Halusinasi

1347 Kata
Lawang, 2011 "Hei, bangun! Kamu nggak sholat?" Jingga merasa bahunya diguncangkan dengan kuat. Hawa dingin pagi itu membuatnya enggan keluar dari balik selimut. Jingga hanya menggeliat lalu menggumam. "Hari ini aku libur." "Terus kamu nggak kerja?" Suara berat itu masih mencoba membangunkannya. Jingga membuka mata sedikit. Dia melirik jam di dinding kamar yang menunjukan pukul lima lebih tiga pulu menit. Sebuah kepala muncul dari bawah ranjangnya. "Sampai kapan kamu mau tidur?" tanya Biru. Mata Jingga melebar, seketika dia bangkit berlari menjauh dari pemuda itu dan berteriak sekencang-kencangnya. Biru mendengus lalu menggaruk-garuk lubang telingannya. "Kamu berisik! Ini masih pagi, jangan mengganggu tetangga," kata makhluk astral tersebut. "Jingga, Sayang? Ada apa?" Terdengar panggilan dari nenek dari arah dapur. "Tuh, nenekmu jadi cemas," tutur Biru. "Ng-nggak apa-apa, Yangti, hanya ada kecoa," dusta Jingga. Gadis itu lalu menatap Biru yang berdiri di depanya dengan waswas. Sosok itu benar-benar tidak berbeda dengan sahabat tengilnya dalam ingatan Jingga sepuluh tahun yang lalu. Tingginya, nada suaranya bahkan perangainya juga masih sama persis. Itulah Biru yang berusia tujuh belas tahun. Kemarin malam setelah berjalan-jalan di tempat halaman belakang sekolah, Jingga bertemu dengan pemuda itu. Jingga yang terkejut segera lari kalang kabut, kembali ke rumah dan segera tidur. Berharap apa yang dilihatnya kemarin hanya mimpi belaka. Nyatanya pagi ini hantu Biru ini kembali muncul dihadapannya. Biru melihat-lihat buku komik yang ada di rak buku milik Jingga dengan antusias. "Sudah lama aku nggak baca Detective Conan, belum tamat juga ya," kata makhluk itu dengan santai. Jingga menelan ludah mencoba menenangkan diri. Halusinasi! Ini pasti hanya halusianasi! Jingga berseru dalam hati. Karena stress yang menumpuk dia jadi berhalusinasi. Tidak mungkin sosok yang di depannya ini nyata. Jingga bukan orang yang percaya pada hantu. Setahunya setelah meninggal, jiwa manusia akan tinggal di alam barzah untuk menanti hisab. Jingga pun tidak merasa memiliki kemampuan melihat hal-hal yang gaib selama ini. "Jingga, Sayang, ayo sarapan." Neneknya kembali memanggil, kini suaranya terdengar lebih jelas karena berasal dari ruang makan. "Ya, Yangti," sahut Jingga. Jingga segera membuka pintu lalu menuju ruang makan. Tanpa disangka-sangka Biru mengikutinya. Mereka lalu duduk bersama nenek Jingga yang telah menanti di meja makan. Hari itu nenek Jingga memasak opor ayam. Jingga mengawasi neneknya yang tampak bersikap biasa saja. Yangti tak menyadari adanya sosok lain yang ikut duduk bersama mereka di meja makan. Sudah jelas, Biru pasti hanya delusi saja. Biru menatap opor ayam buatan nenek Jingga sambil bertopang dagu. "Sudah lama sekali rasanya sejak aku bisa merasakan makanan," keluhnya. Jingga melirik hantu itu sembari berusaha mengabaikannya. "Oh ya, kemarin Yangti bertemu temanmu SMA," kata Nenek Jingga. Jingga mengangkat kepalanya penasaran. "Siapa?" Nenek Jingga mengerutkan dahi mencoba mengingat-ingat. "Yangti lupa namanya. Dia yang tinggal di Kampung lor." "Seta?" tanya Jingga. Seinggatnya hanya pemuda itu yang tinggal di sana. "Mungkin, Yangti lupa," sahut sang nenek diiringi tawa. "Sekarang dia tambah gagah, dia bekerja jadi polisi, di Pos polisi yang ada di Pasar Singosari itu." "Oh, jadi sekarang dia jadi polisi!" seru Jingga dan Biru hampir bersamaan. Jingga melirik Biru. Wajah pemuda itu tersenyum tapi matanya menampakkan kesedihan yang mendalam. "Itu memang cita-citanya dari dulu. Aku ingin bertemu dia," ujar Biru. "Kenapa kamu melihat ke arah situ terus, Jingga?" tegur Yangti yang menyadari cucunya tengah melamun. Jingga hanya menyeringai lalu mulai menyantap makanan masakan neneknya. Setelah selesai sarapan, Jingga membantu neneknya mencuci piring, lalu bersiap berangkat kerja. Setelah mandi, mengganti pakaian serta memoles wajahnya dengan make up minimalis, Jingga berpamitan pada neneknya. Ketika gadis itu hendak mengeluarkan sepedah pancal, Biru sudah duduk di jok belakang sepedanya dengan menghadap belakang. "Ayo berangkat," ujar Biru. Jingga berdecak-decak. Mengapa halusinasi ini tampak nyata sekali? Nanti sore pulang kerja aku harus segera memeriksakan diri ke dokter! Jingga bergumam dalam hati. Gadis itu menaiki sepedanya lalu mencoba mengayuh. Jingga terkejut karena pedal sepedanya terasa berat seolah benar-benar ada orang yang duduk di jok belakang. Jingga terdiam sejenak sembari memandangi Biru yang menghadap ke arah berlawanan dengannya. "Aku nggak bisa menyetir, nanti orang-orang pada teriak kalau aku yang menyetir. Jangan protes kalau berat," tutur pemuda itu seolah tahu apa yang dipikirkan Jingga. Jingga melengos lalu mulai mengayuh sepedanya. Beruntung jalan menuju perusahaan tempatnya bekerja jalannya turun. Tapi Jingga tak dapat membayangkan bagaimana nasibnya jika harus pulang nanti dengan membonceng hantu tersebut. "Berat sekali beban hidupku," keluh Jingga. Sesampainya di tempat parkir kantor, kebetulan ada Bu Riska, atasannya, yang juga baru saja memarkir motornya. Wanita tersebut segera menyapa Jingga dengan ramah. "Aku lihat kemarin kamu sudah mulai PDKT dengan Krisna," goda Bu Riska. Jingga terperanjat lalu menggeleng-geleng dengan cepat. "Bukan begitu, Krisna itu teman saya waktu masih SMA dulu," dalihnya. Bu Jingga menyeringai. "Lho, malah bagus kalau kalian sudah saling kenal, ayo pepet saja terus!" dukung Bu Riska penuh semangat. Biru menatap Jingga dengan senyum usil, seolah dapat memahami situasi apa yang terjadi. "Jadi sekarang kamu PDKT dengan Krisna?" godanya. "Bukan! Kami hanya teman!" elak Jingga. Tak lama kemudian, suara motor buntut terdengar. Munculah Krisna, yang tengah mereka bicarakan. Pria itu memarkir motor tepat di samping sepeda milik Jingga. Setelah membuka helm, dia menyapa Bu Riska dan Jingga dengan ramah. Biru tersenyum semringah pemuda itu mendekati Krisna dengan riang. "Ini kamu, Krisna? Nggak nyangka kamu bisa jadi keren begini. Padahal dulu aku selalu meragukan masa depanmu," tutur Biru. Sembari memandangi penampilan Krisna. Jingga mengamati wajah Krisna dengan saksama. Tak ada perubahan mimik atau apa pun, Biru tak tampak bagi Krisna. "Kemarin pulang kerja kalian kencan ke mana?" tanya Bu Riska. Jingga dan Krisna tertegun sesaat lalu segera menggeleng-geleng kuat. "Kami nggak kencan!" elak keduanya kompak. "Kami hanya menemui teman kami semasa SMA dulu," tambah Jingga. Bu Riska dan Biru tertawa. "Kok kalian bisa kompak begitu?" tanya Bu Riska. Biru mendorong bahu Krisna dengan usil. Krisna tidak mempersiapkan diri, sehingga tubuhnya oleng dan menabrak tubuh Jingga. "Maaf, aku nggak sengaja!" kata Krisna panik. Dia lalu memandangi ruang kosong di sampingnya dengan bingung. "Rasanya ada yang mendorong tubuhku tadi." "Ah, kamu nggak usah modus begitu, Krisna!" olok Bu Riska. Wanita itu kembali menggoda Krisna. Jingga tak memerhatikan mereka, matanya membelalak. Dia menatap Biru dengan nanar. Kenapa Krisna bisa merasakan dorongan Biru barusan. Apakah makhluk yang ada diharapannya ini benar-benar hantu dari Biru ataukah hanya delusinya saja? Lantas mengapa hanya dirinya yang bisa melihat sosok tersebut? *** "Bukan aku," tegas Biru ketika Jingga menunjukkan private message yang dikirimkan oleh akun bernama Samudra Biru pada akun Facebooknya beberapa hari yang lalu. Pemuda itu duduk di kursi putar milik Pak Dodik yang berada tepat di sebelah kursi Jingga dengan santai. Para rekan kerjanya sedang tidak ada di ruangan saat itu, sehingga Jingga dapat bercengkrama dengan sosok hantu Biru tanpa takut dianggap gila. "Bukan? lalu siapa?" tanya Jingga sembari mengerutkan keningnya bingung. "Yang jelas bukan aku, aku bahkan nggak tahu f*******: itu apa," kata Biru. Jingga terpegun. Betul juga, Biru meninggal sekitar tahun 2002 sementara f*******: sendiri baru booming sekitar tahun 2004. Jingga memegangi dagunya sembari berpikir. Mungkin pelakunya adalah salah satu dari kelima sahabatnya yang lain. Tapi siapa kira-kira yang melakukan hal ini? Lalu apa tujuannya? Biru menatap program SPSS yang terpampang di layar komputer Jingga. "Aku nggak nyangka sekarang kamu kerja di bagian pengolahan data statistik. Kupikir kamu benci matematika," kata Biru. Jingga tersenyum kecil lalu mulai bekerja kembali. "Setiap kali mengerjakan soal matematika aku selalu mengingatmu," kata Jingga. "Aku pikir aku akan membanggakan diri jika bertemu denganmu nanti bahwa aku sudah lebih jago matematika." Biru menopang dagunya lalu tersenyum sembari mengamati wajah Jingga. "Ternyata kamu sebegitu sukanya sama aku ya," goda Biru. "Aku jadi ingat, SMS terakhirmu dulu." Jingga terperangah. Wanita itu hampir melompat dari kursinya karena terkejut. "Kamu baca?" seru Jingga. "Baca apa?" tanya Pak Dodik bingung. Pria bertubuh tambun itu berdiri di depan pintu dengan membawa secangkir kopi. Jingga tertawa ringkih lalu menggeleng. "Saya lagi baca SMS, Pak," dusta Jingga. "Oh, begitu." Pak Dodik melangkah ke kursinya lalu mendudukinya begitu saja tanpa tahu bahwa ada Biru yang duduk di sana. Biru pun tergencet tubuh pria berlemak itu. Biru menjerit penuh derita sembari mendorong Pak Dodik. "Aduh, kenapa kursi ini rasanya jadi nggak nyaman ya? Rasanya agak keras," keluh Pak Dodik. Jingga tidak bisa menahan senyumnya melihat adegan tersebut. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN