Part 1 (Yunita Asmara)

4919 Kata
POV Yunita Asmara   Aku mengendarai mobil sedan Honda Civic berwarna Grey, yang aku beli setahun yang lalu. Menggantikan sedan Civic lamaku, menuju ke sebuah perumahan yang terletak di wilayah barat ibu kota. Senyumanku yang masih bertahan di wajah ini sejak tadi, menunjukkan jika aku begitu senang mendapat telfon semalam darinya. Dari Reno, pria yang  telah mengisi hati ku selama 2 tahun belakangan ini. Dia menyuruhku untuk datang ke kontrakannya, berhubung hari ini adalah hari sabtu dan besok hari minggu. Menurutnya, ada baiknya kami menghabiskan waktu di kontrakannya saja ketimbang harus menginap di hotel mewah seperti biasanya. Dasar Reno. Hihihihi! Kadang aku merasa aneh dengannya. Dimana dia mempunyai cukup dana, untuk berliburan dimana saja. Begitupun denganku, namun yah! Kadang dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan cara sederhana seperti ini. Oh iya, aku bukan berasal dari keluarga kaya raya. Tapi, keuanganku cukup lah untuk saat ini. Duit yang ku kumpulkan selama ini, bukan hanya dari gaji sebulanku bekerja di perusahaan yang telah menghidupiku selama 4 tahun. Melainkan job lain, yang sesekali ku dapatkan dari seseorang.   Ayahku, bekerja sebagai pegawai swasta biasa. Sedangkan ibuku, hanya (IRT) Ibu Rumah Tangga saja. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adik aku, bernama Yulia yang saat ini masih duduk di bangku SMA. Sudah cukup aku menceritakan saat ini, tentang profilku yah. Hehehehe! Tak lama, aku tiba di depan rumah Reno. Perumahan kontrakan Reno, terletak di pinggiran kota. Rumah yang bertipe minimalis, cukup asri, tampak dihadapanku saat ini. Aku tersenyum ketika melihat sosok pria baru saja keluar dari pintu. Sosok pria, berwajah cukup ganteng, tatapan yang sangat susah di tebak. Apalagi ekspresinya? Beuh!!!! Gak kukuh euy. Padahal, aku baru saja ketemu dengannya tiga hari yang lalu. Dan menghabiskan malam bersamanya di kamar Junior Suite sebuah hotel berbintang. Tapi aku heran, kenapa aku masih merindukannya yah? Ah entahlah, namanya juga cewek. Pengen di manja, di sayang-sayang, dan aku hanya ingin dapatkan semua itu dari Reno seorang. Bukan dari orang lain. Ia melihat ke arah mobilku, dan mengernyit ketika aku belum keluar dari mobil. Ia melangkah mendekat ke pagar...   Aku membuka kaca mobil, “Hai!” “Kenapa gak keluar?” tanyanya. “Iya, nih baru mau keluar kok!” jawabku, lalu ku raih tas yang aku letakkan sebelumnya di jok belakang. Mematikan mesin mobil, kemudian keluar dari mobil. Tak lupa, ku tekan tombol Lock di remote. Kemudian melangkah masuk melalui pagar. Saat berada di pekarangan, aku mendekati Reno. Dan seperti biasa, meski ia tak pernah protes, aku selalu saja mengecup bibirnya saat bertemu seperti ini. “Dasar! Kita masih diluar,” “Yeee! Protes... tapi, tadi tidak menahan! Dasar.” Cibirku kepadanya. Ia hanya geleng-geleng kepala. “Yuk masuk.” “Iya...” maka kami berdua masuk ke dalam rumah.   Tidak ada perubahan semua tata letak perabotan di ruang tamu, sejak terakhir aku ke rumahnya. Hmm! Ada kali, sebulan aku gak kesini. Sofa berwarna kuning, karpet berwarna kecoklatan dibawah. Dan juga, meja berhadapan dengan TV yang dari duduk ku saat ini, TV tersebut tepat berhadapan denganku. Beberapa foto Reno, dan juga ada foto kami berdua yang sedang selfie terletak di dinding. Aku tersenyum sesaat, mengingat kenangan di foto tersebut. Ahhh! Aku gak akan lupa kejadian itu. Dimana, setelah kami menyelesaikan pekerjaan bersama. Aku dan Reno, masih berada di tempat yang sama, malah memilih untuk melepaskan o*****e bersama sesaat di dalam mobil. Kemudian, setelahnya kami menyempatkan selfie sebelum pergi meninggalkan tempat tersebut.   Saat ini Reno duduk di sampingku, dan menoleh. “Udah makan?” “Udah tadi... kamu?” “Belum.” “Astagaaaa... mau aku masakin gak?” tanya ku. “Males... pesan Go Food aja!” “Dasar!” Cibirku, kemudian aku melihat Reno membuka applikasi di ponselnya. Dia memesan makanan melalui applikasi Gojek. Aku sendiri hanya geleng-geleng kepala kepadanya, yang masih saja tak pernah berubah. Selalu malas ribet tuh anak! Dasar Reno. Yah! Tak ada yang terjadi di awal-awal bersamanya berada di kontrakan ini. Aku bermanja-manjaan kepadanya, dan dia sama sekali tak protes. Nonton bareng beberapa film, dan aku sengaja selama di rumah hanya memakai daster tipis saja yang sengaja aku bawa dari rumah. Dan itu semua sukses, membangkitkan gairah Reno setiap saat. Hahahaha! Aku mengetahui jika Reno tak akan mampu melawan godaan dariku. Setelahnya, kami mandi bersama di kamar mandi dalam kamar Reno. Kami melakukan hubungan badan dengan begitu nikmat. Bahkan Reno tak segan-segan menyemprotkan spermanya dirahimku. Aku sih tak permasalahkan hal itu, dah ah! Gak perlu aku jelasin secara detail juga kan, tujuanku apa, dan kenapa aku gak permasalahkan. Hehehehe!   Hingga berakhir setelah 3 kali, Reno menyemburkan spermanya ke dalam rahimku. Sedangkan aku? Tak terhitung lagi, berapa kali mencapai o*****e. Mungkin orang lain menyebutnya, multi o*****e kali yah... Entahlah! Yang jelas, aku selalu puas bersamanya. . .   Dua hari waktu libur ini, ku gunakan bersama Reno berdiam diri di kontrakan. Aku juga gak permasalahkan hal itu, dan kami selalu memesan makanan melalui jasa Gofood. Lebih praktis, tanpa perlu keluar dari rumah. Dan hari ini adalah hari terakhirku berada di kontrakan, karena besok aku harus kerja lagi. Maklum, besok hari senin. Hari malas sedunia. Selama dua hari ini juga, aku selalu saja mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya. Aku sangat mencintainya, dan dia? Meski tak pernah mengungkapkannya. Namun, aku mengetahui jika ia juga mencintaiku. Hehehehe! Pede banget yah aku-nya?   Perkenalanku dengan Reno, karena adanya suatu pekerjaan yang mengharuskan aku bekerja sama dengan dirinya. Pria yang selalu penuh dengan tanggung jawab. Menyelesaikan pekerjaannya, tanpa sedikit pun melakukan kesalahan. Semua pekerjaan ku dapatkan dari Pak Edward, sosok yang kami hormati. Dan juga sosok yang meskipun tampangnya biasa-biasa saja, namun cukup misterius, dingin dan jarang mengeluarkan suara. Tak jarang juga aku melihatnya marah. Yang aku ketahui selama ini, Pak Edward sangat menyayangi Reno. Ku sadari, ranjang bergerak...   Aku menoleh, dan mendapati Reno baru saja selesai mandi dan naik ke atas ranjang. Aku, sudah duluan mandi tadi. “Kamu melamun?” tanya nya. “Hehehe, gak!” jawabku. Aku memeluknya, ketika dia bersandar di ujung ranjang. “Terus tadi, apa namanya?” tanya Reno, dan aku hanya menggelengkan kepala sambil bersandar di dadanya. Aku merasakan, tangannya bergerak mengusap dengan lembut kepalaku. “Kamu kenapa, Yun?” Ahh! Aku tuh, diem karena kamu tau. Batinku saat ini. Yah, gimana gak! Masih saja, ia tak bisa mengungkapkan perasaannya kepadaku. Sedangkan aku? Sudah tak terhitung, berapa banyak ungkapan cintaku kepadanya. Aku bukannya egois, tapi... Wanita mana, yang tak ingin mendengar ungkapan cinta dari pria yang ia cintai?   “Yun... kamu diam, ada apa?” “Gak kok, Ren!” jawabku berbohong. Padahal, perasaanku saat ini begitu berkecamuk. “Yakin?” Ahhh! Reno bego. Aku pun mendongak, lalu memasang wajah memelas kepadanya. “Tuh kan, pasti kamu lagi ada apa-apa nih.” Gumamnya setelah melihat wajahku. “Ren...” Sengaja aku menggantung perkataanku. Ku tatap dalam-dalam dua bola matanya.   Aku pun merasakan, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Makin lama, aku makin merasa jika hubunganku dengannya sepertinya tak akan ada ujung pangkalnya. Emang, aku akui. Dia sayang kepadaku. Tapi, salah gak sih, kalo aku menginginkan ia berkata di depanku? Elusan di kepalaku, tak mampu menghilangkan rasa gundah dalam diriku. “Coba ngomong, kamu kenapa?” ia kembali bertanya. “Aku... aku...” aku gak mampu melanjutkan ucapanku, dan kini kurasakan mataku sepertinya terasa perih karena sejak tadi menahan agar air mata tak tumpah dihadapan Reno. “Kamu sedih?” “Gak!” jawabku, dan ku palingkan wajahku.   Dia mengecup keningku... Cukup lembut, dan sejenak ku rasakan tubuhku bergejolak. Namun, aku harus memaksanya saat ini. Aku gak kuat lagi, untuk bertahan dengan hubungan seperti ini. Aku lalu menatapnya lagi. “Ren...” “Yah!” “Kamu, sayang gak sih ma aku?” Dia diam tak menjawab. Helaan nafas darinya, terdengar memilukan hatiku. Aku pun mengikuti hal yang sama, menghela nafas dalam-dalam. “Bisa bahas lain?” katanya. Seperti biasanya, dia selalu menghindar dari pembahasan seperti ini. Dan itu sukses membuat dadaku makin sesak.   Aku harus kuat... Aku harus mengakhiri semuanya, jika Reno masih saja tak mengungkapkan kepadaku. Maka ku hela nafas, sebelum aku menjelaskan apa yang aku inginkan. “Maaf Ren! Aku harus menanyakan sekarang, sebelum makin jauh.” Reno diam, namun pandangannya kepadaku seakan mengartikan jika dia masih bingung dengan yang ku katakan barusan. “Aku perempuan Ren! Butuh kepastian.” Sakit dadaku. Sesak nafasku, namun aku harus kuat hari ini. Tidak atau yes! Aku harus memastikan semuanya. “Aku butuh jawaban, apakah kamu mencintaiku... atau tidak!” Reno terdiam... Benar-benar diam, dan ekspresinya itu sangat susah ku tebak. Ia sekarang mengalihkan pandangan dariku. Seakan tak mampu bertatapan lagi denganku.   “Ren Jawab.” Aku mendesaknya. Dan ia menoleh, entah mengapa perasaanku makin terasa sakit. Ketika mendapati Reno menatapku tajam. “Kenapa kamu bertanya? Belum cukup yang aku jelasin selama ini? Sudahlah Yun! Kita seperti ini saja, kalo sudah waktunya tiba... Kita bahas lagi. Mengerti?”   Aku mencoba menahan kesakitanku. Aku tak lagi memperdulikan tatapannya. Aku menunduk, kemudian berdiri dari sofa. “Maaf Ren... sepertinya, aku butuh waktu.” “Yun!” dia menahan lenganku. Aku menepisnya. “Lepasin... biarkan aku sendiri dulu,” kataku, lalu beranjak dan berjalan meninggalkan Reno yang masih juga tak mengucapkan sesuatu. Dia masih memandangku, aku mengetahuinya dari ekor mataku ketika langkahku telah berlalu di hadapannya. Hufhh! Dia masih saja seperti itu. Maka, aku mengambil barang-barangku di kamar, dan setelahnya. Aku berjalan keluar rumah. Aku sempat menoleh ketika tiba di pintu masuk. “Sampai jumpa Ren!” Hatiku betul-betul sakit. Reno yang sekarang masih sama. Tak ada perubahan, dan benakku bertanya-tanya apakah semua yang aku lakukan selama ini kepadanya, hanya sia-sia belaka? Harapanku mulai pupus, saat aku tak melihatnya beranjak dari duduknya. Dia hanya menatapku tanpa kata. Maka dengan menahan kesakitan, aku pun meninggalkan rumah Reno. Rumah yang penuh kenangan bersamanya. Harapanku mulai hancur berkeping-keping... Yang jelas, aku tak akan bertemu Reno lagi. Aku tak ingin kembali tersakiti, kecuali dia yang datang menemuiku.   ~•○●○•~   POV Reno   Jaket kulit berwarna hitam. Baju berkerah berwarna hitam, dan juga jeans slim berwarna denim, beserta sepatu kulit berwarna coklat gelap, berbentuk kets ku pakai hari ini. Setelah siap, aku meninggalkan rumah kontrakan, dan tak lupa mengunci pintunya terlebih dahulu. Aku sudah memanaskan mesin motorku tadi, dan saat ini sudah siap untuk bersama-sama melaksanakan aktivitasku hari ini. Hari yang menjengkelkan bagiku. Aku melajukan motor Kawasaki Ninja berwarna hitam. Aku menyebutnya ‘Si Black’ kesayanganku ini. Hari ini adalah hari senin. Hari yang mengharuskanku untuk ke kantor Pak Edward. SI Black melaju dengan kecepatan sedang, dan kadang juga kencang. Tergantung kondisi dan situasi. Beberapa pengguna jalan, juga melakukan hal yang sama denganku. Saling mengejar waktu, melewati beberapa pengguna jalan lainnya yang tampak sangat lelet mengendarai kendaraannya. Saat dari arah depan, ku lihat dua buah mobil saling kebut-kebutkan. Aku melajukan motorku melewati beberapa motor. Aku berniat mengambil posisi tengah untuk melewati kedua mobil tersebut. Saat hampir mendekati p****t mobil, aku menurunkan persenelan motor dua kali, lalu menekan kopleng. Aku melepaskan kopleng perlahan-lahan, kemudian menggebyer gas motorku setinggi-tingginya. BRUUUUUUMMMMM!!! Motorku melaju dengan kecepatan tinggi melewati dua mobil tersebut. “HUUUUUUUAAAAA!” aku sempat berteriak. Betapa nikmatnya melakukan hal ini di pagi hari. Andrenalinku tiba-tiba naik, dan aku sesekali melirik ke kiri maupun kanan. Beberapa pengguna motor ku lihat memandang ke arahku. Aku gak peduli, kalian mau marah atau tidak. Yang jelas aku senang banget. Aku makin kebut laju motorku. Yah! Meski berat rasanya ke kantor Pak Edward, namun mau gimana lagi. Itu adalah kewajibanku sebagai salah satu freelance di perusahaannya.   Oh iya, sedikit ku ceritakan tentangku lagi yah. Aku saat ini bekerja di kantor Pak Edward. Sebagai apa? Yah! Marketing biasa, tapi tidak terikat dengan sebuah kontrak. Aku sendiri hanyalah lulusan SMU, dan syukur-syukur Pak Edward masih mau memberikanku beberapa pekerjaan di lapangan. Saat motor berhenti di lampu merah, aku hanya diam sambil menurunkan kaki kananku. Menapak di aspal, untuk menopang motor beserta tubuhku sendiri.   Aku teringat kejadian sabtu dan minggu kemarin. Jujur, aku sampai saat ini masih belum bisa mengerti dengan Yunita. Kenapa coba, dia harus menanyakan pertanyaan yang sama? Apakah semua wanita mengiginkan sebuah hubungan yang pasti? Lagian, apa kurangnya denganku? Aku sudah memberikan waktu dan perhatianku hanya untuk Yunita. Apa ia tidak bisa menebak apa arti semua itu? Apakah sebuah hubungan, harus di dasari saling berucap? Aku mencintaimu, kamu mencintaiku? Arhhhh! Apakah jaman sudah edan? Kenapa harus seperti itu. Tapi, aku juga tak bisa untuk tidak bertemu dengan Yunita.   Aku mengingat kejadian dua hari yang lalu. Dimana aku dan Yunita menghabiskan waktu bersama di kontrakanku. Dimana sebelumnya juga aku meminta izin ke Pak Edward untuk tidak memberikan pekerjaan di dua hari tersebut. Yang jelas, aku ingin berduaan dengan Yunita tanpa ada gangguan dari pihak manapun, meski itu adalah pekerjaan dengan income yang tinggi dari Pak Edward, aku gak perduli. Di hari pertama ku habiskan ber-seks ria bersamanya, hanya sesekali keluar dari rumah untuk bertemu dengan abang Gojek yang mengantarkan makan dan minuman buat kami berdua yang di pesan melalui applikasi berwarna hijau. Benar-benar Yunita sangat liar jika melakukan denganku. Aku saja, kadang heran dengan dia. Tapi, aku menikmati semua yang diberikan oleh Yunita. Perhatian dan kasih sayangnya begitu lekat dalam ingatanku. Tapi aku tetap tak bisa untuk mengucapkan kata cinta untuknya. Selalu aku menjelaskan ke Yunita, jika lebih baik kita berhubungan seperti ini. Toh juga, aku gak ada perempuan lain selain dirinya. Yunita mengetahui semua tentangku. Terus, apa coba yang ia permasalahkan?   Setelah melewati hari yang panjang, maka memasuki hari kedua yang dimana setelah melakukan hubungan seks dengannya lagi. Wajah Yunita mulai berbeda. Perasaannya menjadi sedih, dan entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan. Tapi aku masih belum bisa untuk mengatakan apa yang ia inginkan. Keinginannya untuk memastikan hubungan kami mau dibawa kemana. Karena aku tetap tak menjawabnya, maka ia memilih untuk meninggalkan ku sendiri di kontrakan. Perih sih! Tapi, ya sudahlah... Toh juga, Yunita bakal balik lagi. Suara klakson di belakang, akhirnya membuyarkan lamunanku beberapa saat. Aku pun menjalankan si Black berlalu melewati perempatan jalan. Kemudian aku melakukan hal yang sama sebelumnya, mengebut motor sambil berlalu melewati mobil maupun motor. Menyalip ke kiri, kemudian ke kanan. Begitu seterusnya.   Masih fokus mengendarai motor kawasaki Ninja Black-ku, entah mengapa tiba-tiba sosok Yunita kembali berada di pikiranku. Kejadian setengah jam sebelum Yunita berpamitan kepadaku. Yunita, kenapa sih kamu menanyakan hal itu lagi?   “Aku perempuan Ren! Butuh kepastian... Aku butuh jawaban, apakah kamu mencintaiku... atau tidak!” “Lepasin... biarkan aku sendiri dulu,” “Sampai jumpa Ren!”   Mengingat kembali kalimat-kalimat yang di ucapkan Yunita, membuat nafasku terasa sedikit sesak. Jika kalian menanyakan, apakah aku akan cuek dengan yang terjadi? Kalian salah besar. Karena sejujurnya aku selalu merindukan dia. Tapi aku masih belum paham, bagaimana cara agar dia yakin jika aku tetap masih ada untuknya. Aku memang bukanlah pria yang sempurna. Bukan pria yang mudah mengatakan cinta kepada pasangannya. Tapi yakinlah Yunita, aku itu tak akan bisa jauh darimu. Dalam diamku, yang masih fokus mengendarai motorku. Tak jauh, lampu lalu lintas kembali terlihat. Ku akui, selama meninggalkan rumah tadi. Ingatanku di selumiti akan sosok Yunita. Masih fokus ke depan, aku sempat kepikiran dimana jalanan yang aku lalui, ternyata kebanyakan lampu lalu lintas. Maka dari itu, sebelum lampu hijau berganti menjadi warna merah, aku makin mempercepat laju kendaraanku.   “Gebleeeekkkk!” Aku mengumpat, saat tiba-tiba sebuah mobil yang berada di samping, masuk ke tengah jalan dan berhenti tepat dihadapanku. Secara refleks aku menekan rem tangan dan juga rem kaki. Sambil menekan kopling, dan melepaskan kopling dengan cara menyentak, membuat ban motorku sedikit keselip. Dan entah mengapa, saat aku berhenti motorku sedikit oleng. “Eh...Eh!” Brak!!! “Ahhhhh!” Aku mengerang, saat mendapati stir motorku telah menghantam mobil yang baru berhenti di sampingku. Dan membuat sebuah goresan di pintu kanan mobil itu. “Sepertinya, pemilik mobil bakal marah! Ah masa bodohlah.”   ~•○●○•~     POV Lidya   Gak kerasa yah! Libur telah usai. Dan waktunya untuk beraktivitas kembali seperti sedia kala. Hmm, gue sedang berdiri di depan cermin. Melihat penampilan gue pagi ini, cantik and! Sempurna. Hehehehe! Emang gue cantik kok. Hari ini gue sengaja memakai kemeja berwarna putih, yang lengannya hanya ¾ saja. Blitz hitam berada di kerah baju, dan juga di bagian lengan kiri dan kanan. Tak lupa menambahkan sebuah kalung berwarna hitam, yang ku kalungkan melalui leher. Kalung dengan manik-manik berbentuk bola-bola kecil yang juga berwarna hitam. Sedangkan bagian bawahan, gue memakai celana jeans berbahan karet yang juga berwarna hitam. Make up tipis, arloji lengan kiri dari merk terkenal. Tas di lengan, bermerk Gucci, beserta sepatu bagian akhir untuk menyempurnakan tampilan gue pagi ini. Gue melangkah keluar kamar. Kemudian berlalu melewati ruang santai.   Rumah gue cukup besar. Malah besar banget. Di tengah-tengah rumah, ada aquarium untuk ikan Arwana Red yang berukuran sangat besar. Gue melewati aquarium tersebut, kemudian melangkah menuju ke depan. Dan saat tiba di ruang depan. Gue melihat ayah sedang duduk santai sambil membaca koran. “Yah, Lidya berangkat dulu.” “Iya.” Ayah hanya melirik sebentar, kemudian kembali sibuk dengan korannya. Gue memanyunkan bibir, karena tak mendapatkan respon lain dari ayah. Respon darinya sih selalu seperti ini, sama sekali tak pernah ngucapin apa gitu. Atau ngomong, gue cantik atau apalah-apalah. Yah! Begitulah ayah gue. Putrinya dah cantik gini, tapi dia selalu cuek. “Eh iya yah!” ayah menoleh. “Ada apa lagi?” “Kak Oki udah berangkat?” “Udah!” gue mendengus, dan mau gak mau gue harus berangkat sendiri mengendarai mobil di pagi hari. Mana lagi, setiap hari senin jalanan pastinya macet banget. Kebiasaan kak Oki nih, selalu saja berangkat ke kampus sendiri. Selalu saja, ngebiarin adiknya yang cantik menyetir sendirian. Hufh!   “Ya sudah deh! Kalo gitu, Lidya pamit yah.” Kata gue. “Iya” Fiuh! Gue mending pergi aja deh. Ayah selalu saja, gak pernah ngasih sesuatu yang berbeda di pagi hari.   Maka, gue melangkah gontai menuju ke parkiran mobil. Gue memilih mobil sedan Audi keluaran terbaru, yang 3 bulan lalu dibeliin ma Kak Oki. Setelah masuk ke dalam mobil, gue menekan tombol on untuk menyalakan mesin. Tak lupa menyetel lagu kesukaan gue, untuk menemani perjalanan gue menuju ke kampus. Setelah gue melewati gerbang perumahan, mulai fokus menyetir saat gue telah tiba di jalan raya. Kondisi jalan raya cukup padat. Beberapa petugas lalu lintas mengatur pengendara baik roda empat, maupun roda dua. Beberapa penyebrang jalan pun saling ngantri, karena di setiap sudut jalan, petugas lalu lintas telah stand by. Gue sih acuh aja! Toh juga, gak bakal ada yang larang gue kalo telat nyampai kampus. Heheheh!   Saat dari kejauhan gue melihat perempatan jalan, beserta lampu lalu lintas yang masih berwarna hijau. Maka gue menginjak pedal gas, membuat kecepatan mobil sedikit lebih cepat. Namun ternyata gue salah perhitungan dimana sebelum sampai, lampu stopan berganti berwarna merah. Ahhhh! Maka gue menginjak pedal rem membuat mobil gue terhenti. Masih menikmati musik, gue masih sabar menunggu lampu berganti berwarna hijau. Gue gak perduli suara-suara klakson dari pengendara lainnya di sekitaran gue.   Cuek beud! Namun menjadi perhatian gue saat ini, ada seorang pengendara motor ninja yang entah seleboran mengendarai motornya tadi, tiba-tiba nge-rem mendadak. Makanya, liat-liat masa iya pas lampu merah, loe ngebut sih! Eh! Gue melihat dia agak kesulitan menahan motornya, hingga membuat motornya sedikit oleng.   And! BRAK!!! “Waduh mobil gue,” Yah siapa yang gak emosi, tiba-tiba motor ninja tadi oleng dan terjatuh ke samping. Yang sialnya, terdengar suara benturan keras di luar sana, tepat berada di samping gue.   Langsung gue buka nih kaca mobil, “WOI... LOE NABRAK MOBIL GUE!” Pengendara itu membuka helmnya, dasar gak tau malu. Gue pun tak memperdulikan dengan pandangannya yang agak aneh. Masa iya, udah salah masih saja memasang ekspresi tanpa bersalah. Gue membuka pintu mobil, kemudian keluar dari mobil. “HEI... PUNYA MATA GAK SIH?” lalu gue menghardiknya. Eh bukannya dia takut, malah masih saja memandang gue dengan pandangan menjengkelkan. Dia gak tau gitu, dengan siapa dia berhadapan saat ini? “LIHAT TUH,” gue lalu menunjuk ke pintu mobil. Oh MY GOOD! Beneran parah nih. Gue melihat kondisi pintu mobil gue, sudah lecet terkena stir motornya tadi. Gue lalu menatapnya penuh emosi. “BANGGSAAAT LOE... PUNYA MATA GAK SIH?” Gue gak peduli, para pengendara lainnya menatap ke arah kami. Gue benar-benar di buat emosi ma nih cowok. Laga nya sok-sok gak bersalah, mana tampangnya masih saja tak ada perubahan sama sekali. Apa iya, dia gak punya telinga gitu?   Saat dia masih saja diam tanpa kata, gue melangkah maju. Gue berdiri menatapnya dengan penuh emosi. “KALO NAIK MOTOR ITU, PAKE MATA DONK... JANGAN PAKE DENGKUUL” “Maaf Mba!” Maaf! Maaf! Loe kira hanya kata maaf bisa menyelesaikan semuanya? “HEI... jangan maaf doank. Loe itu.. Arhhhh!” gue mengerang penuh emosi, lalu gue mengeluarkan sumpah serapah kepadanya. Yang jelas gue benar-benar emosi. Apalagi tampangnya itu, menjengkelkan banget. Karena tak tahan dengan semuanya, gue lalu menarik menarik kerah bajunya. “GANTI CEPAT!” Dia diam saja. “HAYO KITA KESANA... AWAS LOE, JANGAN KABUR!” Kata gue selanjutnya. Gak peduli, pandangan-pandangan aneh dari para pengendara. Tak perduli juga suara klakson yang telah berbunyi saat lampu berubah menjadi hijau. Gue hanya ingin, nih cowok gak kabur. “HAYO...” Gue melepas kerah bajunya, dan menunjuk ke arah sebuah toko. Gue mau, dia ikut dengan gue ke tempat itu. “Baik Mba!” Hufhh! Setelah mendengarnya, gue lalu melepaskannya. Dan kembali masuk ke dalam mobil.   Suara klakson masih saja berbunyi nyaring di belakang gue, menginginkan gue memberikan jalan kepada mereka. “Iya tunggu... iya... Gak sabaran banget sih.” Kata gue saat berada di dalam mobil. Sesaat gue menoleh ke cowok tadi, dan ternyata dia mempunyai etikat baik. Dia menepikan motornya, maka gue pun menjalankan mobil sambil menyalakan lampu sein kiri. Tujuannya untuk meminta jalan, karena gue langsung berjalan ke arah kiri jalan. Setelah memarkir mobil di depan sebuah ruko. Gue keluar dari mobil. Cowok itu, segera mendekati gue setelah memarkir dengan baik motornya tepat di belakang mobil gue. Yang jelas, gue mau dia ganti kerusakan mobil gue. Yah! Meskipun gue sendiri bisa membiayai, tapi masa iya gue harus lepasin gitu aja ntuh cowok, setelah apa yang ia perbuat tadi? Gue ikut berjalan ke arahnya. “Ayo... buruan, mana KTP dan SIM loe.” “Apa?” dia menatap gue dengan ekspresi biasa saja. Gak ada ketakutan, bukan juga mau menantang. Ekspresi yang cukup dingin saat bertemu masalah seperti ini. Dia mengangguk kepada gue. “Baik mba.” Ahhh! Bukan itu sih sebenarnya yang gue harapin. Gue maunya, dia sedikit membantah. Eh! Ini malah gak asyik, kalo dia hanya lempeng aja. Kalo gini, masa iya gue kudu bentak-bentak dia lagi? Yang ada, dia malah nertawain gue dalam hati. Hadehh! Dilema deh jadinya. Gue lalu mengambil KTP beserta SIMnya, saat ia menyodorkan di hadapan gue. “Sini.” Gue mengambilnya. “Mana duit loe, gue mau loe ganti nih kerusakan di pintu mobil gue. Awas kalo gak! Loe bakal berurusan panjang ma gue.” “Iya mba!” Sue. Emang dia gak takut ma gue yah?   Tenang Lid! Tenang! Mungkin memang dia takut, tapi gak tau nunjukin ekspresi takut kepada orang lain.   Baiklah...   Loe masih tenang seperti ini, justru makin membuat gue akan melakukan sesuatu yang gak bakal loe lupain. “Mau sekarang, atau nanti aja, Mba?” Eh! Maksud dia apaan? “Maksud loe?” “Kan, tadi mba nya nyuruh ganti.” “Cuih! Emang loe tau berapa harga perbaikannya nanti?” tanya gue, bukan meremehkan sih! Tapi, kalo dia sok-sok an ingin menggantinya. Takutnya, dia bakal kecewa setelah mengetahui berapa harga yang harus ia bayar. Loe punya apa? Motor doank? Halah! Paling juga, loe bakal jual tuh motor tuk biayai kerusakan mobil gue. “Mba... Mba!” eh dia manggil gue yah? Gue sepertinya sempat melamun deh! Maka gue kembali memandangnya. “APA?” “Jadinya gimana?” “Gimana apanya?” “Mau mba nya gimana, mau bawa ke bengkel sekarang atau?” tanya tuh cowok. “Hmm, emang loe punya duit berapa?” Oops! Kelepasan juga gue euy! Gue sengaja tak mengalihkan pandangan gue darinya.   Kemudian, dia pun mengangguk dengan ekspresi yang masih sangat tenang. Ada yah! Laki-laki di dunia ini, seperti dia. Eh ada ding! Kak Oki, kan ekspresinya selalu seperti tuh cowok. Tapi kan, Kak Oki beda ma dia. “Kalo untuk membayar biaya kerusakan mobil mba, ada sih!” bedeh! Sombong juga nih cowok. Lalu gue tersenyum kecil, seperti menunjukkan jika sebetulnya gue meremehkan apa yang dia katakan tadi. Takutnya, bakalan jauh dari harapannya. “Maaf mba, sebetulnya aku lagi buru-buru juga.” Kata cowok itu. Dan sekilas, gue melirik ke KTP-nya. Namanya Reno, dan tahun kelahirannya hanya selisih setahun dengan gue. Gue melipat dua tangan di d**a, dia masih saja menatap gue. “Jadi maksud loe, mau kabur gitu aja... Iya?” “Maaf mba, bukan seperti itu... Kan, tadi aku sudah bilang. Akan membiayai semuanya.” Gue geleng-geleng kepala, masih heran dengan dia. Apa iya, dia gak bisa lihat gue pake mobil apa? Dia kira, mobil gue mobil kaleng-kaleng apa? “Begini mas... Reno! Nama loe Reno kan?” “Iya mba.” “Loe paham gak sih, berapa biaya yang harus loe keluarin?” “Gak!” Et dah! Simple banget jawabannya.   Gue menyeringai dihadapannya. “Nah, kalo loe gak tau... sekarang gue kasih tau...” “Terus?” “Mobil Audi, bukan mobil sembarangan yah! Itu pertama... dan kedua, loe kira... biaya perbaikannya bakalan murah gitu?” “Terus?” “WOI! Arhhhhh..” gue mengerang, gimana tidak. Siapa coba yang gak emosi, orang lagi ngomong baik-baik. Eh dia malah teras terus, seakan-akan ngejekin gue. Mana lagi, ekspresinya sama sekali aneh. Gak ada senyuman, dan juga gak ada ketakutan tergambar di wajahnya. “Kenapa teriak mba?” Gue mengepalkan kedua tangan gue. Lalu menatapnya penuh amarah. Gue gak peduli, yang jelas gue di buat benar-benar emosi. “Mba... aku buru-buru nih.” “BIARIN!” hardik gue. “Dasar Cewek aneh!” WHAT!!! Bentar. Dia bilang apa tadi? Cewek aneh? “APA LOE BILANG?” “Cewek aneh!” FAK! Gue yang gak tahan, segera melayangkan tangan kanan ke arah wajah dia.   PLAK!!! Rasain tuh. Gue tampar sekeras-kerasnya wajah Reno. Gue melihat, dia hanya diam saja. Kemudian, dia kembali memandang ke gue. “Sudah?” kata dia. “Eh!” Kenapa dia gak protes? “Atau masih belum cukup? Jangan sampai, aku yang membalasnya.”   “Eh!” tiba-tiba, tubuh gue merinding mendapati tatapan darinya. Bener-bener sangat susah di baca pikiran Reno. Serius, tatapannya tajam membuat gue agak gentar sih. Tenang! Gue gak habis akal. Maka, gue maju makin memepet ke tubuhnya. “Loe tau gak... siapa gue?” “Gak!” “Makanya gue kasih tau, gue Lidya... Lidya Wijaya.” Eh! Dia diam saja. “Loe kenal Pak Wijaya?” “Iya... kenal!” kata dia lagi. “Kamu masih ingin ngelawan gue?” “Yang mau lawan mba, siapa?” tanya dia. Bener juga yah! Duhh Lidya, kenapa sih loe jadi aneh berhadapan dengan nih cowok?   Mungkin, sekarang gue gak akan nagih ke dia. Tapi, gue bakal tetep nahan KTP ma SIM dia. Mungkin, gue akan balas ke dia, pas ada Kak Oki. Biarin saja, dia di gebukin ma kakak gue. Gue gak peduli.   “Loe buru-buru kan?” “Iya” “Ya sudah... sana gih, pergi aja.” “Terus gimana biayanya mba?” “Sini, nomor HP loe mana... KTP ma SIM loe, gue tahan dulu.” Kata gue, sambil memasukkan KTP beserta SIM Reno ke dalam tas gue. Yang anehnya, dia gak protes. Siapa coba yang gak keki, berhadapan dengan cowok seperti dia? “Ya sudah... aku akan hubungi nomor mba.” Kata dia. “Gak! Gue yang akan hubungi elu. Sini nomor HP loe.” Kata gue membalasnya. “Oke! Kosong delapan-“ Gue pun mengambil ponsel gue dari tas, lalu menekan angka yang ia sebutkan tadi. Segera gue save setelah ia menyelesaikan menyebut nomor ponselnya. “Oke... nanti gue hubungi loe. Sana... sana, pergi sana.” “Ok” Eh dia malah main pergi gitu aja. Arhhhhhhh! Kenapa juga, gue jadi kaku seperti ini? Berasa sangat susah gue berteriak memanggilnya untuk segera berhenti. Makin lama, ia telah meninggalkan gue dengan menggunakan motornya tadi. Terus, gue mesti gimana donk sekarang?   Entahlah! Mending, gue diemin dulu. Tunggu, sampai gue ketemu ma Kak Oki, baru gue ngajakin dia ketemuan. Kalo dia gak mau, bakal gue laporin ma anak buah kak Oki. Biar dia di cari, terus di gebukin deh. Hahahahahahaha! Tunggu aja, pembalasan gue. Reno Januarta. Yap! Itulah nama panjang yang tertera di KTP beserta SIM nya tadi. Setelahnya, gue lalu kembali ke mobil, dan menjalankan mobil menuju ke kampus.     ~•○●○•~   POV Reno   Akhirnya, bisa lepas juga ma tuh cewek aneh tadi. Aku sih gak peduli dia mau marah, ngamuk-ngamuk atau sampai nampar tadi. Lagian tamparannya gak sakit. Putri dari Pak Wijaya! Dia pikir, aku takut mendengar nama ayahnya? Untung saja, aku gak berlama-lama disana, kalo gak! Gak tau deh, akan seperti apa setelahnya. Yang jelas, jika ada yang merusak acaraku di setiap hari senin kayak gini, maka jangan sebut nama Reno Januarta kalo tidak memberikan pelajaran kepada orang-orang itu. Dia menahan KTP beserta SIM ku, dan juga sudah mendapatkan nomor ponsel lainku. Aku sih menunggu, kapan dia mau bertemu denganku lagi. Aku akan siap kapan pun.   Setengah jam lamanya, akhirnya aku telah tiba di depan sebuah gedung bertingkat 5. Kantor Pak Edward. Aku masuk melalui pintu gerbang, dan mendapati dua security yang langsung berdiri dengan sigap dan memberikan tatapan tajam ke arahku. Dari ekor mata, aku sempat melihat tangan kanan mereka sedang bersembunyi di belakang. Hmm! Aku tau, mereka sedang memegang apa di belakang baju mereka. Setelah memarkir motor, aku berjalan dengan sikap biasa saja. Tak memperdulikan dua pasang mata yang masih saja memperhatikan gerak-gerikku. Aku sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan seperti ini dari mereka berdua. Maka aku tiba di lobby, mendekati meja resepsionis. Tak ada senyuman, tak ada sapaan yang ku dapatkan dari dua resepsionis yang beranjak berdiri saat mengetahui kedatanganku. Dua tangan mereka telah berada di bawah meja, aku tau mereka sedang memegang apa. Hahahahaha! Tenang aku sudah terbiasa dengan sikap kalian. Tanpa permisi, ku langkahkan kaki menuju ke lift yang akan mengantarku naik ke lantai teratas.   Saat tiba di lantai teratas, aku keluar dari lift dan mendapati ruangan bersekat di lantai tersebut. Beberapa kepala, yang mengetahui kedatanganku, sedikit terangkat dan terlihat dari balik sekat-sekat itu. Sepertinya, mereka memandang ke arahku. Dan tampak kesiagaan dari semua orang yang berada di lantai ini.   Saat berdiri di pintu ruangan Direktur Utama, aku mengetuk. Suara pemilik ruangan, terdengar dari dalam. Mengatakan ‘Masuk’. Maka aku membuka pintu, kemudian melangkah masuk ke dalam.   “Reno...” gumam Pak Edward. Pemilik ruangan ini. Dialah Pak Edward. Tatapannya tajam, rambutnya telah beruban, menggunakan kaca mata. Namun tetap tak mengurangi aura negatif darinya. “Duduk!” lanjut Pak Edward mempersilahkan aku untuk duduk di hadapannya. “Baik Pak!” “Gimana kabar?” Pak Edward bertanya, meskipun aku tau dia pastinya mengetahui keseharianku seperti apa. “Seperti biasa Pak Edward... Baik-baik saja,” jawabku kepadanya. Dia menyeringai, dan ekspresinya masih saja seperti biasanya. Sangat dingin, jika berpandangan dengan orang-orang yang se-profesi denganku. “Yunita gimana?” “Baik juga Pak.” “Oke!” kata Pak Edward simple. Dan dia mengangguk-nganggukkan kepalanya pelan, yang tak mampu aku ketahui apa maksud dari anggukannya itu. Dan apa, yang akan ia katakan selanjutnya.   Satu-satunya orang, yang sangat aku segani. Dan sangat susah aku tebak, apa yang ada dalam pikiran pria itu.   “Saya ingin, kamu berkuliah!” Lah? Aku mengernyit. “Kenapa bapak menyuruhku untuk berkuliah?” “Kamu gak mau?” Tatapannya menjadi tajam kepadaku. Sepertinya, ia menebak dari ekspresiku yang seakan ingin menolak permintaannya. Aku pun menggelengkan kepala, sambil membalas tatapannya. Ia pun meredakan tatapan tajamnya kepadaku, kemudian sekilas dari ujung bibirnya, terlukis senyuman tipis. “Kamu gak akan menyesal, jika kamu melanjutkan kuliah, Reno!” kata dia. “Baiklah Pak... aku gak akan, menolak! Tapi, aku harus tau di awal... kampus tempatku kuliah nanti.” “Ohh tentu saja, kamu akan saya kuliahkan di Universitas Blue Ambarawa.” Hmm, kampus yang paling terkenal di ibu kota rupanya.   “Oke Pak... Reno setuju.” “Good! Persiapkan diri kamu... Minggu depan, kamu sudah harus berada di kampus tersebut.” “Baik Pak...” “Oke cukup... silahkan kembali ke aktivitas kamu!” Hufhh! Hanya sebentar saja, Pak Edward memberikanku waktu bersamanya. Dan aku gak permasalahkan hal itu. Karena memang aku sudah terbiasa dengan sikap dingin Pak Edward. Bayangin sejak aku berumur 3 tahun, sudah tinggal dengannya. Dan memutuskan untuk keluar dari rumah Pak Edward, saat aku lulus SMU dulu. Saat aku mulai diberikan pekerjaan oleh Pak Edward. Pak Edward pun tak mempermasalahkan keputusanku itu, dan jauh dari dalam hatinya, aku mengetahui jika ia tak akan pernah melarang keputusanku untuk meninggalkannya, dan memilih untuk hidup mandiri. “Baik Pak Edward... Reno permisi dulu.” “Oke...”   Aku lalu beranjak dari duduk, dan melangkah meninggalkan Pak Edward yang sepertinya masih memandangku dibelakang.     Still Continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN