1. Mr. Sunny

2390 Kata
Pagi masih terlalu dini ketika Alarice berdiri di halte bus. Ia seorang diri bertemankan ponsel di tangan yang sesekali ia lirik, mengecek jam guna memastikan jika sebentar lagi bus direksinya akan segera muncul. Alarice memilih duduk di bangku halte sembari terus memandang ke jalanan yang terhampar di hadapannya. Ini memang masih terlalu pagi, bahkan langit pun belum sepenuhnya terang. Namun lucunya, Alarice telah buru-buru ke tempat ini hanya karena ia tak ingin bertemu dengan Arkan. Ya, kali ini ia benar-benar tak ingin bertemu cowok yang telah membuat kesabarannya habis akhir-akhir ini. Entah mengapa, sejak lima hari lalu, Arkan berubah menjadi pribadi yang mengesalkan. Gledek… Alarice hampir terloncat dari tempatnya ketika sebuah suara gemuruh muncul. Sepasang matanya memandang ke langit dan ya, ia langsung menemui awan kelam karena mendung. Ah, mendung… Tiba-tiba saja pikirannya melayang ke beberapa tahun lalu. Saat-saat di mana ia masih berstatus sebagai siswa SMP dan di sana lah semua hal mengerikan terjadi. Perlahan, memori pahit itu berjalan sendiri di kepalanya bagai tayangan video yang mempertontonkan segalanya. Semua hal yang telah berlalu dan ingin dikuburnya dalam-dalam. “La! Ayo dong, lo kan udah janji bakal pergi bareng kita.” Alarice menoleh ke sisi kanan dan mendapati tiga gadis berseragam SMA tengah mengejari seorang gadis yang juga memakai seragam yang sama dengan mereka. “Ah gak asik lo La! Padahal udah janji juga bakal traktir kita hari ini. Ayo dong! Lo lupa sama janji lo?” Salah satu dari mereka yang berambut panjang telah berhasil menggapai lengan si gadis bertampang murung itu. “Iya ih, lo kan udah janji!” Timpal si gadis berambut kucir. “Aku kan udah kasih kalian uang tadi sebagai gantinya. Aku serius gak bisa ikut kalian sekarang. Aku harus ke sekolah.” Anak SMA berkacamata yang sedari tadi dauber-uber itu akhirnya mlepaskan pelan tangan temannya itu, lalu berniat untuk kembali melanjutkan langkahnya. Namun, belum juga ia berjalan jauh. Salah seorang dari mereka justru kembali menghadangnya dan kini mereka telah berada tepat di hadapan Alarice. “Gak bosen apa sekolah mulu? Otak lo juga udah encer, apaan lagi sih yang mau lo kejar? Mending nih ya ikut kita gitu, have fun sekali-kali.” Alarice memandang jengah pada sekumpulan orang-orang di hadapannya ini kemudian berdiri. Ia terlihat seperti tak lagi memiliki kesabaran untuk mendengarkan tiap ocehan dari tiga orang yang tak dikenalnya itu. “Lala?!” Serunya setelah membaca name tag di bagian d**a si gadis yang tak berdaya itu. Sontak, mereka memandang terkejut ke arah Alarice, termasuk Lala, gadis yang baru saja dipanggilnya. “Ya ampun La, gue udah lama banget gak ketemu sama lo! Apa kabar?” Tanpa pikir panjang Alarice memeluk Lala dan mendekapnya erat. Tak dibiarkannya gadis itu memprotes atau memberi reaksi atas sikapnya ini. “Gimana keadaan lo sekarang? Baik kan?” Alarice masih terus mengoceh dan membiarkan orang-orang itu melongo tak mengerti. “Papa sama mama gue udah nanyain lo mulu. Katanya kalo di SMA ini lo masih sering ngalamin yang kaya dulu, papa juga bakal bantu lo lagi. Kalau dulu tuh anak di drop out dari sekolah, kali aja sekarang orang-orang yang gangguin elo bisa dipenjara.” Mendengarnya, seketika tiga cewek berpenampilan hypes itu mundur. Mereka sempat melemparkan cibiran dan tatapan kesal ke arah Alarice, sebelum akhirnya pergi dengan gestur ketakutan. “Kamu gak papa?” Tanya Alarice pada cewek yang masih memandang nanar punggung tiga temannya yang menjauh itu. “Ah enggak.” Lala menggeleng. “Makasih.” Imbuhnya pelan. Dari sikapnya ini, Alarice dapat menangkap alasan dibalik Lala yang diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya. Ya, karena ia senantiasa menjadi sosok yang hanya menerima tanpa sekalipun mencoba untuk melawan mereka. Melihat Lala, membuat Alarice teringat akan dirinya di masa lalu. “Lain kali lo bisa kok coba tegas ke mereka. Kali aja mereka takut dan gak berani gituin lo lagi.” Ucap Alarice. Lala tersenyum simpul, “Aku cuma gak mau ribut kok. Udah gak papa. Sekali lagi makasih ya.” Gadis itu menunduk pelan kemudian berlalu pergi begitu saja. Alarice hanya memandangi punggung gadis yang berjalan cepat menyusuri trotoar itu tanpa berkata. Ia bisa menangkap sosoknya di masa lalu pada gadis itu dan entah mengapa, mendengar jawabannya barusan membuat Alarice sedih. Ia sedih karena gadis yang tak dikenalnya itu masih harus terjebak pada rasa takutnya sendiri. “Al!” Sebuah suara membuat Alarice tersentak. Ia menoleh dan mendapati Arkan dengan motor sport hitamnya telah berdiri di pinggir jalan, tepat di sampingnya. “Lo tau gue di sini?” Balas Alarice heran. Ia telah berusaha menghindari cowok yang baru saja membuka helmnya itu, namun akhirnya ia kalah. “Lo ngapain sih ngehindarin gue gini? Masih marah?” Arkan mendorong motor yang masih ditungganginya agar dapat menyeimbangi derap Alarice yang berjalan tak mengacuhkannya. “Ayo dong Al, maafin gue. Yaelah gue becanda juga bilang ke anak-anak kalo lo pacar gue. Masa itu aja lo marah sih? Udah ah ayo, naik sini.” “Becanda lo gak lucu tau gak sih?” “Iya iya, gue tau. Udah dong ngambeknya. Ayo!” “Enggak, gue gak mau pergi sama lo. Entar yang ada anak-anak pada ngira gue beneran pacaran sama lo lagi.” “Terus lo mau naik apa ke sekolah?” “Naik bus, naik taksi, apa aja yang ada deh asal gak sama lo.” “Yaudah sih, kalo gitu tas lo aja yang gue bonceng!” Secara tiba-tiba Arkan menarik tas yang sedari tadi dijinjing Alarice di lengan kirinya lalu cepat-cepat pergi. Entah sejak kapan cowok itu telah menghidupkan mesinnya tanpa Alarice sadari dan membawa pergi tasnya. Jika begitu, itu artinya ia tak bisa sampai ke sekolah karena dompetnya juga berada di dalam tas tersebut. “Arkan!!!!” Teriaknya spontan. Cowok bersetelan seragam SMA dan jaket jeans itu mendadak berhenti lalu memutar motornya kembali ke arah Alarice. “Jadi gimana neng, mau naik ojek abang atau jalan kaki?” “Ih Arkan!!!! Siniin tak gue!” “Bodo!” Arkan menjauhkan tas di tangannya dari Alarice yang hendak menggapai benda tersebut lalu melanjutkan kalimatnya, “Pilih satu, naik atau jalan kaki?” Alarice menggigit bibir bawahnya kesal seraya berpikir. Akhirnya, ia tak memiliki opsi lain selain naik ke boncengan Arkan tanpa lagi berkata-kata. Tentu, mana mungkin ia memilih jalan kaki jika jarak dari tempatnya sekarang ke sekolah hampir lima kilometer. Di sepanjang perjalanan, Alarice dan Arkan hanya diam. Padahal biasanya mereka akan mengoceh tentang banyak hal. Mulai dari sesuatu yang penting seputaran sekolah atau ekskul masing-masing hingga hal tidak penting yang menarik atensi mereka selama di perjalanan. Tiba-tiba saja lengan kiri Arkan menarik tangan Alarice yang sedari tadi memegangi jaketnya, lalu melingkarkannya di pinggangnya. “Gak usah protes! Karena gue bakal ngebut.” Pungkas Arkan dan benar saja, detik berikutnya ia mempercepat laju motornya. Alarice membiarkan tangannya yang kini telah memeluk pinggang Arkan lalu mau tak mau menyandarkan dagunya pada bahu cowok itu. Ia juga membiarkan angin segar yang menyapu wajahnya tanpa sekalipun membenarkan helai-helai rambutnya yang berterbangan. Cuaca mendung namun perlahan mentari mulai muncul. Semua suasana yang dirasakannya saat ini membuat Alarice mendadak teringat saat kali pertama ia bertemu dengan Arkan. Saat itu, hari pertama mereka di sekolah. ~ “Buruan gih! Upacara udah mau dimulai!” “Masih lama kali, lima belas menitan lagi.” “Eh mampus kan, dasi gue kelupaan! Bisa mati gue kena strap Pak Hasan” “Oy Ri! Ngapain sih ngerapiin rambut mulu. Aelah!” “Biarin dong, gue mau terlihat kece di depan anak baru. Gile aje, lo gak liat gimana bening-beningnya anak kelas satu tahun ini?” “Yaelah sat! Mau tepe-tepe juga mikir, ini masih pagi!” “Bodo amat!” Alarice yang sedari tadi berjalan pelan di koridor sekolah mendengar jelas semua ocehan dan kegaduhan tersebut. Bagaimana tidak, sebentar lagi ia akan melewati segerombol cowok yang menjadi sumber utama dari kebisingan itu dan ya, ia tak punya pilihan lain karena kelasnya berada di ujung koridor. “Woy woy! Liat! Kan apa gue bilang! Turunan bule noh!” Sebuah suara cowok dari gerombolan yang baru saja Alarice lewati membuatnya menunduk semakin dalam. Ia kemudian mempercepat langkahnya, namun masih kalah oleh beberapa orang yang telah menghadangnya secara tiba-tiba. “Hai dek! Kenapa buru-buru sih?” Si cowok yang berteriak tadi telah berdiri di hadapan Alarice.  “Bener-bener ya Ri mata lo, tau aja mana yang bening.” “Ih gila sih cantik bener, mana semok lagi!” Mendadak tubuh Alarice membeku. Ia telah terkepung oleh beberapa cowok bertubuh tinggi dan sebagian lagi gempal. Situasi ini memang tidak terlalu berbahaya bagi sebagian orang. Namun, bagi Alarice apa yang terjadi padanya saat ini benar-benar mengerikan. Alarice mengepal kedua tangannya erat dan berusaha menahan diri agar tidak merasa takut sama sekali. Ia sudah terbiasa dan harusnya ini bukan apa-apa. Dirinya hanya perlu menahan kesal sekaligus sedikit takut yang mulai menjalari diri. “Lah dek kenapa? Malu ya?” Tanya salah satu dari mereka kala menyadari sikap Alarice yang semakin tertunduk lemas. “Eiy, jangan takut dong kita kan cuma mau kenalan doang.” Tiba-tiba saja si cowok bertubuh kurus mengamit lengan Alarice. Sontak gadis itu menepis tangannya dan mundur dengan tubuh gemetar. Namun tiba-tiba… Bugh! Tubuh Alarice seketika tumbang ketika seseorang berbadan tegap menubruknya dari belakang dan menumpahkan cairan berwarna kuning ke seragam putih yang dikenakannya. Alarice berusaha mengusap bagian kemejanya yang terkena noda, lalu aroma mango juice mulai tercium. Ternyata cairan itu berasal dari minuman yang dibawa oleh cowok yang menabraknya tadi. Alarice mendongak dan seketika itu pula matanya bertemu dengan sepasang mata sipit yang juga tengah memandang ke arahnya. Ya, itulah kali pertama Alarice bertemu dengan Arkan. Kedua orang itu untuk sesaat hanya saling menatap, sebelum akhirnya Arkan mengulurkan tangannya berniat membantu Alarice berdiri. Namun, gadis itu sama sekali tidak menggubris tawaran tersebut dan memilih untuk bangkit sendiri. Cepat-cepat dibersihkannya rok yang sedikit kotor lalu menunduk meminta maaf. Sekelompok kakak kelas yang tadinya hanya menontoni tanpa sekali pun berniat membantu, justru kembali hendak menggoda Alarice. Namun, belum juga sempat mereka beraksi, Arkan dengan sigap menarik lengan Alarice lalu berdiri di hadapannya, membuat sebuah gestur menutupinya dan memunggungi orang-orang itu. “Sorry, gue gak sengaja.” Ucapnya tiba-tiba. Dahi Alarice berkerut heran. “Seragam lo jadi kotor gini, kalau gitu ayo...” Tiba-tiba saja, tanpa menunggu persetujuan Alarice, Arkan telah menarik lengannya dan berniat membawanya pergi. “Eh eh mau lo bawa kemana dia?!” Benar saja, segeng kakak kelas itu tak terima dan kembali menghadang mereka. “Sorry kak, bentar lagi upacara dan baju kita sama-sama kotor, jadi gue sama dia mau ganti dulu.” Dengan entengnya Arkan menunjukkan bagian dari pakaiannya yang juga terkena noda. “Tuh liat deh kak ada Pak guru!” Pekiknya tiba-tiba. Sontak orang-orang itu berbalik dan melihat ke arah yang ditunjuk. Namun, seketika itu pula Arkan yang mengamit pergelangan Alarice segera membawanya berlari meninggalkan koridor. Ia baru saja menipu mereka dan ya, Alarice berhasil melarikan diri bersama Arkan. Setibanya di depan tolet dekat lapangan basket, Arkan melepaskan pegangannya lalu mengatur napas yang tersengal-sengal. Begitu pun Alarice yang sudah terlihat seperti kehabisan napas. “Mau sampai kapan lo nunduk gitu terus?” “Eh?” “Sebenernya gue males ikut campur, tapi gue kesal sendiri liat lo kaya patung digituin sama mereka!” Alarice belum bisa mencerna kalimat cowok yang telah berkecak pinggang di hadapannya ini. “Elo itu emang tipikal pemalu apa t***l sih?” Alis Alarice terangkat cepat. “Apa? t***l?!” Pekiknya tak terima. Mendengar suara lantang Alarice barusan dan ekspresi yang ditunjukkannya, sontak membuat Arkan terkekeh geli. “Hahaha, bisa marah juga lo!” Alarice hanya memandangnya heran, ia tak mengerti dengan sikap cowok begajulan di hadapannya ini. Ya, ia menyimpulkannya demikian karena melihat bagaimana pakaian dan penampilan Arkan saat itu. Rambut yang sedikit panjang, sepatu bertali dongker dan mengenakan jaket dongker pula. Ia akhirnya memilih mengabaikan Arkan dan berjalan masuk ke dalam toilet perempuan. Sesampainya di dalam, Alarice mencoba membersihkan noda di pakaiannya dengan air dan tisu. Namun, beberapa kali pun ia melakukannya, noda-noda itu justru semakin melebar dan membuat seragamnya semakin kotor. Alarice hampir putus asa, bahkan berniat untuk tidak mengikuti upacara. Ia tak ingin jika pakaiannya yang kotor justru menarik atensi banyak orang. Ya, Alarice tak suka menjadi pusat perhatian dan lebih suka jika harus dihukum nanti ketika dirinya kedapatan tak mengikuti upacara. Setidaknya itu lebih baik baginya karena ia hanya akan menahan hukuman tersebut sebentar tanpa perlu repot-repot ditatap aneh oleh orang lain. Akan tetapi, ketika ia hendak mengunci diri di kamar mandi, tiba-tiba saja sebuah ketukan di pintu toilet membuatnya tersentak. Alarice mengecek sekitarnya dan memang tak ada siapa pun saat ini di tempat itu kecuali dirinya sendiri. Gadis itu mendekati pintu lalu menemui sebungkus plastik putih yang telah tergantung di gagang pintu. Alarice mengambil secarik post it yang tadinya menempel pada permukaan plastik itu lalu membaca pesannya. “Ganti seragam lo ama baju di plastik ini kalau lo gamau kena strap. Gak usah jijik atau gimana karena baju ini juga baru gue pake hari ini. Sorry, udah bikin baju lo kotor.” Alarice membuka bungkusan tersebut dan mendapati sebuah seragam cowok yang digulung begitu saja di dalamnya. Mulanya, ia sempat merasa aneh dan menimbang tentang saran yang ditujukan Arkan padanya. Namun kemudian, ia memutuskan untuk memakainya dan mengikuti upacara pagi. Untunglah, pakaian yang sedikit kebesaran itu cukup tersamarkan ketika dirinya berada di tengah-tengah barisan. Alarice berhasil menghindari strap Pak Hasan pagi itu. Namun tidak dengan Arkan. Flashback End~   Alarice tertawa renyah kala memori tentangnya dan Arkan kembali terulang. Ia masih berada di boncengan dan perlahan emosinya mulai memudar. Bagaimana pun ia tak bisa mengelak jika kenangannya yang menyenangkan bersama Arkan jauh lebih banyak dibanding kenangan mengesalkan. Arkan pula yang telah mengubah hari kelamnya menjadi jauh lebih berwarna. Arkan terlalu banyak andil dalam perubahan besar di hidup Alarice. Meski ia sendiri tahu jika pengalamannya sendiri pula yang membuatnya tumbuh menjadi gadis tegar dan kuat. Namun, sebelum bertemu Arkan, ia hanya kuat sendiri. Alarice menjadi sosok kuat yang hanya bisa menahan semuanya sendiri. Namun setelah Arkan hadir, laki-laki itu bagai pemantik yang membuat sisi kuat dari seorang Alarice terpancarkan. Ia tak lagi menyembunyikan keberaniannya dengan bersikap apatis namun tumbuh menjadi gadis tangguh yang disenangi. Untuk itulah, ia tak bisa berlama-lama marah pada cowok yang kini telah membelokkan motornya memasuki gerbang sekolah itu. Alarice sudah terlanjur menjadikan Arkan sebagai salah satu sosok penting di hidupnya. Ya, Arkan adalah cuaca cerah di hari-hari Alarice. ****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN