11

1531 Kata
Rona bahkan lupa sudah berapa lama dirinya hanya duduk diam di depan rumah Aruna. Rumahnya sendiri yang ada di sebelah, yang lampunya justru masih menyala malah dia abaikan begitu saja. Dia harus bertemu dengan Aruna. Dengan cara apapun dia harus meminta maaf pada gadis itu bahkan jika nantinya Aruna menolak memaafkannya. Tapi ketika dia datang ke rumah gadis itu, keadaan pintu rumah yang biasanya terbuka malah tertutup rapat. Bel rumah yang Rona tekan berulang kali juga tidak mendapat respon apapun padahal seharusnya pembantu rumah tangga mereka ada di rumah. Rona tidak punya pilihan lain selain duduk menunggu di teras. Dia tidak bisa jika harus kembali tanpa bertemu dengan Aruna. Mau sampai kapan pun, dia akan menunggu hingga gadis itu datang. Lalu berselang sekitar empat puluh menit berlalu, sosok Linda, Mama Aruna datang dengan wajah terkejut. "Loh, Rona kok nunggu di luar? Aruna nya mana?" Wanita itu bergegas menghampiri Rona, lalu meminta Rona bangun dan mengikutinya hingga mencapai pintu utama. "Aruna nya belum pulang, Tante. Saya nunggu dia pulang juga." Dari kerutan di kening Linda, Rona bisa tahu jika wanita itu merasa heran. Karena selama ini Rona dan Aruna biasanya akan selalu berangkat dan pulang bersama. Kalau pun tidak bisa berangkat bersama, maka mereka biasanya akan pulang bersama. Tidak seperti sekarang. "Yaudah, kalau begitu kamu masuk dulu ya? Nunggu di dalam aja. Nanti Tante coba hubungi Aruna. Kamu..sudah telepon dia?" Rona menunduk sekilas. "Saya...belum sempat beli beli paket internet, Tante," alibinya. Kalau dia bilang bahwa dia sudah menghubungi Aruna tapi gadis itu tidak menjawab panggilannya, maka bisa dipastikan Linda akan langsung tahu kalau ada  sesuatu di antara mereka. "Yaudah, kalau begitu kamu duduk dulu. Tante ambilin minuman ya? Bibi lagi libur karena cucunya sakit, makanya hari ini enggak masuk. Sebentar ya.." Wanita itu kemudian berlalu ke arah dapur. Pantas saja walaupun sudah menekan bel berulang kali tapi tidak ada yang membukakan pintu untuknya. Ternyata pembantu rumah tangga keluarga Aruna memang sedang tidak bekerja. Rona menunggu, bukan menunggu minuman yang dijanjikan oleh Linda datang namun dia menunggu Aruna untuk pulang. Ketika dia membuka ponsel dan ingin memastikan pesannya dibaca atau tidak, dia malah melihat story yang dibuat oleh Aruna. Gadis itu mengunggah foto telur gulung dan juga teh manis dengan caption 'Yang paling mengenal diri kita sendiri adalah kita, bukan orang lain.' Kata-kata yang menohok Rona hingga dia langsung merasakan lagi perasaan bersalah yang besar itu. Dia benar-benar bodoh, sepanjang dia mengenal Aruna baru kali ini Rona bertindak bodoh dengan tidak mempercayai gadis itu. Tangannya memegang ponsel dengan kuat. Lalu matanya membulat saat mendengar suara deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah Aruna. Bergegas dia bangun, sengaja tidak keluar dan hanya mengintip dari celah pintu yang terbuka. Itu memang benar Aruna yang baru turun dari mobil milik temannya. Di tangan gadis itu masih ada plastik es teh, dan satu tangan lainnya memegangi tas yang tidak dia slempang kan di tubuhnya. Rona memejamkan mata sejenak ketika Aruna berbalik. Wajah gadis itu bengkak, sudah pasti jika Aruna sudah menangis terlalu banyak. Saat menapaki undakan terasnya gadis itu hanya menunduk, lalu terkejut saat melihat Rona yang muncul dan berdiri di ambang pintu. "Aruna..." panggil Rona pelan. Tatapan gadis itu adalah tatapan yang asing bagi Rona. Walaupun tidak terlihat menyeramkan, tapi tatapan dingin itu sangat mengusik Rona sedemikian rupa. "Kamu salah rumah, rumah kamu di sebelah." Harusnya Rona merasa sedih karena diusir langsung oleh gadis itu. Tapi dia malah merasa senang karena Aruna kembali menyebutnya dengan 'kamu'. "Aku sengaja nyari kamu buat minta maaf," ucap Rona. Tapi Aruna mengabaikan perkataannya. Gadis itu berjalan masuk, menyerukan salam yang langsung disambut oleh Ibunya. "Mau kemana? Rona udah nunggu kamu dari tadi tahu. Dia bahkan duduk di teras karena tadi Mama enggak ada di rumah." Mendengar perkataan ibunya, Aruna memutar kepala ke arah Rona walaupun jenis tatapannya masih tidak berubah. "Bibi kemana?" tanya gadis itu. "Kan cucunya sakit makanya enggak masuk." "Oh." Rona hanya tersenyum tipis saat Linda menyuguhkan nya kopi s**u. Padahal Rona tidak suka s**u, tapi sepertinya Mama Aruna itu menyamakan selera Rona dengan selera Arsha, anak lelakinya yang sangat menyukai kopi s**u. "Ma, dia enggak suka susu." Terperanjat, Rona langsung menoleh ke arah Aruna. Ah, gadis itu memang tahu semua tentangnya. Sedangkan Rona malah baru aja menuduh gadis yang tidak-tidak. "Oh ya? Ya ampun! Mama enggak tahu kalau Rona enggak suka s**u. Yaudah biar Tante ganti dulu." Bergegas Rona menahan cangkir itu, dia menggeleng pelan. "Saya bukannya enggak suka s**u kok, Tante. Cuma jarang minum aja, jadi ini masih bisa saya minum. Makasih, Tante." "Beneran?" Rona mengangguk, "Iya, Tante." Linda tersenyum lega, dia mengalihkan fokus pada anak gadisnya yang masih hanya berdiri. "Duduk sana! Temenin Rona nya, atau kalian mau langsung keluar lagi?" Rona terdiam menahan gugup, dia takut sekali jika Aruna bersikap dingin secara terang-terangan di depan Mamanya. Gadis itu melengos samar, "Aruna mau ganti baju dulu." Setelahnya Aruna langsung berjalan masuk ke dalam kamarnya tanpa menoleh lagi pada Rona. * Aruna sudah bertekad untuk tidak memaafkan Rona dengan mudah. Tapi dia tidak bisa berbohong bahwa dia terkejut melihat Rona yang sudah ada di rumahnya begitu dia datang. Bahkan Mamanya bilang jika Rona sudah menunggu di teras rumahnya sebelum Mamanya pulang. Tentu saja hal itu membuat dirinya tersentuh. Rona yang selama ini hanya berdiam diri walaupun tahu Aruna berlari susah payah untuk menggapainya, kali ini datang lebih dulu demi meminta maaf darinya. Aruna membuang waktu di dalam kamar. Dengan alasan mengganti baju, dia berdiam diri dan kembali membiarkan Rona menunggu. Sebenarnya dia agak cemas kalau kemudian Rona akan menyerah dan pergi. Tapi walau bagaimana pun Aruna masih merasa kesal setiap kali mengingat tingkah pria itu yang tidak mempercayai dirinya. "Aruna? Kamu masih di dalam? Rona masih nungguin loh, kamu enggak tidur kan?" Aruna terlonjak mendengar teriakan dari Mamanya di depan kamar. "Iya, Ma! Sebentar. Aku sakit perut," katanya memberi alasan. Dia bangkit, menarik napas dan kemudian keluar dari dalam kamarnya. Seperti tadi, dia kembali memasang wajah dingin saat bertatapan dengan Rona. Pria itu tampak langsung tersenyum ketika melihat dirinya keluar, sesuatu yang selama ini nyaris tidak pernah terlihat dari wajah tampan yang diidamkan oleh Aruna itu. "Kamu sakit perut?" Mata Aruna membuat, dia langsung membuang muka sama berdeham pelan. "sedikit," balasnya. Dia duduk di kursi yang berhadapan jauh dengan Rona. Memasang sikap defensif hingga pria itu menghela napas gusar. "Aku minta maaf," ucap Rona. Aruna tidak bergeming. Dia hanya diam sambil mendengarkan permintaan maaf yang bahkan sangat pelan. Mungkin Rona gengsi, atau juga Rona mungkin takut jika Mamanya tahu bahwa mereka sedang dalam masalah. "Aku tahu enggak seharusnya aku dengan enggak tahu malu minta maaf sama kamu, setelah apa yang terjadi. Tapi aku benar-benar minta maaf. Tolong jangan terus menghindar dari aku." Hati Aruna tiba-tiba saja terasa nyeri. Memang apa manfaatnya jika Aruna tetap ada di samping pria itu? Toh mereka tidak memiliki hubungan apapun. "Bukannya malah bagus kalau aku enggak ada di dekat kamu? Kamu jadi bebas deket sama siapa aja, enggak akan ada yang bakalan nyiram cewek yang deketin kamu cuma karena cemburu," sindir Aruna. Ucapannya langsung membuat Rona bahkan berpindah tempat duduk. Aruna terkejut karena itu. "Enggak begitu, Na. Aku malah bingung kalau kamu tiba-tiba enggak ada. Tadi aku langsung lari ngejar kamu karena mau minta maaf, tapi kamu udah enggak ada. Makanya aku tunggu disini, aku benar-benar minta maaf. Kamu...kamu boleh mukul aku, kamu boleh kalau mau caci maki aku atau nyindir aku sampai kapan pun, aku bakal terima. Tapi tolong setelahnya, tolong maafin aku." Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Rona, sosok Arsha masuk. Pria ber jas dokter itu mengerut bingung melihat suasana aneh yang terjadi antara adik bungsu dengan tetangganya. "Kalian...lagi latihan drama?" tanyanya. Aruna melotot, dia langsung mengisyaratkan agar Kakaknya itu lekas masuk saja ke dalam rumah dan tidak perlu menghiraukan dirinya dan Rona. Tapi memang dasarnya Arsha adalah jenis manusia yang semakin ditentang semakin melawan, maka bukannya langsung masuk ke dalam rumah, Arsha justru duduk di samping Aruna hingga kini mereka bertiga duduk di kursi yang sama. "Kamu tau enggak, Dek. Tadi Abang nerima pasien yang enggak ada walinya. Dia kecelakaan parah dan butuh donor darah, tapi yang waktu itu nganter dia ke rumah sakit adalah pacarnya. Dan ternyata mereka lagi berantem. Walaupun dalam keadaan parah kayak gitu, si cewek yang luka ini kekeuh enggak mau nerima donor darah dari pacarnya. Padahal darah mereka cocok." Tubuh Aruna langsung menegang, dia tahu Kakaknya sedang menyindir dirinya karena tahu jika dia dan Rona sedang dalam perang dingin. Tapi walaupun begitu rasanya keterlaluan, dia melirik ke arah Rona, berpikir bahwa mungkin pria itu tidak akan terpengaruh dengan ucapan Arsha. Tapi ternyata sama saja. Pria itu tengah memalingkan muka, dengan satu tangan yang menutupi mulutnya. Mau tidak mau reaksi yang ditunjukkan oleh Rona itu membuat Aruna berpikir macam-macam. Apa mungkin Rona juga berpikir bahwa keadaan mereka ini mirip dengan sepasang kekasih yang diceritakan oleh Arsha, walaupun kasus mereka tidak sampai saling bertukar donor darah? Arsha tiba-tiba saja tertawa. Pria itu kini bangun dari duduknya sambil mengusap kepala Aruna. "Bicarain baik-baik kalau memang ada masalah. Jangan sampai kasusnya jadi tukar donor darah." Aruna kesal, dia memukul lengan Arsha hingga pria itu tertawa semakin kencang dan menghilang ke dalam  rumah. "Aruna..." Mendengar suara Rona, Aruna jadi kembali teringat jika masalah mereka memang belum selesai. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN