Prolog + Bab 1 (Wisuda)

1414 Kata
Prolog Ketika Meisya membuka pintu rumahnya, dia mendapati seorang perempuan yang tengah menggendong seorang bayi. Kening Meisya berkerut. Meisya rasanya pernah melihat perempuan itu, tapi lupa entah di mana. "Apa ini rumahnya Mario?" tanya perempuan itu kepada Meisya. "Iya. Mbak siapa?" Perempuan itu mengulurkan tangannya. "Kenalin, gue Sonya, mantan pacarnya Mario. Umm, sepertinya kita pernah bertemu?" Meisya langsung ingat ketika perempuan itu menyebutkan namanya. Tak butuh lama baginya untuk mengingat nama itu kembali. Bagaimana tidak? Nama perempuan itu beberapa kali disebut oleh Mario dulu. "Siapa yang dateng, Yang?" Mario menyusul Meisya ke depan pintu karena istrinya itu tak kunjung kembali ke ruang keluarga. Seketika, matanya membola melihat perempuan yang tengah berdiri di hadapan mereka. "Ngapain lo ke sini?" tanyanya ketus. Sudah lama dia memutuskan komunikasi dengan perempuan yang bernama Sonya itu. "Ini, mau anterin bayi ketemu papanya." "Maksud lo apa?" tanya Mario dengan mata menyipit. "Bayi ini anak kita, Yo. Lo nggak lupa sama apa yang sering kita lakuin, bukan?" Meisya dan Mario sama-sama terkejut mendengarnya. Apalagi Meisya, pikirannya sudah negatif terhadap Mario. Apa suaminya itu masih belum berubah? "Sya, aku bisa jelasin," ucap Mario sembari memegang lengan Meisya. Ekspresi wajah istrinya itu sulit untuk diartikan. Mario takut, khawatir Meisya akan terpengaruh dengan ucapan Sonya. Tidak, Mario tidak mau Meisya sampai meninggalkannya gara-gara kehadiran Sonya dan bayi itu. *** Hari ini, Mario berhasil meraih gelar sarjananya. Walau tidak cumlaude, namun dia cukup bangga bisa lulus tepat waktu. Mario yang suka bermain perempuan, tak lantas mengabaikan kuliahnya begitu saja. Dia memang memiliki otak yang cerdas. Mario tersenyum pada seorang perempuan yang duduk bersama kedua orang tuanya. Orang itu tak lain adalah Meisya. Perempuan yang sedang mengandung buah hatinya. Awalnya, tadi Meisya enggan untuk datang ke perayaan wisuda lelaki yang sudah berstatus sebagi suaminya itu. Mengingat Meisya yang telah dikeluarkan dari kampus dan namanya yang sudah dicap jelek di sana. Namun, Mario memaksanya untuk tetap datang. Mario tak peduli apa kata orang jika dia bersama dengan Meisya sekarang. Beberapa orang tampak berbisik-bisik, bahkan ada yang terang-terangan mencemooh ketika Mario menghampiri Meisya dan kedua orang tuanya. Mata mereka melebar ketika mendapati Mario mencium perut Meisya yang tampak membuncit. Karena perayaan wisuda dilaksanakan di auditorium yang masih berada di ruang lingkup kampus, jadi masih banyak mahasiswa yang tidak berkepentingan angkatan Meisya yang datang ke acara itu. Mario tidak peduli dengan omongan mereka semua. Beda dengan Meisya yang sudah mengeluarkan air mata. Sesil dan Abas menatap mantunya tersebut dengan iba. Namun, mereka yakin jika Mario mampu menenangkan hati istrinya tersebut. Mario sudah banyak berubah sekarang. Sesil senang melihat perubahan besar dalam diri anaknya itu. Semoga saja untuk ke depannya Mario tidak mengecewakannya lagi. Semoga... "Nggak usah didengerin, anggap aja angin lewat," ucap Mario menyeka air mata Meisya sembari berjongkok di depannya. Agak susah memang dia melakukan itu karena masih menggunakan kruk. Kaki Mario belum sembuh total. "Jangan sedih, nanti anak kita di dalam sana ikutan sedih juga kalau ibunya nangis." Meisya terisak pelan. Seharusnya dia tidak datang tadi ke acara wisuda suaminya itu meski pun dipaksa. Sudah berkali-kali Mario ingin memberitahu semua orang di kampus tentang kebenaran akan kehamilan Meisya untuk membersihkan nama perempuan itu, namun Meisya melarangnya. Sampai Mario benar-benar lulus, dia tak ingin nama suaminya itu menjadi jelek di kampus. Mario hanya bisa pasrah mengikuti kata istrinya. Dan hari ini, semua orang tengah membicarakan mereka. Meisya yang datang mendampingi Mario ke acara wisuda dengan perut membuncit. Mario sudah menemukan orang yang menyebabkan Meisya keluar dari kampus, orang itu tak lain adalah Sonya. Dia bekerja sama dengan seseorang yang berkuliah di kampus yang sama dengan Mario. Mario marah besar begitu mengetahui, tapi dia tidak memberitahunya kepada Meisya. Mario tidak mau Meisya memikirkan hal yang berat-berat, tidak ingin perempuan itu sedih ketika mengingat kuliahnya yang harus terhenti. Mario sempat mendatangi apartemen Sonya ditemani oleh sopir keluarganya, ternyata dia tidak menemukan keberadaan perempuan itu. Apartemen Sonya kosong, di depan pintunya dituliskan jika apartemen itu telah dijual. Mario menghubungi nomor ponsel perempuan itu, tapi sudah tidak aktif lagi. Mario menatap Meisya nanar. Istrinya itu pasti sedih sekali. Sebenarnya, pihak kampus tak masalah jika Meisya hamil saat sedang kuliah. Tetapi, karena Meisya salah satu mahasiswa yang berprestasi, namanya dianggap mencoreng nama baik kampus. Dan pihak kampus yang awalnya hanya ingin mencabut beasiswa Meisya saja, didesak oleh para mahasiswa hingga akhirnya mengeluarkan Meisya dengan berat hati. Waktu itu, bukan hanya foto Meisya tengah memeriksa kandungan saja yang beredar, namun juga video dan foto syur perempuan itu, serta sebuah foto yang menunjukkan Meisya membopong seorang lelaki keluar dari sebuah club malam. Lelaki itu tak lain adalah Mario. Hanya saja di dalam foto tersebut, wajah sang lelaki tidak terlihat jelas karena menunduk--diduga sudah mabuk berat. "Meisya istri gue dan anak yang dia kandung sekarang adalah darah daging gue. Itu 'kan informasi yang pengen kalian tahu?" Mario menatap tajam sekelompok mahasiswa yang dia yakini adalah adik tingkatnya. "Nggak usah ngomong yang aneh-aneh lagi tentang Meisya. Dia sama sekali nggak seperti yang kalian tuduhkan selama ini." Beberapa orang di sana langsung pergi, namun ada juga yang mencibir Mario dan Meisya. "Oh, waktu itu Pelangi selingkuhin sama sahabatnya sendiri? Dasar, makan punya teman!" "Tampangnya aja yang polos, tapi... ternyata licik!" Tangan Mario mengepal mendengar masih ada saja mahasiswa yang belum beranjak dari sana. "Ayo, kita pulang sekarang! Kamu bisa stres kalau kelamaan di sini." Sebelah tangan Mario meraih lengan Meisya. Walau memakai kruk, dia tetap ingin menggandeng istrinya tersebut. "Meisya mengangguk lemah. "Foto-fotonya nanti aja di studio, Ma, Pa," ujar Mario kepada kedua orang tuanya. Baginya tak apa momen wisudanya tak berfoto dengan keluarganya di depan auditorium kampus. Karena saat ini bagi Mario, dia harus segera membawa Meisya pergi dari sini. Menghindar dari tatapan cemooh orang-orang yang bisa membuat Meisya menjadi down. Meisya dan Mario berjalan ke arah parkir menyusul kedua orang tua Mario yang sudah berjalan lebih dahulu di depan. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan pasangan paling fenomenal di kampus mereka saat ini, yaitu Jerry dan Pelangi. Kedua orang itu telah resmi bertunangan tak lama setelah mereka berdua melangsungkan pernikahan. Mereka saling memberi selamat satu sama lain, karena Jerry juga baru saja resmi menyandang gelas masternya dengan predikat cumlaude. Mario tidak iri kepada Jerry. Baginya, bisa lulus tepat waktu saja sudah cukup. "Calon keponakan gue, apa kabar, Sya?" tanya Pelangi sumringah. "Baik," jawab Meisya sembari membalas dengan tersenyum ramah. Tak terasa, kandungannya sudah mendekati HPL. Kemarin dia baru saja USG danbersykur jika perkembangan janinnya dalam keadaan baik-baik saja. "Kapan prediksi kelahirannya?" "Kira-kira 3 minggu lagi. Do'ain, ya, Ngi." "Pastinya. Mudah-mudahan lo lahiran pas waktu weekend. Jadi, gue bisa nemenin di rumah sakit." "Nggak perlu. Ada aku, suaminya yang selalu setia mendapampingi dia sampe kelahiran anak kami nanti," sela Mario tiba-tiba. Padahal dia sedang berbicara dengan Jerry, namun mendengar perkataan Pelangi, dia tidak terima. Dia lah yang berhak mendampingi Meisya lahiran, bukan Pelangi atau yang lainnya. Pelangi mencibir. "Posesif banget sekarang." Meisya hanya tersenyum tipis. "Semua bisa nemenin aku lahiran, kok. Mama, papa, ayah, ibu dan Pelangi juga." "Tapi yang boleh nemenin kamu pas lahiran di dalam ruangan, cuma satu orang doang, Sya. Dan itu, harus aku." Mario masih mempermasalahkan perihal lahiran anaknya membuat Meisya mendengus. "Ya. Cuma kamu," jawab Meisya memutar bola matanya malas. "Emang cuma aku!" Pelangi menyenggol lengan Jerry. Mereka berdua tak kuasa menahan tawanya melihat sikap Mario yang dinilai kekanakan. *** Jika kebanyakan orang menilai hubungan Meisya dan Mario harmonis, percaya lah itu hanya tampak di depan saja. Hubungan mereka terlihat manis hanya di hadapan kedua orang tua mereka. Ketika sedang berdua saja, Meisya lebih banyak diam. Bicara seperlunya saja. Saat berhubungan suami istri pun, Meisya langsung pergi begitu saja ke kamar mandi setelah melayani suaminya itu. Meisya sampai saat ini masih bersikap dingin kepada Mario walau sudah beberapa bulan menikah dan akan melahirkan juga dalam waktu dekat. Namun, Mario tetap tak pantang menyerah untuk membangun rumah tangga yang baik dengan Meisya. Sering diabaikan berkali-kali oleh sang istri, Mario tak marah. Dia sadar diri, dia pernah menorehkan luka pada perempuan itu. Usai acara wisuda, mereka akan makan bersama di sebuah restoran dengan mengundang kedua orang tua Meisya juga. "Hari ini aku mau nginep di rumah Ibu," ujar Meisya dingin. Dia sedang berjalan berdampingan dengan Mario memasuki restoran. "Ya udah. Berarti nanti nggak ikut mama dan papa nginep di hotel?" "Nggak. Kalau kamu mau nginep di hotel, gih sana! Aku bisa ke rumah bareng Ibu dan Ayah nanti. Kamu nggak harus ikut." Mario menghela napasnya mendengar ucapan ketus Meisya--yang sama sekali tak berminat mengajaknya. "Aku ikut. Nginep di rumah Ibu juga."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN