Bab 2 - The Bad News

1405 Kata
Rani berjalan menuju ruangan dengan wajah yang masih khawatir dengan keadaan malaikat kecilnya. Walaupun sepanjang jalan Deeva masih berceloteh ria mengenai bagaimana sekolah dan perlakuan teman-temannya yang menyenangkan. Tapi, Rani masihbsaja tak tenang. Melihat memar kebiruan di tangan dan punggung Deeva, belum lagi radang gusi yang dia alami selama satu bulan terakhir membuatnya takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan kepada Deeva. "Kepagian lagi mbak?" Tegur Ratih, Office girl yang bertugas membersihkan ruangannya. Dia merapikan beberapa berkas di mejanya sebelum kemudian kembali mengambil sapu yang dia bawa. "Biasa, Tih. Dibangunin Baby Girl." Rani meletakkan tas kerja hitam, lalu duduk dan menghidupkan laptop. "Baby Girl kebiasaan bangun pagi ya, bu?" Pertanyaan Ratih kujawab dengan anggukan. 'Baby Girl' memang panggilan kesayangan para pegawai sini kepada Deeva. Semenjak Rani naik pangkat, dia sering membawa Deeva ke kantor. Deeva bukan anak yang suka mengganggu, dia selalu duduk diam bermain sendiri dengan nainan-mainannya atau menggambar. Pembawan Deeva yang riang, celetukan-cetukan ringan yang selalu dia lontarkan kepada para pegawai, kecerdasaan Deeva, serta wajah yang selalu tersenyum ceria membuat semua pegawai menyukainya terutama Ratih, yang menjadi tempat penitipan jika dia harus menghadiri rapat penting. "Baby girl-nya nggak dibawa ke sini mba? Kangen saya sama lesung pipinya," tanya Ratih sembari tersenyum mengingat betapa manisnya senyuman Deeva. "Deeva agak kurang sehat, Tih. Ini saja saya mau izin pulang buat ngater dia ke dokter setelah ngasih laporan ke Pak Alan," jawab Rani sedih. Ratih terlihat murung mendengar anak imut yang begitu dia sayangi sedang kurang enak badan. "Saya doakan cepat sembuh ya, Mbak." Ratih memberi semangat. "Iya, Tih." "Saya permisi dulu, mbak." Rani mengangguk saat melihat ratih keluar dari ruangannya. Jam masih menunjukan 7.15, 45 menit lebih awal dari jam masuk kantor. Dia mengela napas sebelum matanya menjelajah memperhatikan ruangan yang dia tempati selama 6 bulan terakhir. Foto-foto Deeva yang menggantung di dinding ruangannya. Foto yang selalu jadi penyemangatnya menjalani hari di tengah kesibukan. Diselami foto-foto itu, mengingat masa-masa pertumbuhan Deeva yang begitu cepat membuatnya sedikit tak rela. Senyum sumringahnya terukir saat melihat Foto Deeva yang sedang menaruh jari telunjuk di depan mulut kemudian mengedipkan sebelah matanya. Begitu menggemaskan. Entah siapa yang menurunkan sifat riang dan centil yang sering Deeva perlihatkan. Dia bahkan tak canggung untuk bergaya di depan kamera setiap ada moment yang bagus membuat Rani memiliki banyak foto-foto menggemaskan yang kini memenuhi memori ponsel pintarnya. Entah dari siapa Deeva menurunkan sifat riang dan centil seperti yang biasa dia lakukan. Sifatnya yang supel dan mudah berteman dengan siapa saja, berbeda dengannya yang pemalu dan cenderung introvert. Wajahnya berubah sendu mengingat Deeva tak pernah mendapat kasih sayang dari Ayah dan Kakek - Neneknya. Dia dengan Ayah Deeva memang dijodohkan. Ibunya dan Ibu pria itu bersahabat dari SD dan mempunyai janji akan menjodohkan anak mereka nanti. Sebuah perjanjian konyol yang akhirnya membuatnya terjebak pernikahan dengan Pria itu. Saat itu usianya baru 19 tahun sedangkan pria itu berusia 24 tahun. Awal-awal pernikahan terasa berat untuknya. Bulan pertama dia dan pria itu sama sekali tidak pernah berinteraksi. Pernikahan mereka jalani dengan berat hati. Tapi, saat itu Rani berusaha menjadi istri yang baik. Menyiapkan pakaian, sarapan tiap pagi, membersihkan apartemen kecil yang mereka tempati dan lain-lain di tengah kesibukan kuliahnya. Hingga akhirnya, pria itu mulai meruntuhkan dinding es yang dia bangun dan mereka menjalankan pernikahan senormal mungkin. Perasaannya membuncah saat pria itu menyentuhnya. Pria yang dia harapkan akan menjaganya seumur hidup dan mulai membuka hati untuk mencintainya, seperti Rani yang mulai mencintai pria itu Sampai akhirnya di 8 bulan pernikahan mereka, Rani merasakan hal aneh terjadi di dalam dirinya, awalnya dia berpikir hanya pengaruh stress karena sidang skripsi yang ia jalani. Akselerasi 2 tahun saat smp dan sma sehingga membuatnya menjadi sarjana di umurnya yang masih awal 20 tahunan. Di hari berbahagia setelah wisudanya, Rani memberanikan diri untuk memeriksakan dirinya ke dokter dan menemukan bahwa dirinya hamil 2 bulan. Rani tak percaya saat merasakan keajaiban yang tumbuh di dalam rahimnya, sesuatu yang tumbuh dari orang yang halal untuknya dan dia cintai. Hati Rani teriris saat mengingat bagaimana pria itu menyuruhnya aborsi di saat dia sedang bahagia mengetahui ada kehidupan yang tumbuh di dalam tubuhnya. Rani saat itu baru mulai mencintainya. Cinta yang awalnya baru mulai tumbuh kembali layu saat belum sempat berkembang saat mendengar ucapan pria itu. Mata Rani mulai berkaca-kaca saat mengingat kepergian diam-diamnya dari pria itu. Tanpa membawa apapun kecuali tabungan yang telah jauh-jauh hari ia miliki dan buku nikah miliknya Tanpa memberitahukan siapapun termasuk keluarganya, ia pergi ke Kalimantan memulai hidup yang baru dengan Deeva yang masih berada di perutnya. Di sanalah diaa bertemu dengan Tami, orang yang menjaganya dan menghentikan cemoohan orang-orang disekitarnya. Sampai akhirnya ia di terima di perusahaan yang iseng-iseng ia ikuti, 2 tahun setelah masuk di perusahaan itu, ia dipindah tugaskan kembali ke kota dimana kantor pusat perusahaan itu berada hingga sekarang. Tok tok tok... Suara pintu mengalihkan perhatian Rani, segera ia menghapus air matanya yang keluar. "Masuk." Rani membenarkan pakaiannya lalu menatap ke arah pintu. "Mba, maaf ganggu, tadi Pak Alan nelpon, mba disuruh ke ruangannya membawa laporan yang diminta Pak Alan." ucap Alexa, asisten Rani. "Owh, iya Lex saya lupa. Terima kasih," ucap Rani, segera berbenah diri lalu mengambil laporan yang telah dia persiapkan. Menarik napas dalam untuk menenangkan diri lalu berjalan menuju ruangan Direktur Keuangannya. "Permisi, Pak," sapa Rani setelah mengetuk pintu. Alan, Direktur Keuangannya memberikan kode Rani untuk menunggu karena ia sedang menelpon seseorang. "Iya yank, nanti lansung pulang kerumah setelah setelah selesai kantor, udah dulu ya ada Rani mau ngasih laporan bulanan." "..." "Iya, Love you.. jaga dua malaikat kita, bisikan kepada mereka kalau aku begitu menyayangi mereka." Rani tersenyum saat melihat Bosnya itu yang sedang menelpon mantan atasan nya dulu yang notabene istrinya. Merasa iri melihat kemesraan yang diperlihatkan kedua atasan nya, hatinya linu saat mendengar ucapan manis atasannya kepada Istri dan kedua buah hati mereka. Di dalam lubuk hati yang terdalam ingin rasanya dia mendengar pria itu mengucapkan kata-kata yang sama kepadanya dan Deeva, namun itu hanya impian nya, sesuatu yang susah untuk menjadi kenyataan. "Sorry lama, Ran," ucap Pak Alan membenarkan kursinya. "Nggak papa pak, Mba Aurora?" Tanya Rani yang dijawab anggukan semangat bosnya itu. "Iya, dia lagi kerepotan twin angels lagi rewel habis di Imunisasi kemaren." "Biasa pak, Deeva juga kalau abis Imunisasi juga gitu, suruh mba Aurora kasih ASI yang banyak pak" ucap Rani. Alan tersenyum sembari mengangguk mengingat nasehat Rani. "Ini pak laporan nya." Rani meletakkan laoprannya di meja Alan. "Anak kamu apa kabar? tumben nggak dibawa kemari, saya dengar dia menjadi idola baru di antara para karyawan ya,Ran." Alan terkikik mengingat bagaimana cerdas dan kritisnya anak Rani. "Di sekolah pak. Nanti kalau anak-anak bapak sudah sebesar Deeva juga bakalan jadi idola para karyawan pak, malah Deeva harus menyingkir ntar," ucap Rani memancing tawa Alan "Bisa aja kamu." "Owh iya, saya dengar kamu lembur lagi? jangan terus memaksakan diri Ran, saya nggak mau dituduh sebagai atasan yang terlalu mengeksploitasi karyawannya. Kasihan anak kamu kalau harus ditinggal sendirian di rumah," ucap Alan dengan nada serius membuat Rani tersenyum tipis. "Baik, Pak." Rani mengangguk, pikirannya kembali melayang membayangkan bagaimana malaikatnya. Dadanya sakit membayangkan bagaimana malaikatnya kesepian saat malam tanpa kehadirannya. Rani hanya dapat bertemu malaikatnya pagi hari di saat Baby girlnm membangunkannya, sedangkan selebihnya Deeva lebih sering bersama dengan Tami. Tiba-tiba handphone Rani berbunyi, Rani mengambil hapenya, keningnya berkerut saat melihat ID yang menelpon salah satu guru Tk Deeva. Rani memandang Alan seolah meminta izin untuk meangkat telepon. "Angkat aja Ran." Dengan segera Rani mengangkat teleponnya. "Hallo, Assalamualaikum." "Haloo Bu Rani, bisa ke rumah sakit Medika sekarang?" ucap Guru Deeva terdengar panik. "Dee... Dee va, kenapa Bu?" ucap Rani ikut - ikutan panik, ia tidak memperdulikan Alan yang sedang menatap bingung kepadanya. "Deeva mimisan, terus pingsan di sekolah bu. Kami bergegas membawa dia ke rumah sakit." Rani menjatuhkan Handphonenya, ia merasa ada petir yang menyambar saat mendengar anak kesayagannya masuk rumah sakit, lututnya lemas, otaknya tak dapat berpikir, wajahnya berubah menjadi pucat pasi. "Kamu kenapa?" ucap Alan bingung melihat Rani. "Sa.. saya izin keluar pak, Deeva masuk rumah sakit," kata Rani dengan nada suara bergetar. Tanpa menunggu jawaban dari Alan, Rani berlari menuju pintu keluar. Ingin segera menuju rumah sakit. Rani panik, tangannya terus gemetaran. Ketakutan akan kehilangan Deeva membayangi pikirannya, ia berlari tanpa memperdulikan para pegawai yang menatapnya bingung, beberapa kali ia menabrak orang yang berjalan di sepanjang koridor, Pikirannya hanya terfokus kepada keadaan buah hatinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN