Chapter 4

1328 Kata
    Rivaldi berjalan menyusuri lorong universitas yang telah menjadi almamaternya. Ia berhenti sejenak di depan papan – papan pengumuman di Lorong itu. Ia masih bisa melihat bagaimana bangganya ia dulu ketika namanya dipasang di semua papan pengumuman karena berhasil menjabat sebagai Ketua BEM universitas itu. Tiga tahun sudah berlalu dan berita tentang dirinya mungkin sudah lama dilupakan orang.      Ia kembali meneruskan perjalanannya menuju salah satu ruang dosen di ujung lorong. Ia mengetuk pelan ruangan itu, kemudian melongokkan kepalanya ke dalam untuk mencari seseorang. Tapi, ia tidak melihat yang dicarinya di ruangan itu. Ketika hendak menutup pintu, bahunya ditepuk seseorang.      “Woyyy!!! Aku tidak percaya siapa yang datang ke sini? The Mighty Rivaldi!” Dave sengaja memanggil Rivaldi dengan julukan yang disematkan kepadanya dulu saat kuliah karena ia adalah mahasiswa paling berprestasi di universitas. Setiap pertandingan yang diikutinya selalu berhasil membawa kemenangan dan membanggakan universitasnya. Belum lagi jabatannya sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang diembannya, membuat julukan itu memang layak disematkan padanya.      Rivaldi dikenal sebagai sosok yang tidak hanya tampan dan kaya, tapi otaknya cemerlang dan memiliki karakter yang baik. Ia selalu diajarkan oleh kedua orangtuanya untuk ramah pada semua orang dan rendah hati walau ia telah memiliki segalanya. Hampir semua teman kuliah wanitanya pernah jatuh cinta pada sosok Rivaldi namun Rivaldi berkomitmen untuk tidak mau berpacaran selama kuliahnya. Ia mau fokus menyelesaikan kuliahnya tanpa gangguan dan fokus untuk meraih prestasi untuk membanggakan orangtuanya. Bagaimanapun para wanita itu memohon dan menarik perhatiannya, ia tidak akan bergeming dan hanya menanggapinya dengan ucapan terima kasih dan senyuman manis. Itulah yang membuatnya memiliki julukan itu, Rivaldi yang Agung dan saking agungnya, ia tidak dapat disentuh siapapun.      Rivaldi langsung memeluk sahabatnya itu sambil tersenyum. Ia sudah lama tidak bertemu Dave yang sudah 2 tahun ini menyelesaikan kuliah S2’nya di luar negeri. Dave sekarang menjadi seorang dosen jurusan Manajemen Bisnis di universitas tersebut dan ia kembali bertemu dengannya setelah sekian purnama.      “Masuk dulu, Bro! Kita ngobrol di ruanganku,” ajak Dave.      Mereka masuk ke ruangan itu dan Rivaldi langsung duduk di sofa empuk di sana. Sementara Dave segera berjalan menuju lemari es kecil di sebelah meja kerjanya dan membukanya untuk mencari beberapa minuman dingin.      “Mau minum apa? Di sini ada kopi dingin, teh, soda dan air mineral,” tawar Dave.      “Air mineral saja. Biar sehat,” sahut Rivaldi.      Dave kembali dari kulkas di sebelah mejanya dan membawakan sebotol air mineral untuk Dave. Dave pun langsung meneguknya cepat.      “Kau ke mana saja, Bro? Aku mencoba menghubungimu waktu aku kembali dari Amerika tapi nomer ponselmu sepertinya sudah ganti.”      “Sorry, Dave, aku lupa memberitahumu soal itu.”      “Bagaimana kabarmu, Bro?”      “Aku… kau takkan percaya jika aku katakan apa saja yang sudah terjadi di hidupku,” Rivaldi menyeringai lalu tersenyum jahil.      “Aku ingat kau dulu ingin membuka bisnismu sendiri setelah kuliah. Jadi?”      “Hmmm…  Selama 2 tahun ini banyak yang sudah terjadi, Dave dan sejak tahun lalu aku ingin mencoba memulai karirku dari bawah sebagai pramusaji dan yah… kau tahu aku ingin belajar mandiri dan lepas dari bayang-bayang orangtuaku.”       Mata Dave terbelalak mendengarkan cerita sahabatnya.      “APAAAA??? Apakah telingaku tidak salah dengar? The Mighty Rivaldi jadi seorang pramusaji???”      Rivaldi menceritakan pengalaman-pengalaman kerjanya di The Grand Dining pada Dave. Baik itu ketika mengurus customer yang cerewet, pengalamannya mencuci piring setiap malam, mengangkat berkarung-karung sayuran setiap pagi, rekan kerjanya yang konyol, Chef yang sangat tegas dan galak. Belum lagi tentang Mr Graham yang meskipun terlihat berwibawa namun kadang juga sedikit konyol.      Dave tertegun dengan semua pengalaman baru yang ia dengar dari Rivaldi. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa sahabat yang hebat ini mau belajar merendahkan diri menjadi waiter. Memang itu restoran milik ayahnya, tapi Rivaldi mengatakan bahwa ia tidak mendapat atau bahkan meminta fasilitas apapun di sana. Ia sungguh salut dengan Rivaldi.      Tiba-tiba telepon ruangan Dave berbunyi dan membuyarkan rasa kagum yang ia baru saja ingin utarakan pada Rivaldi.      “Halo… ini Dave, ada yang bisa saya bantu? Apa? Sekarang? Oke, saya ke ruangan Bapak sekarang.”      Dave menutup teleponnya dan dengan panik dia mencari beberapa map lalu menjepit map – map itu di bawah lengannya.      “Riva, aku pergi dulu ya. Ada rapat dosen. Mau bahas kurikulum. Nice to meet you, Bro! Sering-seringlah datang ke sini karena aku kesepian,” kata Dave sambil berlagak manja pada Rivaldi.      “Huh… Dasar jomblo alay!” sahut Rivaldi. Dave tertawa lalu pergi meninggalkan ruangan dan disusul Rivaldi.  ***       Celline masih merasakan nyeri di pipi bengkak dan sudut bibirnya yang terluka akibat tamparan ibunya kemarin. Hanya karena meninggalkan Brandon, si manusia cupu yang akan menjadi calon suaminya itu, ia dimaki bahkan dipukul habis-habisan lagi oleh ibunya. Celline merasa benar-benar sakit. Bukan karena hanya fisiknya yang terluka tapi hatinya juga. Ia merasa tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Dan ia tidak akan bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Ibunya yang dominan dan otoriter.     Pernah dia mencoba memberontak dan berusaha mengambil pilihannya sendiri, tapi yang ada ia malah mendapatkan perlakuan kasar dari Ibunya yang malah menjadi. Bagi Ibunya, pukulan itu adalah bentuk didikan orangtua pada anaknya. Dan, jika Celline memberontak maka itu dianggap pembangkangan dan perlu dididik lebih keras lagi untuk mau tunduk padanya.      Celline pun tidak bisa memberontak. Ia tidak ingin dianggap anak yang tidak berbakti pada orangtua. Tidak hanya itu, alasan utama mengapa Celline tidak bisa membantah adalah karena setiap kali ibunya selesai melakukan aksinya, ia selalu mengingatkan Celline bahwa semuanya ini untuk kebaikannya. Tapi, apa yang disebut kebaikan atau didikan harus selalu dimulai dengan menyakiti?       Kejadian kali ini entah mengapa membuat Celline merasa begitu terluka. Apakah memang dia adalah anak yang egois? Apakah memang seorang anak tidak boleh memilih jalannya sendiri? Memilih pasangannya sendiri? Dilema berkecamuk di hatinya. Di satu sisi ia ingin jadi anak yang berbakti, di sisi lain semua yang dilakukan Ibunya benar-benar meninggalkan luka baginya. Di sisi lain lagi, ia ingin memilih jalan hidup dan pasangannya sendiri, tapi di sisi lain ia sadar bahwa itu hanya akan berkonflik dengan Ibunya dan selalu Ibunya akan menang.             Hari sudah sore ketika Celline keluar dari kelas terakhirnya di kampus. Kepalanya masih pening dengan semua kejadian kemarin. Ia butuh melepaskan semua gumpalan di hatinya dan ia tahu ada satu tempat untuk melampiaskan semua emosinya. Balkon lantai teratas gedung kuliahnya.       Sambil menaiki satu per satu anak tangga untuk menuju balkon universitasnya, semua ingatan buruk Celline tentang setiap perlakuan buruk ibunya tiba-tiba muncul. Setiap kata-kata yang dilontarkan Ibunya benar-benar menyakiti hatinya. Makin dipikir hatinya makin pedih. Ia sakit.      “DASAR ANAK EGOIS!!! ANAK TIDAK TAHU DIUNTUNG!!! ANAK TIDAK TAHU DIRI! ANAK DURHAKA!” Kata-kata itu terngiang-ngiang di otaknya. Tak terasa air matanya meleleh. Dia berhenti sejenak di salah satu anak tangga. Dia terduduk dan terisak dengan keras di sana tanpa didengar oleh siapapun karena hari itu sudah sore dan semua mahasiswa sudah meninggalkan kampus karena jam kuliah telah berakhir.      “Apakah aku tidak boleh menjadi egois untuk hidupku sendiri? Tidak bisakah aku bahagia? Untuk apa aku hidup seperti ini? Sakit… begitu sakit… Aku hanyalah sampah yang tidak berharga, yang hanya layak dipukul ditendang atau ditampar. Untuk apa hidup jika semuanya ini terasa… menyakitkan? Untuk apa hidup…”      Celline menangis, pikirannya kacau. Tiba – tiba ia merasa mendapatkan bisikan gila di dalam hatinya yang muncul beberapa tahun yang lalu. Ia ingin mengakhiri hidupnya.      Ia bergegas menaiki anak tangga itu hingga bagian ujungnya. Ia berlari menuju tembok sandaran terdekat. Ia melihat ke bawah dan melihat universitas sudah sepi. Ia menutup matanya dan merasakan hembusan angin yang begitu kencang menerpa wajah dan badannya yang mungil. Ia terisak di sana. Mungkin hanya kematianlah yang akan membuat semua rasa sakit dan pahit dalam hidupnya ini menghilang.     Dengan cepat ia naik ke atas pagar pembatas yang setinggi pinggang itu. Ia merentangkan tangan dan menutup matanya. Hembusan angin yang kencang menerpa wajahnya. Jantungnya berdebar-debar. Ia menekuk lututnya sedikit dan bersiap untuk melompat. Tiba-tiba kehadiran seorang pria di sampingnya yang sedang merentangkan tangan di sebelahnya membuyarkan niat bunuh dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN