Ruang Interogasi Unit Kesehatan Mental
Hujan di Osea tidak pernah benar-benar membersihkan kota. Air yang turun dari langit kelabu itu hanya membasahi aspal, mencampur debu jalanan dengan darah yang belum sempat kering, menciptakan aroma besi berkarat yang menggantung di udara.
Di dalam ruang interogasi bernomor 402, Elira Marcelline duduk dengan tenang. Tidak ada borgol di meja, hanya segelas air mineral dan kotak tisu. Di hadapannya, seorang pemuda berusia dua puluhan duduk meringkuk, tubuhnya bergetar hebat seolah ruangan berpendingin udara itu adalah kutub utara.
Pemuda itu bukan anggota gang. Dia mahasiswa arsitektur. Kemarin sore, dia memukuli tetangganya hingga koma hanya karena tetangganya menatapnya terlalu lama.
"Tarik napas, Aris," suara Elira terdengar lembut, kontras dengan lampu neon yang berdengung bising di atas mereka. Itu bukan suara polisi yang menuntut pengakuan, melainkan suara seorang kakak yang meninabobokan adiknya. "Kau aman di sini. Tidak ada yang menatapmu."
"Mata mereka..." bisik pemuda itu, jemarinya mencengkeram rambutnya sendiri dengan brutal. "Semua orang di jalan... mereka ingin mengambil milikku. Mereka ingin membunuhku sebelum aku membunuh mereka. Itu 'Perang', kan? Berita bilang kita sedang perang."
Elira mencatat pelan di tabletnya: Gejala paranoid akut. Indikasi 'Mental Plague' stadium awal. Pemicu: Tekanan media dan kelangkaan pangan.
Elira mencatat pelan di tabletnya: Gejala paranoid akut. Indikasi 'Mental Plague' stadium awal. Pemicu: Tekanan media dan kelangkaan pangan.
Ini adalah realitas Osea. Tidak ada tentara asing yang menyerbu, tapi warganya sendiri yang berperang di dalam kepala mereka. Ketakutan menjadi mata uang, dan setiap orang adalah musuh potensial.
"Itu bukan perang, Aris. Itu ketakutan," koreksi Elira pelan. Dia menggeser gelas air mendekat. "Kau memukul Pak Toni bukan karena kau jahat. Tapi karena kau lelah takut sendirian. Benar, kan?"
Isak tangis pemuda itu pecah. Elira tidak memalingkan wajah. Sebagai Polisi Kesehatan, tugasnya adalah memilah puing-puing jiwa manusia sebelum Detektif Kriminal masuk untuk memilah fakta hukum. Dia melihat monster yang diciptakan negara ini, yang lahir dari rahim warga sipil biasa.
Di balik kaca satu arah, Elias Grant mengamati. Dia melihat bagaimana Elira menyentuh pundak tersangka itu—sebuah sentuhan kemanusiaan di dunia yang sudah kehilangan rasa. Elias tahu, kemampuan Elira menyerap rasa sakit orang lain adalah anugerah, sekaligus kutukan yang perlahan membunuhnya.
Klub Malam - L'Abysse
Jauh dari kantor polisi yang suram, di distrik hiburan yang tidak pernah tidur, dentuman bass mengguncang lantai VIP L'Abysse.
Lucien Dreamer berdiri di balkon kaca, menatap lautan manusia di bawahnya yang berdansa seperti orang kesurupan. Mereka menenggak alkohol mahal, tertawa, dan berpelukan, mencoba melupakan bahwa besok pagi mereka mungkin akan saling tikam demi sekaleng bensin.
"Bos," suara berat terdengar dari belakang.
Lucien berbalik perlahan. Di sofa kulit berwarna merah darah, dua orang kepercayaannya sudah menunggu. Luca, pria bertubuh raksasa dengan bekas luka bakar di leher, dan Erik, si ahli strategi yang selalu tampak rapi dengan kacamata tanpa bingkai.
"Pengiriman di pelabuhan sektor 9 aman?" tanya Lucien. Suaranya datar, nyaris tanpa emosi, tapi memiliki otoritas yang membuat musik bising di luar sana terasa hening.
"Bea cukai sudah 'dibersihkan', Bos," jawab Erik sambil meletakkan sebuah koper kecil di meja. Dia membukanya, menampilkan sebuah pistol semi-otomatis rakitan terbaru. Bentuknya ramping, mudah disembunyikan di tas belanja ibu-ibu atau tas sekolah anak SMA. "Model 'Savior'. Ringan, murah, mematikan."
Lucien mengambil pistol itu. Dinginnya logam terasa nyaman di telapak tangannya. Dia mengokangnya—bunyi klik yang renyah dan presisi.
"Pemerintah menyebut ini ilegal," gumam Lucien, menatap pantulan dirinya di laras pistol. "Aku menyebutnya... kesetaraan."
"Permintaan melonjak 200% minggu ini," tambah Luca dengan suara serak. "Warga sipil mulai panik. Mereka tidak percaya polisi bisa melindungi mereka."
Lucien tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. "Ketakutan adalah pemasaran terbaik, Luca. Saat manusia merasa terancam, moralitas adalah hal pertama yang mereka buang." Dia meletakkan kembali pistol itu. "Pastikan distribusinya masuk ke area pinggiran dulu. Jangan ke gang. Berikan pada para ayah yang takut rumahnya dirampok. Berikan pada wanita yang takut pulang malam."
"Kita membuat warga sipil jadi pembunuh, Bos?" tanya Luca ragu.
"Tidak," jawab Lucien dingin, kembali menatap kerumunan pesta di bawah. "Kita hanya memberi mereka gigi dan kuku. Biarkan Osea memakan dirinya sendiri."