“Jangan remehkan percakapan kecil. Mungkin itu awal dari sesuatu yang besar.”
***
Langkah gontai Sakura membawanya memasuki restoran yang menyebarkan aroma harum sup hisit, kwetiau goreng, capcay, fuyunghai, dan berbagai makanan khas oriental lainnya. Ia terburu-buru duduk di tempat yang terdekat dengan pramusaji pertama yang dilihatnya.
“Tolong menunya,” pinta Sakura pada seorang pemuda yang jauh lebih muda darinya.
Dua buku menu segera dibawakan ke hadapan Sakura. “Untuk menu dengan ikon jempol adalah rekomendasi dari restoran ini.” Pramusaji itu menginformasi.
“Sup hisit sama teh tawar satu deh.” Merasa tak sanggup menghabiskan waktu membaca buku menu, Sakura akhirnya memilih sembarang menu yang terlintas di pikirannya. “Itu serving-nya nggak lama kan?”
“Nggak, bu. Sekitar sepuluh menit paling lama.” Pemuda menjawab dengan penuh keyakinan. “Ini saja ya, bu?”
Sakura mengangguk dan kedua buku di hadapannya itu kembali diambil.
Selepas ditinggalkan sendirian, Sakura meraih ponselnya dan teringat akan permintaan Kenza tadi pagi. Ia mengirimkan pesan kepada Farrel berisi sapaan singkat dan langsung pada inti pesannya. Lelaki yang pertama kali ia kenal di salah satu acara kampus itu pernah menunjukkan perasaan padanya. Tetapi karena perbedaan agama, masing-masing akhirnya mundur teratur. Ia sendiri tidak memungkiri bahwa dirinya juga pernah memiliki perasaan pada pria berdarah Betawi itu.
“Sensei?” Suara familiar terdengar dari samping Sakura. Senyuman manis dari seorang gadis dengan rambut coklat terang itu mengalihkan perhatian Sakura dari ponselnya.
“Hai? Hana disini juga?” Sakura menatap Hana dengan senyuman senang tetapi kemudian teringat bahwa pria menyebalkan itu pasti juga ada di tempat yang sama.
Baru saja melintas di pikiran, Andrew muncul mengekori putrinya dan tangannya tampak masih basah. Mereka seperti baru kembali dari mencuci tangan.
Aduh ... Iya juga. Tadi kan si Andrew itu bilang mau ke restoran Cina. Mana tadi kelaperan jadi lupa kalo mereka disini. Sakura menyesal dalam hati sudah datang ke tempat ini.
"Wah, ternyata nggak kuat nahan lapar. Harusnya tadi ikut waktu diajak." Perkataan Andrew seperti genderang yang dikumandangkan untuk memulai sebuah peperangan.
Tenang, Sakura. Tenang. Dengan memaksakan sebuah senyuman, Sakura menjawab, "Ah, iya. Kalau aja mobil saya nggak bermasalah, saya udah di jalan pulang."
Andrew memimikkan 'oh' singkat menanggapi jawaban dari Sakura.
Ampun deh. Responsnya gitu doang. Sakura setengah memutar bola matanya tapi buru-buru memasang ekspresi ceria karena Hana sudah duduk di seberang mejanya sambil mengamatinya.
"Sensei, capek ya?" tanya gadis kecil itu. "Biasanya kalau Hana capek, Daddy biasanya beginiin kepala Hana." Ia membelai-belai kepalanya dari bagian depan ke tengah.
“Ah, iya. Enak ya, Hana?” Sakura tersenyum padanya.
Hana menarik lengan Daddy-nya. “Daddy, coba gituin Sensei. Pasti nanti Sensei nggak capek lagi.”
Permintaannya membuat baik Andrew dan Sakura sontak terkejut. Keduanya sama-sama tidak memberi komentar apapun dan mematung saja.
Melihat Daddy-nya tidak bergerak, Hana meninggalkan kursinya. Ia berpindah ke kursi di sebelah Sakura dan naik ke atasnya.
“Eh, hati-hati.” Dari arah kanan tangan Andrew otomatis menopang putrinya, sementara Sakura menjaganya dari sebelah kiri.
Setelah mendapati dirinya berdiri di atas kursi, ia menarik tangan Daddy-nya. Awalnya tidak ada yang tahu apa maksud Hana sampai gadis ini mengarahkan tangan Andrew ke atas kepala Sakura dan menggerak-gerakannya lembut sesuai dengan yang ia sering terima.
“Gitu, Dad.” Hana menginstruksi Andrew dan merasa puas ketika melihat Daddy-nya melakukannya.
Situasi apa ini? Laki-laki berkeluarga lagi belai-belai kepalaku? Ini salah. Sakura berdehem lalu cepat-cepat menggeser kepalanya hingga keluar dari jangkauan tangan Andrew. “Ahaha. Iya, jadi lebih enakan, Hana. Makasih ya,” katanya sambil berpura-pura senang.
Hana bergerak turun perlahan dan duduk di atas kursi itu sambil dijagai oleh Andrew. “Terima kasihnya bukan ke Hana, Sensei. Ke Daddy.” Ia menunjuk pada lelaki yang menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi.
Ampun dah … Mimpi apa sih aku semalam ketiban hujan kerikil begini? Mau tak mau Sakura melemparkan pandangan pada Andrew dan senyuman palsu sambil berkata, “Makasih ya, Pak Andrew.”
Tidak tahu menahu apa yang telah terjadi di antara kedua orang dewasa ini, Hana membumbui situasi ini dengan kekikukan yang baru. “Daddy, ayo kita duduk sama Sensei.” Ia mengusulkan.
“Bukannya Hana sama Daddy sudah makan? Nggak pulang?” Sakura mencoba membatalkan rencana itu dengan bujukan tidak langsung.
“Nggak, Sensei. Makanannya belum dateng.” Hana memberitahu, mulutnya mengerucut menampakkan kekecewaan. “Tapi kita bisa tunggu sama-sama Sensei kan, Dad? Ya?” Antusiasme terpancar melalui mata Hana yang berbinar dan kakinya yang menggantung di kursi bergoyang maju mundur.
Jawab enggak, jawab enggak. Sakura berharap dalam hati agar Andrew menolak permintaan putrinya. Ia bahkan mengirimkan kode rahasia dengan sedikit menggelengkan kepalanya tetapi tanpa memandang pria itu.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Andrew tidak bisa menolak karena melihat semangat Hana. Ia menjawab, “Ya udah. Tapi Daddy harus bilang pelayan dulu supaya nanti makanannya diantar kesini ya. Tunggu disini sama Sensei.”
Hana mengangguk-angguk senang. “Yatta[1]!” Ia bersorak dengan kedua tangan teracung.
Sakura menghela napas pasrah menerima keputusan itu. Lagipula ia tidak tega untuk menghancurkan suasana hati Hana yang tampak bagus.
Seorang pramusaji yang tadi melayani Sakura datang membawa sebuah nampan dengan pesanannya. Semangkuk sup hisit beserta sendoknya dan teh tawar diletakkan dengan rapi. “Semua sudah ya, Bu. Selamat menikmati,” katanya sambil mencoret catatan pesanan yang menempel di meja dengan pulpen.
“Oke. Makasih,” sahut Sakura sambil menggeser mangkuknya lebih dekat dan membersihkan sendok dengan tisu sebelum meletakkannya di dalam mangkuk.
“Iya, meja yang itu. Tolong ya.” Suara Andrew terdengar semakin lama semakin keras dari arah belakang Sakura. Ia berjalan mendekat lalu duduk kursi yang berseberangan dengan Sakura. “Hana, ayo duduk sebelah Daddy sini. Nanti kan Daddy yang suapin.”
Yang diminta justru menggeleng. Gadis kecil itu dengan yakin menjawab, “Hana bisa makan sendiri, Dad. Hana mau duduk deket Sensei. Kalau sama Daddy kan udah setiap hari.”
Sakura menekan bibirnya dan menaikkan kedua alisnya seraya tertawa diam-diam.
“Atas nama pak Andrew ya?” seorang pramusaji dengan troli makanan datang. Sesudah mendapat konfirmasi berupa anggukan dari Andrew, ia meletakkan sepiring fuyunghai, semangkuk sup jagung dan dua gelas jus jeruk. “Pesanan sudah komplit ya, Pak. Selamat menikmati.”
Andrew hanya tersenyum dan mengangguk sekali. Kemudian ia berdiri dan bergerak ke sisi Hana untuk mengambil tisu meja serta menyelipkannya di bagian kerah depan putrinya. “Usahakan makannya jangan sampai tumpah ya, sayang,” katanya dengan lembut.
Sekilas di mata Sakura pemandangan di depannya ini membawa pikirannya pada imajinasi mengenai masa depan; bagaimana jadinya jika ia mempunya suami dan seorang anak. Tanpa sadar ia tersenyum-senyum sendiri namun pada saat yang sama ada perasaan miris memikirkan kejombloannya.
“Sensei. Sakura Sensei.” Suara Andrew menyadarkan wanita itu hingga terburu-buru berpaling ke arah lain. “Sehat?”
Secepat kilat Sakura melemparkan pandangan tajam kepada Andrew karena menanyakan sebuah pertanyaan retoris dan sarkastik pada saat yang sama kepadanya. Namun Hana bertindak menjadi seperti rem mobil saat hampir menabrak sehingga ia menunjukkan senyuman palsu pada akhirnya.
Andrew mendengus dalam tawa singkat diam-diam saat kembali duduk di kursi yang berseberangan dengannya. “Ayo, Hana berdoa dulu sebelum makan ya.” Ia mengingatkan putrinya.
Hana mengangguk-angguk lalu melipat tangan. Sementara itu, Andrew juga melakukan hal yang sama. Melihat keduanya berdoa, Sakura tersenyum lagi sebelum akhirnya juga berdoa.
Baru selesai berdoa, ponsel Sakura berbunyi. Nomor tak dikenal tertera di layarnya. Ia berpikir bahwa ini adalah nomor montir yang dikirimkan bengkel langganannya. “Halo.” Ia menjawab panggilan itu dan mendapati dugaannya benar. “Ah, oke. Oke, tunggu. Saya kesana.”
“Sensei mau kemana?” Hana langsung bertanya ketika mendengar percakapan Sakura di telepon. Ia tidak jadi memasukkan sendok ke dalam mulutnya.
“Sensei mau keluar dulu sebentar. Hana tunggu disini sama Daddy ya.” Sakura membelai kepala Hana pelan dan singkat.
“Nanti kesini lagi?” Ekspresi khawatir ditunjukkan oleh gadis kecil ini. Mendapat anggukan dari Sakura, ia pun menjawab, “Kalau gitu Hana tunggu Sensei. Kita mulai makan sama-sama. Daddy nggak boleh makan sebelum Sensei kesini.”
Andrew yang tadinya menampakkan ketidakpedulian jika Sakura pergi dan hendak menyuapkan fuyunghai ke dalam mulut, akhirnya meletakkan kembali sendoknya di atas piring.
Sakura diam-diam merasa geli dan puas secara bersamaan melihat perlakuan Hana kepada Andrew. “Nggak perlu ditunggu kok, Hana. Makan aja dulu.” Ia mempersilakan tetapi gadis itu serta merta menolak dengan gestur tangan bersedekap. “Hm, iya deh. Tunggu ya, Hana.” Ia tersenyum pada Hana kemudian berpaling pada Andrew untuk sedikit mengangguk sebelum akhirnya melangkah pergi.
Tidak ingin membuat seorang anak menunggu terlalu lama sekaligus sudah merasa sangat lapar, Sakura sedikit berlari keluar dari restoran. Ia menuju ke arah tempatnya bekerja dan mendapati sebuah sepeda motor dengan pengendaranya di sebelah mobilnya.
“Maaf ya, Mang, kalau agak nunggu,” ucap Sakura pada seorang pria paruh baya berkulit gelap.
“Nggak papa atuh, neng,” katanya sambil turun dari sepeda motor. “Ini apa masalahnya, neng?”
“Kurang yakin, Mang. Tapi mesinnya nggak bisa nyala.” Sakura memberitahunya lalu menekan tombol buka pintu otomatis. Ia masuk ke dalam mobil lalu mendemonstrasikan maksudnya dengan menyalakan mesin yang memperdengarkan suara tersendat-sendat seperti sebelumnya. “Nah, gitu deh, Mang.”
Pria itu mengangguk-angguk mengerti. “Saya perlu cek beberapa bagian. Mungkin agak lama.” Ia memberitahukan sebuah prediksi.
Sakura tidak bisa menahan lapar lebih lama. Sebuah ide pun datang ke pikirannya. “Tunggu bentar, Mang.” Ia berlari ke dalam gedung dan menemukan pak Yoto sedang berjaga di posnya. Dimintanya pria gemuk itu untuk membantu memperhatikan mobilnya sembari diperbaiki oleh montir tersebut.
Pak Yoto bersedia membantu dan keluar dari gedung sambil membawa sebuah kursi. “Saya tunggu disini sampai selesai, Sensei. Percayakan sama saya.” Ia menepuk-nepuk d**a sebelah kirinya dengan telapak tangan kanannya.
“Makasih ya, Pak Yoto,” ucap Sakura padanya.
“Sama-sama, Sensei.” Pak Yoto memberi hormat dengan membungkuk singkat. Ia memang seringkali memperlakukan setiap tutor sesuai dengan bahasa yang diajar.
Sakura berpaling pada montir tadi dan berkata, “Mang, ditungguin sama Pak Yoto ya. Saya masih ada urusan.”
“Silakan, neng. Serahkan sama saya. Beres ini mah.”
“Oke. Makasih, Mang. Kalau udah selesai, kabarin aja.” Sakura mengangguk singkat sebelum pergi meninggalkan lokasi.
Sakura berjalan kembali ke restoran dengan langkah cepat. Ia mendapati Hana dan Andrew masih dalam posisi yang sama dan makanan mereka tidak berkurang. Entah bagaimana, hal ini menggoreskan sebuah senyuman lebar pada wajahnya.
[T-MSD]
Keterangan:
[1] Hore!