BAB 5 MEMBALASMU

1187 Kata
Adeline terdiam mendengar ucapan pria itu. Dalam sehari ini, sudah dua kali pria itu memintanya untuk menikah dengannya. Hal itu tentu saja menimbulkan kecurigaan di hati Adeline. “Kenapa Anda meminta saya untuk menikah dengan Anda?” Pria itu tidak menjawab dan malah berbiara mengenai hal lain. “Jika kamu menikah denganku, maka aku akan membantumu untuk membalas dendam pada mantan suamimu. Selain itu, kamu juga tidak perlu bersusah payah belajar bisnis. Aku bisa membantumu untuk mengurus perusahaan keluargamu. Dan kamu juga tidak usah khawatir karena sahammu tidak akan ku sentuh. Kamu hanya perlu menjadi istriku.” Adeline tersenyum mendengarnya. Dia memalingkan wajah sebelum kembali menatap pria itu. “Apa wajahku … memang wajah orang yang mudah dibodohi?” Pria itu diam membiarkan Adeline untuk terus berbicara dan mengeluarkan keluh kesahnya. “Aku tahu bahwa aku tidak lulus kuliah. Usiaku masih muda ketika membuat keputusan besar dalam hidupku. Menjanda di usia muda dan harus mengemban tugas sebagai CEO di perusahaan untuk menggantikan ayahku yang sudah tidak ada. Tapi ….” Adeline memposisikan dirinya berhadapan dengan pria itu. Wajahnya sangat kesal karena rentetan kejadian hari ini yang sangat membuat hatinya lelah. “Aku tidak bersedia menjadi istrimu!” Adeline bangkit dan hendak pergi dari sana. Namun, lengannya malah ditahan oleh pria itu. Dia berbalik dan menatap sinis. Mengempaskan tangan pria itu dengan kasar dan melupakan bahwa satu-satunya orang yang bisa membantunya hanyalah Tuan Kane. Pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama dan menyodorkannya ke hadapan Adeline. Membuat gerakan seakan meminta wanita itu untuk menerimanya. “Aku tahu kamu akan menolak. Seperti perkataanku sebelumnya. Aku memberimu waktu 24 jam.” Pria itu bangkit dan membenarkan jas yang dikenakannya. “Jika kamu berubah pikiran, telpon aku ke nomor itu,” ucapnya sebelum benar-benar pergi dari sana. Adeline melihat kartu nama yang berada di tangannya. Ia melihat sebuah nama yang bertuliskan “Leonard Alaric Kane, Chief Executive Officer Kane Global.” “Leonard Alaric Kane?” Adeline mengerutkan keningnya. Merasa tidak asing dengan nama itu. Adeline tidak ingin ambil pusing, dia memasukkan kartu nama itu ke dalam tas tanpa ada niat untuk menghubunginya. Adeline yakin, pasti ada jalan lain untuk menyelamatkan perusahaannya. Akhirnya Adeline kembali tanpa memedulikan wajahnya yang terluka. Ketika sampai di perusahaan, wanita itu dikejutkan dengan sebuah papan yang bertuliskan gedung perusahaannya yang disita oleh bank. Adeline langsung berjalan mendekat dan mencari seseorang. Namun, tidak ada seorangpun di sana. Hanya ada seorang security yang tidak mengetahui duduk perkaranya. “Tuan Dalton hanya mengatakan bahwa dia ke rumah Anda, Nona,” ucap security itu menyampaikan informasi. Adeline langsung pergi ke rumahnya. Dia ingin tahu kenapa perusahaannya bisa disita oleh bank. Meski sudah enam bulan terjun ke dunia bisnis seperti ini, namun masih ada beberapa hal yang tidak dia mengerti. Adeline masih membutuhkan bimbingan tentang apa yang terjadi di perusahaan keluarganya. Sekitar 30 menit kemudian, Adeline sampai di rumah mewah miliknya. Rumah yang sudah diwariskan sang ayah untuknya. Namun, di depan rumahnya sudah ada beberapa orang yang seakan sedang menunggunya. Adeline segera turun dari mobil dan menghampiri mereka. Berdiri di samping Dalton dan menanyakan situasinya. “Mereka adalah orang dari bank, Nona. Mereka datang untuk menyita rumah Anda dan semua isinya. “ “Apa?!” “Perusahaan kita sudah lewat dari tenggat waktu yang disepakati. Jadi—” Adeline sudah tidak sanggup mendengarkan penjelasan dari asisten kepercayaannya. Dan semuanya menjadi gelap dalam seketika. *** “Nona? Apa Anda baik-baik saja?” Adeline mengerjabkan kedua mata. Setelah netranya mulai terbiasa dengan keadaan sekitar, barulah kedua matanya bisa terbuka lebar. “Nona? Anda baik-baik saja?” tanya Dalton lagi mengulang pertanyaannya. Adeline hanya diam. Melihat ruangan yang asing. Dia mengingat kejadian sebelumnya. Ketika beberapa orang dari bank datang untuk menyita satu-satunya rumah yang dia punya. “Pak Dalton, bagaimana dengan rumahku?” Adeline tidak peduli dengan kesehatannya. Dia hanya pedulikan adalah rumahnya yang memiliki banyak kenangan bersama sang ayah. Dalton terdiam mendengar pertanyaan sang majikan. Hal itu semakin membuat Adeline yakin bahwa harapannya sudah pupus. Perusahaan dan rumahnya sudah disita oleh bank. Dia sudah tidak lagi memiliki apapun sebagai penopang hidup untuk ke depannya. “Nona bisa tinggal di sini selama apapun,” ucap Dalton dengan tulus. “Ini rumahmu?” “Iya, Nona. Memang tidak sebesar rumah Nona, tapi cukup untuk menjadi tempat berteduh,” balasnya. Adeline melihat ketulusan di kedua mata pria yang sudah bertahun-tahun bekerja dengan mendiang ayahnya. Dia baru menyadari bahwa Dalton memikili tatapan mata yang teduh khas orang tua. Sama seperti ketika mendiang sang ayah tengah menatapnya. Begitu teduh dan menyejukkan. “Lalu, bagaimana denganmu?” tanya Adeline. “Anda tidak usah khawatirkan saya, Nona. Saya bisa tinggal dimanapun. Saya sudah terbiasa,” balasnya Mendengar balasan Dalton, membuat Adeline tidak bisa membendung air matanya. Cara bicara pria tua itu membuatnya teringat dengan sang ayah yang sudah tiada. Adeline yang seumur hidup selalu dimanja dan dijadikan seorang putri, kini harus tinggal di rumah bawahannya. Hidup sebatang kara tanpa pegangan apapun. “Nona, Anda tidak usah bersedih. Saya berjanji akan menjaga Anda. Saya berjanji akan membuat kehidupan yang layak untuk Anda,” ujar Dalton merasa bersalah karena hanya bisa menyediakan tempat tinggal seperti ini. “Tidak, tidak. Saya sangat berterimakasih karena Pak Dalton sudah bersedia menampung saya. Saya berjanji akan segera menemukan tempat tinggal lain untuk saya tinggali. Jadi, Pak Dalton bisa segera kembali ke tempat ini.” Adeline akan merasa sangat tidak enak hati jika dia tinggal di rumah seorang pria tua. Dalton tersenyum mendengarnya. Sejujurnya ia merasa sangat bersalah karena belum bisa menepati janji dengan mendiang tuannya. Namun, dalam hati dia sudah bertekad untuk membantu Adeline sampai wanita itu bisa mandiri. Dalton sadar, dia tidak bisa hidup selamanya untuk menjaga wanita itu. kondisi kesehatannya juga sudah tidak seperti dulu. Usianya juga sudah mengharuskan dia untuk tidak bekerja. “Saya akan selalu bersama dengan Nona. Saya tidak akan pernah meninggalkan Anda sama seperti saya yang tidak pernah meninggalkan Tuan Rothwell,” ucap Dalton. Sepeninggal Dalton, Adeline duduk seorang diri di ranjang kamar itu. Sendirian tanpa ada seorangpun yang menemaninya. Mengenang kehidupan beberapa tahun silam saat ia masih menjadi tanggungan sang ayah. Saat bahagia itu yang tidak akan pernah dia lupakan. Dulu Adeline adalah gadis paling beruntung. Terlahir cantik dan dari keluarga berada adalah impian setiap gadis. Banyak yang merasa iri padanya, banyak juga yang merasa kagum karena kebaikan hatinya. Adeline adalah gadis yang disegani dan banyak yang ingin berteman dengannya. Meski terkadang ada juga beberapa orang yang suka memanfaatkan kebaikannya. Namun, Adeline tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia hanya berpikir untuk menjadi orang yang bermanfaat. Prinsip hidupnya adalah, apa yang kita tanam itu yang kita tuai. Sampai suatu hari, hari dimana tidak pernah terpikir sekalipun olehnya. Bertemu dengan Brandon secara tidak sengaja di sebuah restaurant ternama di pusat ibu kota. Pria yang baik dan sangat menarik. Mampu membuat para gadis terpesona hanya dengan tatapannya. Dan Adeline adalah salah satu dari gadis yang terpesona itu. “Brandon,” gumamnya dengan penuh penekanan. Adeline mengambil sebuah kartu nama yang dia simpan di dalam tas. Dia tidak berniat untuk menggunakan kartu itu. Namun, setelah apa yang terjadi padanya hari ini— “Aku akan membuatmu merasakan apa yang sudah kamu lakukan padaku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN