnya. Ia mengambil kotak obat dan menghampiri Celline yang sekarang sudah memakai kemeja putihnya dengan lengan yang sudah dilipat setengah lengan dan tetap dengan rok selututnya karena ia tidak memiliki ganti untuk itu.      Badan Celline yang kecil membuat kemeja itu terlihat begitu kebesaran. Warna kemejanya yang putih agak transparan membuat bra merah tua yang dikenakan Celline terlihat dan membuat Aldi meneguk ludahnya berkali-kali. Belum lagi rambut Celline yang digelung ke atas dan membuat leher mulusnya terlihat. Entah mengapa penampilan Celline itu terkesan… seksi. Aldi buru-buru menyingkirkan pikiran kotornya dan kembali pada tujuannya, mengobati Celline.      Aldi mengangkat kaki Celline yang terkilir dan mengangkatnya perlahan ke atas pahanya. Celline meringis kesakitan. Sudut mata Aldi tidak sengaja melihat paha mulus Celline yang agak tersingkap karena roknya agak naik ke atas. Aldi lagi-lagi meneguk ludahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN