Namanya Hadwan

1606 Kata
Satu bulan sudah Arisha bersekolah di SMA Harsa. Masih ingat, kala dia marah-marah di taman karena jatuh oleh lelaki yang dia panggil Wawan, karena Intan memanggilnya dengan sebutan 'Wan'? Saat istirahat, lelaki itu mencari gara-gara dengannya lagi. Hadwan sengaja menukar seblak miliknya dengan punya lelaki itu. Terlepas dari jabatan Hadwan sebagai ketua, Arisha langsung melabrak Hadwan di sekretaris English Club. Dia tidak malu meskipun banyak orang yang memperlihatkan mereka, karena memang sudah sering malu-maluin. "Gantiin, nggak mau tahu!" "Dih, buat apaan?" Hadwan hanya meliriknya sekilas, kemudian fokus lagi pada laptop di depannya. Arisha semakin naik pitam melihat tingkah pria yang lumayan ganteng itu. "Karena kamu salah lah. Tanggung jawab!" teriaknya semakin marah. "Hadeh, aku kamu. The real of benci jadi cinta," kata Ikhwan—lelaki yang duduk di sudut ruangan sambil memangku referensi proposal dari kelas dua belas—lebay. "Apaan, deh, lo?" Arisha langsung mendelik. Ikhwan itu teman satu kelasnya. Jadi, dia sudah tidak menggunakan aku kamu lagi karena merasa sudah akrab. Intan menariknya untuk duduk di depan Hadwan, daripada marah dan membuat Arisha semakin terlihat tua, lebih baik gadis itu duduk tenang sambil makan seblak yang sudah ada. "Udah. Makan aja yang ada. Rasanya sama aja," kata Intan sambil mengambil kembali minuman Cappuccino Cincau di atas meja. Di ruang sekre ini, mereka duduk lesehan dengan meja di tengah-tengah. "Bedaaa. Ini pedes, gue nggak suka." Hadwan akhirnya mendongak. Dia kira, Hadwan akan merasa bersalah karena sudah iseng. "Lo cemen banget, pedesnya dikit juga." "Pedesnya dikit juga." Arisha menirukan ucapan Hadwan barusan. Hih, memang benar kalau ada yang bilang, jangan terlalu berekspektasi lebih pada manusia. "Rasain, nih, sendiri. Udah kayak makan koyo cabe satu dus ini lidah." "Emang koyo cabe apa?" Babang yang tadinya main game pun menyimpan gawai. Temannya ini berasal dari planet mana? Benda seperti itu pun sampai tak tahu. "Itu, lho, yang sering dipakai di kepala kalau lagi pusing sama emak-emak." Bagus. Untung, Intan menjawabnya. Arisha sedang tidak mood. Mau beli seblak lagi, tetapi malas ke kantin. Mau makan yang ada, tidak enak. Nanti perutnya bisa sakit, masuk rumah sakit, the end. "Buat lo aja, Tan." Arisha menggeser styrofoam kotak ke hadapan Intan. Wajahnya terlihat murung. Hadwan sukses membuat dia malas makan. "Hih, makasih, Bestie." Tentu Intan akan menerimanya dengan suka hati. Lumayan gratis. Kemudian, Babang dan Ikhwan ikutan makan. Disusul oleh Reva yang tiba-tiba rela duduk di atas meja untuk ikut menyicipinya. "Revisi." Mata bulat Arisha semakin melotot saat Hadwan menyerahkan laptop. Tunggu, dia bukan siapa-siapa di sini. Dia hanya seksie Hubungan Masyarakat—itupun karena dia kecolongan. Intan terlanjur menulis namanya di bagian itu, tanpa sepengetahuan dirinya. Kenapa jadi dia yang revisi? Tidak ada otak apa, si Hadwan ini!? "Mikir aja sendiri. Emang aku siapa? Kamu siapa?" "Geli, sumpah gue dengernya. Kenapa harus aku kamu, sih?" "Ribut aja terus," timpal Adinda lirih yang baru masuk sekre, tetapi langsung disuguhkan oleh pemandangan yang tak asing lagi. Meskipun baru kenal satu bulan, keributan dia dan Hadwan langsung terkenal ke jagat raya sekolah. Apalagi, mereka sering satu ekskul terus. Gadis dengan bandana merah muda tersebut menghampiri Ikhwan, meminta absen minggu kemarin. "Lebih geli lagi kalau aku bilang gue lo. Emang kita sedekat apa, huh?" tanya Arisha sinis. Hadwan tersenyum miring. Arisha lupa, kalau pertama kali mereka bertemu, dia langsung memanggilnya dengan sebutan itu. Dia sengaja semakin mendekati Arisha, membuat gadis itu mundur sambil terpentok tembok. Padahal jaraknya tidak sampai 30 senti. "Kurang deket apalagi?" "BALIK KE HABITAT!" Arisha berteriak, mengambil buku dan memukul wajah Hadwan pelan sampai lelaki itu benar-benar mundur. "Revisi cepet." "Gue bukan sekretaris. Kenapa harus gue?" Arisha tidak akan mau, meskipun Hadwan sampai minta-minta. "Katanya kita nggak sedekat itu. KATANYA, lho. Itu apa?" Hadwan semakin gencar menggoda Arisha. Pipi gadis itu sampai memerah dibuatnya. Bukan karena blushing, dia kesal. "Kan lo tadi maksa, ya udah." "Gue nggak maksa. Bang, emang tadi gue maksa dia?" Babang yang masih sibuk makan seblak menjawab tanpa menoleh. "Nggak." Hadwan menatap Arisha kembali, merasa menang. Hadwan, kok, dilawan. "Kata dia pun nggak. Lo doang yang merasa." Asli, menyebalkan. Kalau bisa, dia mau gusur Hadwan sampai ke Jati Gede. Dia buang sekalian ke Gunung Surian. Arisha menghela napas sangat panjang beberapa detik setelahnya. "Katanya mau revisi. Mana!" "Gue siapa? Lo siapa?" Hadwan mengulang kembali ucapan Arisha tadi. Wajahnya yang mengejek membuat dia ingin menendang meja sekarang juga. Sabar. Orang sabar disayang Allah, kan? "Terserah kalau nggak mau. Padahal, di sini gue cuma jadi Humas doang. Baik hati banget, sih, gue kalau sampai mau." "Bagian dana masih salah. Lo ketik." Hadwan akhirnya memutar laptop. Arisha mendekatkan kepalanya sejenak. "Satu ketikan, gocap." "Astaghfirullah, Arisha. Berdosa sekali kamu ini!" Arisha menelan saliva sesaat, mereka pasti salah sangka. Saat dia menoleh, tampang Babang dan Ikhwan yang saling pandang menjadi dia tahu kalau; mending diam kalau lagi sama Hadwan. ••• Olahraga kali ini membuat Arisha ogah-ogahan keluar kelas. Adanya jadwal yang diubah karena salah satu guru PJOK—Pak Ginting—keluar, menjadikan anak IPA satu kelas dengan anak IPS. Sialnya, kelas dia digabungkan dengan kelas Hadwan. Sangat susah sekali cobaan hari ini, Ya Allah. "Lo bawa karet? Bawa karet nggak?" Fikri menanyakan pada setiap anak kelasnya yang lagi duduk di tepian lapangan. "Buat apa?" tanya Arisha bingung. "Main Sapintrong." "Oh." Arisha tidak menimpali lagi, lagipula dia tidak bawa. Namun, kalau main, dia akan ikutan. Anak kelasnya ini sangat suka dengan permainan tradisional. Ditambah katanya termasuk masa kecil kurang bahagia. Setelah karet kekumpul, mereka kompak menguntun setiap karet. Kecuali Arisha. Dia malah memainkan karet kuning itu, seakan siap untuk mencepret apapun yang lewat. Street! Karet yang tak sengaja terlepas melayang, hingga akhirnya mengenai kaki seseorang yang tengah lari di tengah lapangan. Lelaki itu menjerit tertahan. Mengambil karet dan mengedarkan pandangannya. Arisha menelan saliva, memandang ke arah lain. Tangannya yang bebas sesekali menggaruk hidung. Hadwan yang tengah memakai pakaian futsal karena baju olahraganya belum kering itu memicingkan mata pada Arisha. Dia sangat curiga, kalau Arisha yang melakukannya. Arisha pasti sengaja—ingin balas dendam. Dia berangsur mendekat. Namun, Arisha masih diam. Saat melihat sepatu olahraga full navy milik Hadwan pun, dia tetap memalingkan wajah. Sebagian anak langsung memperhatikan keduanya sambil mengikat karet. Sedangkan Babang dan Intan memainkan karet mereka yang mulai panjang. "Heh, Arisan." Hadwan memanggil Arisan, bukan dirinya. Jadi, tidak salah dong kalau dia tidak menoleh barang sejenak. "Anak baru!" Hadwan memanggilnya lagi. Merasa geram karena sudah lama tak mendapatkan jawaban, Hadwan melingkari tubuh Arisha, berjongkok di depannya sampai membiat dia spontan mundur. "Punya masalah apaan, sih, lo sama gue?" tanya Hadwan langsung. Arisha merotasikan bola mata malas. Kebalik! Yang ada, harusnya dia yang bertanya seperti itu pada Hadwan. "Lo yang punya masalah apa sama gue?" Tatapan mereka silih beradu, memandang tajam satu sama lain. "Lo yang lempar karet tadi, kan?" Hadwan menampilkan karet tadi, tepat di depan wajah Arisha. Gadis itu langsung mengigit bibir bawahnya. "Ya maaf. Gue nggak sengaja," kilahnya terlihat sombong. Hadwan sampai mengepalkan tangan kiri tepat di depan wajah Arisha langsung. Merasa kalau dia pun punya, Arisha melakukan hal serupa. Kalau Hadwan mengajak baku hantam, tentu dia akan sangat siap. "Yang ikhlas kalau minta maaf." "Maaf, gue nggak sengaja." "Yang bener. Maaf, ya, Hadwan. Tadi gue sengaja karena lo nyebelin. Yang jujur kalau minta maaf!" kata Hadwan memberikan contoh. Padahal, ucapan Hadwan tidak sepenuhnya benar. "Gue emang nggak sengaja, Wawan." "Nama gue Hadwan, Arisan." Hadwan menyentil ujung sepatunya. Sudah pasti tidak kerasa, lah wong kaki dia pun berada jauh dari ujung sepatu. "Nama gue juga Arisha, bukan Arisan." Keduanya silih menatap tajam kembali, sebelum akhirnya guru muda olahraga kelas sebelas memecahkan keduanya. Menyuruh setiap kelas untuk berbaris dan pemanasan. Berhubung Arisha makhluk paling berani di kelasnya, dia rela berdiri paling depan di samping kelas anak IPS lagi. Mana yang memimpin pemanasan si Hadwan. Sambil menghitung, dia melirik lelaki itu beberapa kali. Hadwan yang menyadari langsung melotot, mengundang Arisha untuk menahan senyuman. Muka Hadwan yang tertekan membuat dia bahagia. "Kita praktekan senam SKJ untuk tes minggu depan. Hadwan, pimpin teman-teman kamu." Arisha kembali terkekeh melihat wajah Hadwan yang semakin tertekan. Intan yang berada di sebelahnya sampai memegangi kening Arisha beberapa kali. "Lo kesambet? Biasanya, murid baru di sini selalu didatangin sama penghuni sekolah," ujar Intan dengan serius. Arisha hanya mengangkat bahu tak acuh. Hingga akhirnya, kembali mengikuti gerakan Hadwan dengan semangat. Semangat banget melihat Hadwan yang kesusahan, maksudnya. "Pak! Saya butuh teman untuk memeragakan di depan," lapor Hadwan berhenti sejenak. Membuat mereka pun ikutan diam. Pak Herwan yang duduk di tepi lapangan mengecilkan volume musik. "Ya, terserah kamu. Pilih saja yang gerakannya bagus dan punya semangat tinggi." Jawaban dari Pak Herwan membuka kesempatan Hadwan untuk memasang strategi baru. Lelaki itu tersenyum devil. Dia tidak mau kalau dirinya saja yang malu di depan. "Arisha. Ayo, sini. Kelihatan semangat banget dari tadi." Arisha kontan tersedak ludahnya sendiri. Dia menatap Intan, meminta bantuan. Menyuruh gadis itu untuk menemani Hadwan. "Lo aja." "Lo yang disuruh. Kok gue?" kata Intan menolak. "Ayo, cepat. Supaya kalian cepat istirahat," teriak Pak Herwan disusul oleh murid lain. "Buruan, Sha. Lo bisa, lo hebat." Babang ikutan teriak. "Yuk, bisa, yuk. Biar cepet nge-bakmie." Dengan terpaksa, muka ogah-ogahan yang sangat terlihat, Arisha berdiri di samping Hadwan. Dia menatap lelaki itu tajam. "Kayak jomblo ngenes aja. Sendiri lebih enak padahal." Musik kembali menyala. Mereka kembali senam dengan semangat, demi cepat istirahat. "Beda konsep!" bisik Hadwan sedikit mendekat. "Lo ... jangan dekat-dekat. Modus, ya, lo?" Arisha kembali melotot. Sambil tertawa, Hadwan melakukan hal serupa. Dia malah lebih gencar mendekati Arisha. Siapa suruh kalau mukanya terlihat lebih menggemaskan. "Berani deket, golok melayang!" Sungguh nekat wanita satu ini. Hadwan semakin senang untuk menjahilinya lagi. Sepertinya, dia harus membuat list untuk mengacaukan mood Arisha ke depan. Hadwan tidak sabar untuk melakukan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN