Sosok

1045 Kata
Abimanyu terbangun saat merasakan udara dingin menerpa kulit punggungnya. Sebelah tangannya merayap mencari tubuh hangat yang dia peluk semalaman setelah pergumulan panas mereka yang berlangsung begitu hebat dibawah kendalinya. Tempat disampingnya terasa dingin dan kosong, pria itu menoleh, Revalia sudah tak disana. Lalu dia bangkit seraya menyugar rambutnya yang berantakan, pandangan matanya menyisir seluruh sudut kamar hotel yang ditempatinya, namun terasa sunyi. Abimanyu kembali menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang, kemudian tergelak. Semua perempuan sama saja! geramnya dalam hati. 'Perawan murahan! menjual diri demi sejumlah uang dengan alasan keterpaksaan, benar-benar klise!' batinnya bermonolog. *** Satu bulan kemudian ... Reva melewati hari-harinya seperti biasa. Pergi bekerja pada pagi hari, dan pulang di sore harinya. Namun gadis itu terkadang mengambil lemburan hingga larut malam. Sengaja, selain untuk menambah penghasilan, juga agar dirinya tak terlalu lama berada di rumah dan sering bertemu dengan ayahnya. Percuma juga, pria itu masih saja menjalankan kesenangannya dan seolah tak peduli terhadapnya. Adam masih saja sulit di jangkau dan disadarkan, meskipun telah banyak peristiwa tejadi kepada mereka berdua. "Pesanan kopi untuk meja nomor 24." seseorang di pantry membuyarkan lamunan Reva. "Baik." gadis itu menyahut, seraya meraih cangkir kopi beserta dua cup kecil berisi krimer dan gula, lalu meletakanya di trey kecil. Dia kemudian mengantarkannya ke meja yang dimaksud. "Silahkan, ..." ucapnya, seraya meletakan pesanan di meja. "Bagaimana kabarmu nona?" pria berkemeja hitam menyapanya seraya menyeruput kopi pesanannya. "Kamu ... "Masih ingat aku?" dia dan seringaiannya tentu saja tidak pernah Reva lupakan. "Tentu aku ingat. Bagaimana aku lupa dengan rentenir yang hampir saja menjebakku karena hutang-hutang ayahku?" jawab Reva dengan raut ketus. Razan tergelak, dia tak menyangka gadis itu masih angkuh seperti biasa. Terutama setelah terakhir kali dia menemuinya untuk sebuah pembayaran hutang. "Aku pikir perempuan sepertimu tidak akan bekerja lagi di tempat seperti ini." ucap Razan. "Apa maksudmu?" "Kamu tahu, masalah uang akan membuat seseorang rela melakukan apapun. Seperti juga dirimu yang rela menjual diri untuk mendapatkan uang." "Jaga bicaramu Tuan! kamu tidak berhak mengatakan hal itu kepadaku!" sergah Reva. Razan tertawa dengan keras. "Memangnya kenapa? kamu malu?" "Bukan urusanmu." Reva menggeram. "Memang, ... tapi akan jadi urusanku jika tua bangka itu berurusan lagi denganku." "Jangan coba-coba!" gadis itu mengancam. "Bukan aku, tapi ayahmu." pria itu bangkit dan berdiri sejenak di hadapan Reva. "Aku tidak akan membiarkan." "Coba saja." Razan meletakan satu lembar uang pecahan lima puluh ribu, lalu mengenakan kaca mata hitamnya, kemudian pergi. *** Reva memuntahkan isi perutnya begitu dia tiba di kamar mandi, rasa mual dan pening hebat menyerang kepalanya tanpa bisa ditahan lagi. Dia ambruk diambang pintu. "Kamu sakit?" seorang rekannya datang menghampiri. "Cuma ... masuk angin mungkin." jawab Reva seraya memijit pelipisnya. "Kamu sepertinya kelelahan, terlalu sering lembur hingga larut malam." ucap rekan yang lainnya. "Aku nggak apa-apa. Cuma masuk angin." Reva mengulang kata-katanya, walaupun dia merasakan tubuhnya begitu lemah. Akhir-akhir ini Reva memang sering mengambil lembur hingga larut malam. Selain dia memang membutuhkan uang lebih untuk dirinya sendiri, gadis itu juga sengaja berlama-lama berada diluar rumah hanya untuk menghindari sang ayah yang selalu membuatnya gusar. Dengan kelakuannya yang semakin hari semakin menjadi. Ditambah, dia masih merasa marah kepada pria itu karena dialah penyebab dirinya dengan terpaksa harus menjual kegadisannya demi setumpuk uang yang telah dia serahkan untuk pembayaran hutang, dan itu sangat menyakitkan. Salah seorang dari mereka memapahnya keluar, kemudian mendudukannya di kursi karyawan di bagian belakang kafe tersebut. "Istirahatlah dulu, atau pulanglah, keadaanmu mengkhawatirkan." sang manager yang muncul kemudian. "Tidak apa-apa pak, saya masih bisa." Reva mengelak. "Saya tidak mau ambil resiko ya, lebih baik kamu pulang dan istirahatkan tubuhmu, atau nanti malah lebih parah dan kamu tidak bisa bekerja lagi." *** Reva tentu saja menurut, dari paada mendengar omelah sang manager yang pasti akan berlangsung lama kepadanya, lebih baik dia pulang. Namun gadis itu memilih berdiam diri di bangku taman dibandingkan langsung pulang kerumah. Dia tahu, akan bertemu dengan ayahnya yang sudah pasti hari ini dalam keadaan biasanya. Mabuk dan tak sadarkan diri. Reva sudah merasa lelah, dan dia hampir frustasi. Tak ada satupun yang bisa dia lakukan untuk membuat Adam menyadari kesalahannya. Sikap pria itu malah bertambah semakin buruk setiap harinya. Dulu Adam adalah pria yang baik. Dia begitu bertanggungjawab terhadap keluarga. Melakukan apapun demi mereka agar selalu dala keadaan baik-bak saja. Namun kepergian Maria, istrinya membuat Adam seperti kehilangan arah. Kematian perempuan itu menorehkan luka yang menyakitkan bagi Adam, sehingga membuatnya berubah drastis hingga seperti sekarang. Bersikap buruk, mabuk-mabukan, berjudi, dan mengabaikannya. Dia bahkan membiarka Reva berjuang sendirian untuk menghidupi dirinya sendiri sejak usia belia. Reva melakukan banyak hal sejak masih di bangku SMA, bekerja di banyak tempat untuk mendapatkan uang agar bisa menyambung hidup. Dan mempertahankan kehidupan ayahnya, walau pria itu selalu membuatnya ada dalam kesulitan karena kelakuannya. Tapi kesabarannya kini sudah diambang batas, dan dia merasa tak tahan lagi. Keputus asaan pun melandanya dengan hebat, dan dia sudah merasa tidak tahan. Apakah aku harus menyerah Tuhan? Batin Reva. Aku hanya tidak bisa melakukannya lagi, aku sudah lelah. Reva memejamkan mata, dan air mata hampir saja mengalir di pipinya. Namun segera dia usap dengan punggung tangannya. Rasa pening kembali menyerang, dan dia merasa perutnya seperti di aduk-aduk. Reva bahkan merasa tubuhnya kini mulai menggigil kedinginan. Padahal udara siang itu terasa terik, namun tubuhnya seperti tak merasakan itu. Oh, ... ada apa denganku ini? ayolah, jangan sakit! bagaimana aku akan bekerja kalau sakit begini? hidupku saja sudah sulit, jangan juga ditambah dengan sakit. Dia bermonolog. Satu cup jus mangga yang dibelinya tadi dia sesap untuk menetralisir rasa mual di mulut, berharap perasaan itu hilang. Dan terbukti, dia merasa sedikit lebih baik karenanya. Reva kemudian bangkit, dia memutuskan untuk pulang saja, sepertinya tidur akan membuatnya lebih baik juga. Walaupun rasa jengah sudah dia rasakan jika mengingat keberadaan sang aya dirumah, tapi tak ada pilihan lain. Dirinya takk punya lagi tempat untuk pulang, selain rumah sederhana bertingkat dua peninggalan Maria, ibunya. "Ugh!!" seseorang menabraknya dari arah berlawanan. Namun Reva tidak berusaha untuk melihat. Rasa pening di kepala membuatnya tak kuat untuk mendongak. "Maaf," dia hanya menunduk, kemudian bergegas pergi saat dirasakannya mual dan pusing yang meyerang secara bersamaan. Namun sesuatu membuatnya berpaling sejenak. Ketika indra penciumannya menangkap aroma yang seperti dikenalnya. Seorang pria tinggi berstelan rapi berjalan santai membelakanginya, dan Reva mengingat dengan keras saat dia merasa pernah melihat sosok itu. Tapi nihil, dia tak ingat siapa, atau dimana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN