“Aku hanya punya satu hati yang sialnya telah terisi oleh semua tentangmu. Kini bagaimana aku harus menghadapi waktu, jika saja kau telah memutuskan untuk berpaling dariku?” ~Valerie Genneth.
***
Hujan yang tiba-tiba saja mengguyur di luar kafe itu membuat Valerie akhirnya tersadar.
Tatapan Gosse yang masih tertuju padanya rupanya tidak mengubah apa pun, sebab sedari tadi lelaki itu hanya mengucapkan kalimat-kalimat yang semakin membuat hati Valerie berdenyut sakit.
“Aku tidak mengenal Versa,” ucap Gosse. “Jujur saja aku terkejut ketika aku diberitahu kabar ini beberapa hari yang lalu, tetapi kemudian aku bersyukur itu adalah kakakmu, Val.”
Valerie berusaha menyibukkan diri dengan potongan kentang yang masih tersisa di piringnya, berusaha untuk mengabaikan kata demi kata yang ia dengar dari bibir Gosse.
“Sepertinya tidak buruk bagi kita untuk menjadi kerabat, bukan begitu?” kata lelaki itu kemudian. “Setidaknya aku tahu kalian memang dibesarkan dengan baik, dan kuharap aku juga cukup baik untuk mendampingi kakakmu, Val.”
Ucapan Gosse itu terdengar berdengung, yang lagi-lagi menimbulkan rasa sakit cukup parah bagi Valerie. Kini perempuan itu bahkan tidak bisa mengidentifikasi dari mana sebenarnya rasa sakit itu bermuara, apakah memang dari telinganya atau dari hatinya.
Sebab keduanya, sama-sama sakit sekarang.
“Hentikan, Gosh,” pinta Valerie dengan nada suara rendah sekali. Menaikkan kepalanya, perempuan itu menatap Gosse lekat. “Kau belum bertanya pendapatku akan hal ini, kan? Jadi, mengapa kau berpikir aku akan menyetujui itu semua?”
Gosse terdiam.
Wajah tampan yang dibalut kulit berwarna sawo matang itu membuat Valerie lagi-lagi berdebar, merasakan desiran di seluruh pembuluh darahnya hanya karena dua mata elang Gosse yang menatapnya penuh perhatian.
Bak seorang yang memang memiliki sisi dominan, Gosse mampu membuat Valerie tidak berkutik meski lelaki itu sebenarnya tidak sedang melakukan apa-apa. Hanya dengan menatap saja, seakan Gosse berhasil menyerap habis semua tenaga Valerie.
Tanpa tersisa.
Tidak Valerie sangka, lawan bicaranya itu malah menggumam tawa kecil. Renyah, dan sepertinya tidak mengandung hal istimewa yang tersirat.
“Tentu kau akan setuju mengenai ini, Val,” Gosse mengambil kesimpulan. “Kau tidak mungkin menentangnya, kan?”
Gosse menyandarkan punggung kokohnya di sandaran kursi, lantas menolehkan kepala untuk melihat rintik hujan yang sedang mengguyur kota mereka siang itu.
“Sudah lama tidak hujan,” katanya setengah bergumam. Kedua lengannya dia lipat di depan d**a, yang malah semakin menonjolkan pahatan setengah sempurna dari anugerah yang dimiliki lelaki itu.
Valerie menelan ludah dengan susah payah, berusaha sebisa mungkin untuk menyingkirkan pikiran-pikiran tidak pantas yang mengusung jiwa penuh gairahnya.
Bagaimanapun, Gosse adalah pria pertama yang disukai perempuan itu persis setelah ia memasuki klub memanah di universitas mereka. Sekaligus juga pria pertama yang membangkitkan fantasi-fantasi Valerie akan hubungan yang mungkin terjadi antara pria dan wanita.
“Gosh, apa kau....”
Lelaki tampan itu kembali menoleh ke arah Valerie. “Hm? Aku apa?” tanyanya dengan raut wajah biasa.
Valerie tahu ini mungkin kesempatan satu-satunya untuk dia untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang telah bersemayam di dalam hatinya selama dua tahun belakangan ini, yang kini akan diucapkannya meski itu harus membuatnya mati tercekat sekali pun.
“Apa kau....” Valerie berusaha yang kedua kalinya. “Apa kau... tidak memiliki wanita lain di hatimu?”
Tepat dan jelas. Napas Valerie memburu persis setelah kalimat tanya itu mengudara, menyisakan dirinya yang kini bergetar kecil karena menunggu jawaban.
Gosse tampak mengedikkan bahu dengan teramat gampang, seakan pertanyaan Valerie baru saja hanyalah pertanyaan sederhana yang mampu dia jawab dengan mudah.
“Aku tahu itu tidak ada gunanya,” balas Gosse datar. Kembali menancapkan irisnya pada iris kehijauan milik Valerie, lelaki itu bergumam pelan. “Karena aku tahu semuanya hanya akan diatur oleh keluarga, bukan begitu?”
Dilahirkan dan besar di keluarga bangsawan yang terpandang, baik Valerie dan Gosse tampaknya memang telah menyadari akan hal ini. Meski ini bukan lagi era gaun-gaun kembang dan pesta dansa, tetapi praktik perjodohan yang masih melekat sungguh tidak bisa dilepaskan dari setiap keluarga.
Khususnya pada mereka yang telah menjalin hubungan bisnis dan kekerabatan, meski memang tidak sedikit putra-putri para keluarga bangsawan yang lain berhasil memilih pasangan hidup mereka sendiri tanpa campur tangan kata ‘perjodohan’.
Namun yang terjadi pada Gosse Armour—anak tertua dari keluarga Armour adalah, nyatanya ia masih harus menerima permintaan perjodohan itu dari sang ibu. Tidak ingin membuat ibunya kecewa, Gosse sungguh tidak memiliki jawaban lain selain anggukan kepala.
“Suatu saat kau akan mengerti, Val.” Suara Gosse memecah keheningan yang sempat mengambil alih suasana. Terdengar lelaki itu menghela napasnya berat. “Maka dari itu temukanlah pria impianmu yang mampu memperjuangkan semua, jika kau memang berniat untuk menggeleng saat keluargamu mengajukan perjodohan.”
Lelaki itu kau, Gosh... batin Valerie dalam diamnya.
“Kuharap ini tidak akan sulit baik untukku ataupun untuk Versa, dan kuharap juga seperti itu untukmu kelak,” sambung Gosse lagi.
Sungguh, pria itu tidak menyadari bahwa kini bola mata Valerie seutuhnya memancarkan rasa kecewa mendalam, yang bercampur luka dan sakit hati akan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dia tahu dan buru-buru mengambil kesimpulan, bahwa kini perasaannya untuk Gosse tidak akan lagi mengubah apa-apa.
Dia tidak akan pernah bisa menggantikan sang kakak, dan lidahnya juga tidak bisa mengucap apa pun selain hanya menutup tanpa sepatah kata.
Keadaan telah menyeret Valerie memasuki palung keputusasaan.
“Aku akan pergi.” Mengambil keputusan cepat, Valerie tidak lagi ingin berlama-lama menatap wajah tampan Gosse.
Jika selama ini Valerie menikmati setiap detik yang ia lalui bersama lelaki itu, maka kini yang tersisa hanyalah kesakitan dan denyut yang menyiksa—sebab yang dia puja dan damba adalah calon suami dari kakak kandungnya sendiri.
Valerie tidak tahu bagaimana dia bisa berdiri tegak sekarang, tetapi dengan sisa-sisa tenaga yang ada, perempuan itu akhirnya bangkit dari kursinya. Menyambar tas berisi perlengkapan hingga beberapa buku kuliahnya, Valerie menyampirkan tas itu di pundak.
“Masih hujan, Val,” sergah Gosse berupaya menahan juniornya itu. “Tinggallah sebentar lagi, atau akan kuantar kau pulang?”
Tidak ada jawaban selain gelengan kepala, yang baru kali ini dia berikan pada Gosse selama dua tahun belakangan ini mereka menjalin kedekatan. Kedekatan yang ternyata... tidak berarti apa-apa bagi lelaki itu.
“Tidak,” tolak perempuan berambut panjang itu cepat. Satu ikatan kucir kudanya masih meraup rapi helai rambutnya, yang kini ikut bergoyang pelan seiring dengan gerakan tubuhnya. “Aku harus pergi sekarang juga.”
Gosse menatapnya dengan cara yang biasa lelaki itu lakukan—sendu dan setengah memohon. Sorot mata itu pulalah yang mendorong Valerie untuk menumbuhkan rasa bagi sang lelaki, yang kini semuanya terasa sia-sia.
Persis sebelum kakinya melangkah dari sela meja dan kursi itu, Valerie sempat berdesis samar.
“Selamat tinggal, Gosh,” gumamnya hampir tidak terdengar. “Kuharap kau bahagia dengan pernikahanmu nanti.”
Tidak memberikan ruang dan celah bagi Gosse untuk membalas atau setidaknya memberikan kata-kata perpisahan, Valerie telah mengayun langkah lebih dulu. Meninggalkan Gosse di tempatnya duduk, dengan pandangan yang otomatis mengikuti gerak tubuh Valerie.
Namun, Valerie tidak sama sekali menoleh ke belakang. Dia tidak ingin membiarkan keadaan menertawakannya, terlebih dia tidak ingin memperlihatkan butiran kristal yang telah berkumpul di pelupuk matanya.
“Goodbye, Gosh,” desah Valerie tepat ketika ia mendorong pintu kafe itu.
Mengabaikan pandangan beberapa pasang mata yang mengarah padanya, yang mungkin kebingungan akan apa yang dilakukan Valerie di siang berhujan itu. Langit masih tampak gelap dan kelabu, tetapi langkah Valerie telah membimbing perempuan itu untuk menjauh.
“I wish you to unbreak my heart, but now you turns it to pieces, Gosh.”
Berlari menerobos hujan, hanya ada satu harapan yang gadis muda itu sebutkan di dalam d**a. Harapan agar hujan mampu menghapus semua rasa cintanya pada Gosse, hingga ia memiliki kekuatan untuk kelak menerima lelaki itu menjadi abang iparnya.
~Bersambung