Four

1804 Kata
Sekitar pukul setengah delapan pagi Briana memacu sekuter maticnya menuju Saras Florist untuk membuka toko bunga itu. Sesampainya di depan toko dia melihat seseorang sedang menyesap kopi dalam kemasan gelas kertas tak jauh dari toko. "Aaron?" Briana menyebut nama laki-laki itu dalam hati. Namun dia sendirian. Tanpa Cris. Tumben, pikir Briana. "Dari jam berapa lo di situ?" Briana mengambil tempat tepat di samping Aaron. Dia lantas menyerahkan sebuah cup berisi minuman yang masih panas. Dari aromanya Briana yakin capucino latte kesukaannya. "Thanks," jawab Briana ringan dibalas dengan senyum lembut dari Aaron. Sebuah lesung pipit kecil di bawah ujung bibir laki-laki berkulit putih bersih itu, menambah kadar ketampanan seorang Aaron yang sering terlewatkan oleh Briana. Aaron ini sebenarnya tampan. Briana sangat tahu banyak perempuan yang tergila-gila pada sahabatnya itu. Senyum yang menyenangkan, sosok yang ramah, gemar menolong dan setia kawan tentunya. Namun Aaron tetaplah Aaron. Bagi Briana, dia sebelas dua belas dengan Crisann. Bedanya Aaron punya pekerjaan lain selain menjadi sampah masyarakat. Beda dengan Crisann yang kelakuannya minus semua di mata Briana. Profesi sebagai disk jockey saja hanya dikerjakan semau dia saja. Aaron kadang juga membantu Briana mengantar pesanan rangkaian bunga ke beberapa instansi pemerintah ataupun perusahaan besar. Aaron juga yang membantu untuk mempromosikan Saras Florist ke khalayak. Keahliannya dalam bergaul dan pandai menempatkan diri membuat dia mempunyai banyak teman dan koneksi. Beda sekali dengan Crisann yang dingin dan tempramental. "Cris mana?" tanya Briana lagi karena Aaron tak juga menjawab satupun pertanyaannya. "Bisa nggak sih nggak nanyain Cris sekali aja?" Aaron menatap datar kepada Briana Dia aneh pagi ini... Briana mengernyit mendapati tatapan tak biasa dari seorang Aaron. Saay Briana hendak beranjak dari duduknya, Aaron menahan lutut Briana supaya tetap duduk. "Gue mau buka toko." "Sepuluh menit aja. Lo masih punya waktu dua belas jam untuk bergelut dengan florist itu." Mendesah pelan, Briana menuruti saja kemauan Aaron. "Cris mimpi Bianca. Akhir-akhir ini lebih sering." "Mungkin Bee kangen, ingin dikunjungi oleh Cris," jawab Brian dingin. Aaron menoleh pada Briana. "Mau sampai kapan lo benci sama Cris? Asal lo tau, bukan Cris yang membunuh Bianca. Semua karena kecelakaan Bri, takdir Tuhan. Kita nggak bisa berbuat apa-apa untuk menghalangi terjadinya takdir itu." "Bukan Cris yang membunuh, tapi karena Cris lah Bianca meninggal. Sampai kapan pun gue benci sama Cris dan sejak abu Bianca dilempar di sungai Mahakam, gue bersumpah akan membunuh Cris dengan tangan gue sendiri." "Briana!? Stop it!" Aaron membentak Briana yang mulai kelewatan. Menarik napas dalam, Aaron berbicara lagi. "Lo lupa selama ini siapa yang ngelindungin lo di sini? Siapa yang banyak berkorban untuk lo? Apa empat belas tahun pengorbanan Cris buat elo masih belum cukup untuk membalas kebodohan yang Cris lakukan di masa lalu?" Briana berdecak, mencemooh karena Aaron selalu membela sahabat sejatinya itu. "Lo nggak tau rasanya kehilangan orang yang lo sayangin, Ron. Saudara kandung lo, satu-satunya keluarga kandung yang lo miliki. Kalo lo lupa, di antara kita bertiga, cuma elo yang jelas asal usulnya. Gue dan Bianca? Crisann? Kami nggak pernah tau siapa keluarga kami. Gue, Bianca dan Crisann bahkan nggak punya nama keluarga seperti elo, Ron." Briana membentak dengan cairan bening mengalir deras melalui kelopak mata. Aaron meraih tubuh Briana untuk dipeluknya. Tangis Briana semakin menjadi dalam dekapan Aaron. Untung pertokoan tempat toko bunga berada masih sepi, karena toko-toko baru buka sekitar pukul sembilan. Tepukan Aaron di bahu Briana memberi sedikit ketenangan di hati gadis itu. "Sorry, Bri. Gue nggak maksud bikin lo sedih. Gue cuma pengin bikin lo sadar, ada orang yang sayang sama elo. Ada orang yang rela mengorbankan dirinya untuk ngelindungin lo. Bianca sudah damai di surga. Mestinya hati lo juga harus merasakan damai Tuhan, Bri. Percuma lo rajin ikut Misa, kalo hati lo masih diliputi rasa dendam." Benar juga yang dikatakan Aaron. Entahlah, apa Briana bisa mengusir rasa benci dan dendam yang hampir mendarah daging dalam dirinya itu. Anehnya, waktu empat belas tahun dengan banyak kesempatan untuk membunuh Crisann tak pernah Briana ambil. Dia justru merawat dan senantiasa memikirkan keadaan laki-laki yang katanya ia benci itu. Sekarang, Briana mulai sadar bahwa benci dan cinta itu memang hanya dipisahkan oleh selembar kain tipis tipis dan tembus pandang. Benci bisa menerobos masuk ke ruang cinta, begitupun sebaliknya, cinta bisa menerobos masuk ke ruang benci. Aaron beranjak lalu mengangkat tubuhnya. "Gue bantu buka florist lo," ujarnya penuh semangat. Mengusap pipi bekas air matanya, Briana tertawa kecil lalu berjalan terlebih dahulu di depan Aaron. "Bunga untuk tuan putri Briana," canda Aaron menyerahkan sebuket bunga mawar putih pesanan pelanggan yang akan diambil jam makan siang nanti. "Ish, jangan dimaenin dong, itu punya pelanggan loh. Mahal itu, Ron." Aaron meletakkan kembali buket bunga cantik itu ke tempatnya semula. "Berapa sih harganya?" Gerutunya. "Gue mau satu dong kayak gitu," ujarnya sembari menarik uang seratus ribuan tiga lembar dari dompetnya lalu menyerahkan kepada Briana. "Lagi mau nipu cewek mana lo?" "Sialan lo! Enak aja ngatain gue mau nipu cewek." "Lo sama Cris kan kayak kembar identik." "Iya, serupa tapi kami tak sama." "Intinya tetap sama tapi kan?" Briana menjawab sarkas pernyataan Aaron. Kelihatan sekali Aaron tidak terima dengan kesarkasan Briana. "Lo emang sering ngelihat gue jadi orang jahat sama Cris. Tapi emang lo pernah ngelihat gue maenin cewek? Bawa cewek ke depan lo? Ato mergokin gue lagi jalan sama cewek absurd kayak Cris yang gonta ganti perempuan hampir sama seringnya kayak dia gonta ganti sempaknya? Ato minimal ngelihat gue nyiulin cewek deh, pernah nggak?" Aaron sudah berdiri tepat di hadapan Briana. Menyudutkan gadis itu ke tembok dengan jarak pemisah hanya sekitar tiga puluh sentimeter saja diantara mereka. Semua yang dikatakan Aaron tentang cewek tadi memang benar. Aaron memang b***t seperti Crisann. Dia berjudi, minum, berkelahi, menipu, tapi dia sama sekali tidak pernah mempermainkan gadis manapun sepanjang hidupnya. "Dasarnya jahat ya tetap saja jahat. Tidak ada alasan dan cara untuk menjadi baik." Lagi Briana menjawab dengan nada sarkas. "s**t!" Aaron mengumpat kesal. "Ish, lo ngumpat gue, Ron?" "Bukan. Cris ganggu banget sih. Nggak tau apa kalo orang lagi usaha juga," kesal Aaron seraya meraba kantong celana jeansnya. Aaron yakin Crisann yang menghubunginya. Briana menahan tawa melihat ekspresi kesal di wajah Aaron. Membuat wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan. Briana menjadikan ini kesempatan untuk menjauh dari hadapan Aaron. "Lo suka bunga apa, Bri?" tanya Aaron sambil berjalan menuju pintu keluar toko. "Kenapa?" "Jawab aja." "Lili putih." "Gue minta bikinin buket lili putih aja ya." "Heh?" Aaron keluar dari toko, lalu mengobrol dengan Cris di depan toko melalui sambungan telepon. Dari dalam memang tidak terdengar begitu jelas apa yang mereka obrolkan, tapi karena Aaron berbicara di depan toko persis, Briana bisa melihat mimik wajah tegang di wajah Aaron dari balik kaca bening tokonya. "Cris butuh bantuan lo!" ujar Aaron tiba-tiba setelah masuk kembali. "Ayo, Bri," Aaron mengode Briana supaya bergegas. Briana menitipkan florist pada dua karyawan toko, lalu mengikuti langkah tergesa Aaron. "Kotak obat lo di mana?" "Di kosan." Aaron melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Mencari jalan alternatif tercepat untuk sampai ke kosan Briana. "Cepet ambil kotak obat sama ramuan lo." "Apa sesuatu yang buruk terjadi pada Cris?" Briana berusaha mencari tahu sebelum menuruti perintah Aaron. "Cepat, Bri! Nanti lo bisa tau sendiri Cris kenapa." Sesampainya di depan unit apartemen Cris, mereka berdua bisa masuk begitu saja. Sepertinya pintu sengaja tidak ditutup rapat oleh Crisann. "Astaga, Cris!" Briana menutup mulut melihat kondisi Cris yang mengenaskan. Kulit putihnya nampak membiru. Sepertinya dia keracunan. Hal itu yang terlintas di pikiran Briana. Briana membantu Aaron mengangkat tubuh Cris ke ranjang. Aaron memakaikan kaus dan celana panjang pada Cris. Dengan dasar ilmu pengobatan yang diturunkan oleh Ayah angkat Briana yang seorang tabib dan pemilik toka obat Cina, gadis itu mulai mengobati Crisann. "Kamu keracunan Cris. Apa yang kamu makan sampai seperti ini?" Crisann membuka paksa kedua matanya untuk melihat Briana. "Bri? Itu kamu? Tolong aku, Briana." Seharusnya kondisi ini jadikan kesempatan oleh Briana untuk membunuh Crisann. Dia dalam kondisi lemah dan tak berdaya. Namun yang terjadi, Brian justru mengobatinya dengan baik. Mengeluarkan racun dari tubuhnya, sekaligus memberinya obat agar racun yang sudah masuk ke aliran darahnya tidak bekerja lagi. Briana benci dirinya sendiri yang selalu lemah pada Crisann. Dia benci Crisann. Karena saat ini air matanya sudah tidak terbendung lagi mengkhawatirkan kondisi Crisann. Membawa baskom air hangat bekas membasuh tubuh Crisann, Briana menuju dapur menyiapkan makanan untuk Crisann. Di keranjang sampah dia menemukan sebuah botol kecil warna putih bening yang mencurigakan. Tulisan yang tertera di botol sangat kecil dan menggunakan tulisan kanji. Harus menggunakan kaca pembesar untuk membaca tulisan itu. Beruntung ukurannya kecil, jadi Briana bisa menyembunyikan botol tersebut di balik saku celana jeansnya. "Lo cari tau di mana Juanita sekarang. Cari dia sampe ketemu. Kalo perlu seret wanita jalang itu ke depan gue." Dari celah pintu kamar Briana bisa melihat dan mendengar Crisann sedang memerintahkan Aaron untuk mencari keberadaan wanita yang akhir-akhir ini menjadi teman tidur Crisann. Kilatan penuh emosi terpancar dari manik mata warna kecokelatan milik Crisann. Tatapannya begitu tajam dan menusuk menatap ke sebuah arah. Rahangnya berkedut, tanda laki-laki itu tengah menahan emosi yang sangat besar. Aaron yang langsung mengerti maksud Crisann. Secepat kilat ia melesat dari kamar. Brian bergegas kembali ke dapur supaya mereka tidak tahu dia menguping pembicaraan sejak tadi. "Apa wanita itu yang membuatmu tak berdaya seperti ini?" tanya Briana masuk kamar sambil membawa nampan berisi bubur dan sup untuk Crisann. Crisann tersenyum tipis menyambut Briana. "Kamu masak apa? Harum banget," ujar Crisann lembut mengalihkan pertanyaan Briana. "Bubur sama sup jamur. Makan sendiri atau disuap?" "Boleh deh disuap," pintanya dengan suara lemah. Wajah penuh amarahnya yang tadi menguap entah ke mana. "Seharusnya tadi aku membiarkanmu saja saat meregang nyawa. Ngapain mesti repot-repot ngasih penawar racun buat kamu, ck." Briana menggerutu disela aktivitasnya menyuapi Crisann. Laki-laki itu tertawa kecil kemudian berkata, "kenapa nggak kamu lakuin? Bukankah itu kesempatan emas untuk membunuhku?" Crisann tahu kalau Briana memang dendam dan ingin membunuhnya. Aneh bukan hubungan yang tercipta diantara mereka? Briana tersenyum sinis membalas pertanyaan Crisann. "Nggak puas. Karena bukan aku yang bunuh kamu. Bukan balas dendam kalau aku hanya melihatmu sekarat lalu mati mengenaskan." "Cukup, Bri." Crisann menolak suapan keempat buburnya. Menahan sendok yang disodorkan Briana ke mulutnya. "Sekali lagi," perintah Briana lalu Crisann membuka mulutnya dan menerima suapan terakhir. "Kamu terlalu manis untuk menjadi seorang pembunuh, Bri. Biarkan aku dibunuh dengan tangan orang lain, lalu mati di pangkuanmu." Crisann menatap datar pada Briana. Tatapan kosong lebih tepatnya. Sejak kematian kekasihnya, saudara kembar Briana, sekitar empat belas tahun yang lalu, tatapan seperti itu yang selalu ada di sorot mata Crisann. Binar mata kebahagiannya sudah tidak pernah lagi terlihat. Briana juga sangat kehilangan Bianca tentunya. Rasa sakit yang Crisann rasakan sama besarnya dengan Briana. Namun bedanya, Crisann hanya patah hati karena kehilangan cinta pertamanya, perempuan yang mengenalkannya pada cinta, kehangatan, makna sebuah keluarga, dan ketulusa . Sedangkan Briana, dia harus merasakan sakitnya kehilangan orang yang ia sayangi, dan rasa sakit karena tidak pernah dianggap ada oleh orang yang dia cintai. *** ^makvee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN