Pernahkah kau merasakan ingin melakukan sesuatu dengan begitu butuk tapi tidak bisa melakukannya. Juga tidak mampu membayangkan bagaimana pengaruhnya dalam hidupmu jika benar - benar tidak mampu melakukannya. Itulah yang aku rasakan saat ini. Ingin rasanya aku mencabut nyawa wanita tak punya hati seperti Mei. Wanita yang menjelma menjadi mimpi buruk ku dan keluarganya. Wanita yang begitu piawai menyembunyikan keburukannya dalam wajah elok tanpa cela.
Setelah aku menghabiskan waktu remaja di Surabaya bersama bibi Sarah, tujuan hidupku mulai nampak jelas. Hatiku tak kuasa menepis riak dendam yang menjadi ombak.
Lalu aku sadari jika dengan berkutat pada bidang pendidikan dan berprestasi adalah langkah awal menuju tujuan besar yang harus aku capai. Memasang wajah dengan tersenyum manis, mengikuti kegiatan sosial serta memupuk imej bak malaikat aku lakukan hanya untuk mempermudah sesuatu yang menjadi tujuan hidupku---meski tujuan hidupku sangat tidak mudah. Tujuan utama ku adalah melihat Mei hancur seperti yang ia lakukan pada ibu.
Sebuah tujuan mengerikan yang berasal dari kegelapan dendam dan terus menggerogotiku hingga aku kesulitan menjaga otakku tetap waras. Lalu memaksaku bersandiwara menjadi malaikat dan mendapatkan julukan sweetheart bersama sosialita lainnya.
Beberapa tahun sudah berlalu sejak kematian ibuku. Dari yang aku dengar dari para pelayan, ayahku sudah sepenuhnya jatuh pada kekuatan pesona Mei. Wanita licik yang entah apa latar belakangnya.
Sayangnya ini bukan novel fiksi di mana aku bisa dengan mudah mencari info tentang wanita itu. Aku tak berdaya meski bibi dan ayahku adalah orang kaya. Saat ini aku hanya bisa menjalankan usaha keluarga ibuku di Bogor. Dan mendapatkan Fakta yang lebih mengejutkan mengenai jati diri seorang Mei yang ternyata wanita penghibur.
Sungguh menyedihkan, ayahku jatuh pada wanita penghibur.
Aku menebak jika Mei menginginkan perusahaan ekspedisi ayahku dan harta kekayaan keluarga Broto. Dan kecantikan Mei adalah salah satu senjata yang ia keluarkan untuk menguasai perusahaan HA express.
Informasi ini aku ketahui dari mang Asep dan pelayan yang bekerja si sana. Namun ternyata aku terlambat dalam bertindak. Keenggananku melihat ayah yang tunduk pada wanita j*****m membawaku ke dalam penyesalan dan sebuah rasa sakit baru untuk di tanggung.
Di rumah sakit, aku mengalihkan tatapanku pada taman mawar yang berdiri dalam vas bunga. Bunga yang sama yang tumbuh di taman kediaman ibuku. Itu mengingatkanku pada ayah yang selalu menyukai keindahan mawar sehingga ibuku gemar merawatnya. Mungkin saja saat itu ia mengibaratkan Mei seperti mawar, cantik dan glamour.
"Darah tuan Karim kehilangan kemampuan membekukan diri. Seharusnya ia tidak boleh meminum obat anti pembekuan darah ini terus menerus," petuah dokter. Dia membawa obat yang seharusnya tidak boleh ia minum.
Jingga menggigit bibirnya. Tidak mungkin dokter keluarga memberikan obat ini pada ayahnya.
'Astaga, apa ayah tidak tahu hal ini sama sekali atau menutup mata karena tergila-gila pada jalang itu?' Batinku tak sabar.
"Sebenarnya selama beberapa tahun, baru sekarang kami bertemu dokter. Saya bahkan tidak tahu ayah minum obat itu."
"Baiklah. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menstabilkan kondisi tuan Kasim."
Tap.
Tap.
Suara sepatu pantofel dokter menghantam lantai kala meninggalkan bangsal ayah. Menjadi satu - satunya pengiring dalam harmonika ketegangan dan kecemasanku atas kondisi ayah.
Semua suara yang lebih nyaring lagi adalah bunyi bip dari mesin monitor yang kabel - kabelnya menjulur dan terhubung ke tubuh ayahku. Mang asep menepuk bahuku kala aku menghabiskan waktu untuk berpikir sebelum memutuskan sesuatu.
"Jing... ga."
Ayah... " panggilku pelan. Pandanganku jatuh pada pria yang terbaring lemah di ranjang.
Melihat aku ada di sisi nya, ayah menarik senyum simpul penuh rasa syukur. Tapi perasaanku sudah mati rasa pada pria yang menyebabkan ibuku meninggal dalam penderitaan. Hanya rasa kasihan yang bisa aku tunjukkan padanya.
"Aku senang kau bersedia menemuiku, Nak. Aku mengira kau membenciku karena menyebabkan ibumu meninggal."
Itu dulu, melihatmu seperti ini menyadarkanku jika aku tidak suka melihatmu menderita.
"Mengapa kesehatan Ayah menjadi seperti ini? Bukankah bibi Mei merawatmu dengan baik? "
Aku ingin tertawa dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Merawat ayah dengan baik? Yang benar saja, saat ini aku mendengar dari mang Asep jika Mei sedang menuju hotel untuk menemui kekasihnya.
"Usiaku sudah tua. Masalah kesehatan menjadi teman yang tidak ingin melepaskanku."
"Jika demikian, ayah harus minum obat. Kudengar Ayah berubah menjadi anak nakal yang rewel minum obat. "
Aku bangkit dari kursi menuju meja yang terletak di sisi ranjang. Lalu menunjukkan obat yang tidak seharusnya ada.
"Ayah, kau tidak memiliki gangguan jantung mengapa kau meminum obat ini? " tanyaku. "Dokter bilang sangat berbahaya meminun obat ini bagi pria berusia seperti ayah."
Aku menunjukkan obat bersimbol A di tanganku. "Jika orang normal meminum ini dia akan mengalami muntah darah dan mencegah luka membeku, Ayah."
Mata ayahku membola. Kurasa dia sedang mencerna peristiwa yang terjadi. Yah, dia pasti sudah menebak siapa yang melakukan ini. Dia menoleh ke mang Asep.
"Panggil pengacara sekarang mang Asep, cepatlah... "
Aku mengangguk.
"Ayah, tadi paman Rio mengatakan jika Pak Denny sedang keluar bersama bibi Mei, emm ke hotel. "
Aku berbohong, dia adalah orang yang berhasil dirayu Mei. Keduanya terlibat dalam hubungan perselingkuhan di belakang ayahku. Meski sekarang mereka tidak bertemu tapi aku mengisyaratkan pada ayah jika keduanya memiliki hubungan. Pak Denny sangat bodoh meniduri wanita kliennya. Jadi tidak mungkin aku memanggil pria pengkhianat itu ke sini, di saat ayahku kritis.
"Aku tidak punya banyak waktu, Nak. Temukan pengacara yang kau percaya. "
Aku sudah mengantisipasi ini. Inilah yang menjadi alasan aku menelpon pengacara kenalan bibi Sarah. Aku ingin berkonsuktasi untuk melaporkan bibi Mei pada polisi.
"Ya, Ayah. " Aku menelpon tuan Tobirama agar dia datang ke rumah secepatnya. Berkat Yahiko dia tiba tepat pada waktunya.
"Kebetulan pengacara kenalanku berada di sebelah ruangan bersama paman Asep. Dia segera datang. "
Aku duduk di sebelah ayah menggenggam tangannya yang semakin mendingin. Mulailah air mataku terbit. Tanpa henti menetes meski aku mati matian menahannya. Hatiku merasakan kepedihan tak terperi
"Ayah, apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa kau jadi seperti ini hiks. Kenapa ayah? Seharusnya kau bahagia dan tambah sehat bersama dengan wanita yang kau cintai. " Kini aku mulai melepaskan semua rasa amarah yang pernah membengkak di dadaku. Aku pun mulai berpikir seandainya Ayahku baik-baik saja maka aku tidak keberatan Ayah hidup bersama dengan Mei. Asalkan dia bahagia dan sehat. Penyesalan menjerat hatiku kala melewatkan waktu hanya untuk kemarahan dan sakit hati. Betapa rapuh usia manusia dan seharusnya aku tak menyia - nyiakannya.
Ayahku mulai meneteskan air mata. Ada rasa sedih di mata tuanya. "Nak, jangan percaya siapa pun. Kau harus kuat dan jangan menandatangani surat apa pun tanpa konsultasi dari pengacara yang terpercaya. Uhuk. Uhuk."
Ayahku batuk beberapa kali sebelum darah keluar dari bibirnya. "Bertahanlah dan jangan menjalin hubungan dengan pria b******n sepertiku. "
Aku menjadi panik dan memanggil perawat. Perawat segera memanggil dokter untuk menstabilkan kondisi ayah.
Lalu aku kembali mendekat pada ayah.
"Ayah... Mengapa kau berkata demikian? Jangan katakan apa pun. Dokter segera datang."
Ketakutan melandaku sedikit demi sedikit. Aku berharap jiwaku mampu bertahan dalam deraan ketakutan ini.
Tok.
Tok.
Tuan Tony muncul dengan wajah profesional.
Ayahku bersaksi dengan cepat seolah tidak ingin membuang waktu.
"Aku ingin merubah wasiatku. Segera siapkan surat kuasa, rekaman dan berkas lainnya. "
Paman Asep dan dua asisten tuan Tonny menjadi saksi. Ayahku berjuang menyelesaikan wasiatnya sambil terengah -engah.
Pemandangan itu mengalirkan air mataku tanpa henti. Hatiku berdenyut sakit melihatnya seperti ini. Efek obat yang kutemukan tadi sudah terlihat. Mengapa aku tidak berpikir jika Mei memberi obat berbahaya pada ayahku sebelumnya. Aku sungguh bodoh mengira ayah kritis karena usia tuanya.
"Tanda tangan di sini, Tuan Kasim. "
Ayahku mendatangani surat wasiat itu dengan senyum. Bibirnya merah dengan darah. Lalu memanggil ku mendekat.
"Nak, ingatlah. Ka-kau harus bahagia. Ma-maafkan Ayahmu ini. " Dia menangis. "Meski tahu Mei bukan wanita baik tapi aku terlanjur mencintainya. Di-dia membuatku hidup. Ta-tapi aku tidak a-kan membuatmu menderitaaa... "
Uhuk.
Uhuk.
Dokter datang dengan cepat dan melakukan CPR. Sebelum bunyi bip panjang mereka berjuang mengembalikan denyut nadinya. Alat pengejut jantung pun mereka gunakan dan aku menutup mata karena tak tega melihatnya.
"Ayah... hiks... ayah... "
"Ayah! "
Mang Asep berjuang menahanku agar tetap tenang. Yang tak lama kemudian bunyi bip panjang terdengar.
Ayahku meninggal dengan tersenyum. Dia meninggal dengan begitu tampan setelah memperbaiki kesalahan yang ia lakukan. Tapi tidak menyesali cintanya yang menyebabkan ibu menderita.
"Ayah! "
Duniaku kembali gelap. Luka menganga di hatiku bertambah besar. Kehilangan ayah ternyata seberat ini. Aku tidak mengharapkan ayah meninggalkanku dengan cara dibunuh pelan- pelan seperti ini meski ia sudah menyakiti ibuku.
"Yang sabar ya Non...?"
Mang Asep juga menangis meski dia mencoba menghiburku. Sedangkan para perawat dan dokter yang melihatku menundukkan kepala. Mereka tahu jika terjadi sebuah rencana pembunuhan yang dilakukan secara perlahan - lahan.
"Tuan Karim telah menjadi korban pembunuhan Nona. Aku akan siap menjadi saksi kapanpun kau inginkan. "
Aku tidak bisa berkata karena sesegukan. Semua ini sangat berat bagiku. Butuh waktu bagiku untuk menenangkan diri sedangkan mang Asep menghubungi bibi Sarah untuk memberi tahu jika ayah sudah tiada.
Pak Tony menarikku, lalu memaksaku untuk menatapnya.
"Tidak ada waktu untuk menangis, Jingga. Asal kau tahu, bukti yang kita butuhkan untuk menjebloskan ibu tirimu ke penjara belum cukup. Dia akan dengan mudah mengelak dan menyalahkan dokter keluarga mu."
Ucapana Pak Tonny menyadarkanku. Aku jelas tidak ingin wanita itu mendapatkan kekayaan ayah dan lolos begitu saja.
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi Pak. "
"Jika demikian maka lakukan sesuatu agar kau mendapatkan bukti jika ibu tirimu yang merencankan semua ini. Jadi pikirkan baik - baik sebelum semuanya terlambat."
Aku mengerti apa yang dikatakan oleh pak Tonny.
"Baiklah. "
Sudah tak ada ampun bagi Mei, tapi bukti belum cukup. Oleh karena itu mau tak mau aku harus tinggal bersama ibu tiriku itu. Dengan demikian aku memiliki kesempatan untuk mendapatkan bukti jika dia merencanakan dan berhasil membunuh ayahku.
Kami pun meninggalkan rumah sakit dengan ambulan menuju keluarga Broto. Kemudian persiapan pemakaman ayah diadakan seperti yang biasa dilakukan.
Tbc.