Part 2

2937 Kata
“Assalamualaikum.” Azzura menekan kembali bel yang ada di depannya dan kembali mengetuk pintu rumah bercat krem tersebut. Ini sudah ke 3 kali ia mengucap salam, kalau sekali lagi ia tak kunjung dibukakan pintu, maka ia akan pergi. Begitu keputusan Azzura. Baru akan mengucap salam untuk keempat kalinya, pintu yang ada di hadapan Azzura terbuka dan menampilkan Bu Astrid yang sangat cantik meskipun umurnya sudah melewati setengah abad.“Eh, Azzura udah datang. Maaf, ya, tadi Ibu lagi siap-siap,” ujar Bu Astrid membukakan pintu dengan lebar dan mengisyaratkan Azzura untuk masuk. Azzura mencium punggung tangan Bu Astrid. “Oh iya Bu, enggak apa kok,” ucap Azzura lalu membuka sepatu dan meletakannya di tempat sepatu seperti yang diberitahu oleh Bu Astrid tadi. “Duduk di sini sebentar, ya, Rayhan-nya belum pulang,” ujar Bu Astrid. “Iya, Bu,” balas Azzura. Azzura kini duduk di ruang tamu, mata Azzura menjelajahi setiap sudut ruangan. Menurutnya, rumah ini sangat sederhana meskipun bertingkat. Azzura menoleh ke belakang, dari sini ia bisa melihat Bu Astrid yang sedang sibuk berkutat dengan masakannya yang hampir jadi. Lalu, kepalanya mendongak ke samping kanan di dekat tangga, ia melihat dua buah kamar begitu pula di kanan atas. Sebelum ke sini, sebenarnya ada yang ia lupa tanyakan pada Bu Astrid. Perihal anaknya, apakah dia sudah tau kalau akan dijodohkan dengan Azzura? “Maaa, Rayhan pulang!” teriak seseorang, entah kenapa tiba-tiba Azzura menegakkan badan dan tatapannya lurus menghadap televisi yang mati dan menampakan pantulan dirinya juga seorang lelaki yang sedang membuka sepatunya yang berada di dekat pintu. “Kamu tuh salam kek masuk rumah, malah teriak-teriak!” ujar Bu Astrid sambil menata masakannya di atas meja. Rayhan bukannya menjawab, malah melihat ke arah kirinya yang mana di sanalah Azzura duduk memperhatikan Rayhan melalui pantulan dari televisi yang mati meskipun tidak jelas seperti apa rupa Rayhan. “Bersihin badan kamu, abis itu mama mau ngenalin kamu sama Azzura.” Rayhan pun mengangguk lalu naik ke lantai atas dan memasuki salah satu ruangan di rumah ini, sudah bisa dipastikan itu kamarnya. “Azzura, kita ke meja makan duluan, yuk” ajak Bu Astrid pada Azzura untuk menuju meja makan. Azzura bangkit dari duduknya lalu tersenyum pada Bu Astrid dan mengikuti langkah beliau menuju meja makan. Setelah itu, Bu Astrid mengambilkan makanan untuk Azzura. Tak lama Rayhan sudah keluar dari kamar dengan menggunakan kaos oblong dan celana pendek sedikit di atas lutut. Lalu ia pun mengambil duduk di hadapan Azzura. Azzura menatap Rayhan sekilas lalu menutup mata, ia merasa perutnya sangat mulas karena terlalu gugup. Apalagi melihat Rayhan yang wajahnya sungguh tidak mempunyai ekspresi, terkesan dingin. Mereka makan dalam diam, saat Rayhan sedang menambah nasinya, Bu Astrid mengangkat suara. “Oh iya Han, ini yang namanya Azzura,” ucap Bu Astrid. Sebelumnya Bu Astrid memang sudah memberitahukan kepada Rayhan perihal Azzura yang akan menjadi 'kandidat' calon istrinya. Rayhan sudah tidak kaget lagi memang, kalau ibunya itu akan membawa seorang gadis ke rumahnya sekali sebulan hanya untuk berkenalan dengan Rayhan. Tujuannya sudah pasti supaya Rayhan menikah dan berubah karena ia mempunyai tanggung jawab. Namun, usaha Bu Astrid selalu sia-sia. Rayhan punya 1001 cara supaya sang wanita tidak mau dan membatalkan perjodohan. Terakhir kali, ia harus berakting menjadi lelaki gay dan alhasil sang calon menolak untuk dijodohi. Pintar bukan? Seketika Rayhan menoleh ke arah Azzura lalu mamanya, begitu seterusnya sampai tiga kali, Rayhan mengambil sebuah paha ayam goreng dan meletakannya di piring. “Becandaan Mama garing,” ucap Rayhan melanjutkan makanan piring keduanya. “Mama enggak bercanda,” ucap Bu Astrid kalem sambil mengunyah makanan. Rayhan menghentikan makanannya dan menatap Azzura. “Dia masih bocah, Ma!” Azzura yang dikatakan bocah tentu saja tidak terima dan berdeham tidak terima. Rayhan menatap Azzura tidak suka dengan dehaman itu. Azzura hanya menatap Rayhan tanpa ekspresi. “Aku tetap enggak mau nikah sama bocah!” ucapnya datar. “Maafin Rayhan, ya, Azz, dia suka begitu sama orang baru. Susah adaptasi.” Azzura hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, tetapi hatinya sungguh kesal karena dikatai bocah. “Kamu tetap enggak bisa nolak, semuanya sudah Mama persiapkan. Kalian akan menikah seminggu lagi.” Azzura terperangah. Ini sungguh di luar perkiraanya. “Seminggu lagi?” tanya Rayhan tak percaya, Bu Astrid mengangguk lalu menatap Rayhan yang sedang menatap Azzura. Ia sedang berpikir, rencana apa yang harus ia lakukan untuk perempuan seperti dia? “Eh bocah, kamu umur berapa?” tanya Rayhan sambil menatap piringnya sedikit bingung karena memiliki dua buah paha ayam goreng.  Azzura belum menjawab pertanyaan Rayhan karena ia sedang makan. Menurutnya, berbicara sambil makan tidak ada sopannya sama sekali. Rayhan yang tidak mendapat jawaban mengangkat sebelah alisnya, lalu menatap Bu Astrid. “Budek?” tanya Rayhan pada Bu Astrid. Bu Astrid memukul tangan Rayhan karena berbicara asal. “18 Tahun, Pak,” jawab Azzura santai setelah ia menghabiskan makanannya.  Rayhan menatap Azzura sambil mengerutkan kening. “Pak? Kamu pikir saya setua itu?” Azzura hanya memutar bola matanya kesal. “Anda menyebut saya bocah. Terus? Apa salahnya kalau saya memanggil Anda, Pak? Enggak mungkin saya memanggil nama,” jawab Azzura lembut, tetapi tak acuh. “Abisin makan kamu Han, jangan debat dulu,” ucap bu Astrid. “Intinya aku enggak akan menikah sama dia seminggu lagi.” Rayhan meneguk air putih yang berada di dekat tangan kirinya. “Kamu yakin?” tanya Bu Astrid tampak bersemangat. Melihat itu, Azzura dan Rayhan memandang Bu Astrid dengan tatapan aneh. “Bangetlah, Ma!” jawab Rayhan cepat. “Berarti kamu mau pernikahannya besok? Oke, permintaan terkabul.” Bu Astrid kegirangan. “Besok, Bu?” tanya Azzura terperangah. Bu Astrid mengangguk sambil tersenyum. “Ma!” seru Rayhan memelas lalu ia menghela napas sebentar.  “Sedangkan cewek yang udah mateng aja aku enggak mau, Ma, ini lagi masih bocah,” ujar Rayhan menatap Azzura yang juga menatapnya dengan tatapan tak suka. “Apa sih yang Mama liat dari dia? Biasanya juga Mama nyuruh aku pdkt dulu,” ucap Rayhan lalu menyandarkan dirinya di sandaran kursi. Rayhan sudah selesai makan, begitu pula dengan Bu Astrid dan Azzura. “Kalau gak kayak gini, kamu pasti bakal bikin ill-feel calon kamu lagi dan alhasil gak akan pernah move on dari Sania. Sampai kapan? Mama cariin kamu istri supaya kamu itu ....” “Punya tanggung jawab dan berubah,” ujar Rayhan memotong ucapan Bu Astrid. “Ini hidup aku Ma, pernikahan bukan suatu hal main-main bagi aku. Aku juga gak ingin kejadian enam bulan lalu terulang lagi,” ucap Rayhan menatap Bu Astrid. Azzura sedari tadi hanya melihat, sangat jelas dari nada bicara Rayhan bahwa kejadian enam bulan lalu itu adalah kejadian yang sangat menyakitkan baginya. Tak ada yang berbicara selama beberapa menit, Azzura yang juga tidak tahu harus apa, hanya memainkan kukunya. “Ekhm, kamu masih sekolah?” tanya Rayhan sedikit berdeham untuk menghilangkan perasaan canggung yang diciptakannya beberapa menit lalu. “Masih,” ucap Azzura sambil menunduk, karena kini dia memikirkan nasibnya jika pria di hadapannya ini menolak untuk menikahinya. “Maaa? See? Dia aja masih sekolah!” Protes Rayhan tidak percaya, mamanya benar-benar menjodohkannya dengan bocah. Rayhan bertanya-tanya dalam hati, apa yang dipikirkan oleh mamanya sampai-sampai menjodohkannya dengan bocah yang ada di hadapannya ini? Sedangkan wanita yang dewasa saja ia tak mau, lalu apa ini? Menikahi seorang bocah? *** Kini Rayhan sedang mengemudikan mobil dimacetnya Kota Jakarta demi mengantarkan seorang gadis yang ‘kata ibunya’ adalah calon istrinya. Awkward adalah suasana yang menggambarkan bagaimana keadaan di dalam mobil saat ini. Setelah 20 menit perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di parkiran rusun yang Azzura tempati. Saat Azzura akan keluar dari mobil, Rayhan mencekal tangannya. Azzura kembali terduduk dan Rayhan pun melepaskan tangannya. “Saya mau nanya satu hal sama kamu,” tanya Rayhan tanpa menatap Azzura. “Apa?” tanya Azzura menatap Rayhan. “Apa tujuan kamu mau menerima perjodohan ini? Saya yakin kamu pasti belum mau menikah diumur yang masih belia seperti ini,” ujar Rayhan, Azzura terus menatap Rayhan yang tampak akan mengatakan sesuatu lagi. “Apa karena saya kaya?” tanya Rayhan santai, Azzura mengerjapkan matanya tidak menyangka akan pertanyaan Rayhan. “Maksud Anda, saya penggila harta. Begitu? Maaf Tuan Rayhan Pangestu yang terhormat. Saya memang miskin, tapi saya bukan tipikal seperti itu.” “Makasih tumpangannnya.” Azzura membuka pintu mobil lalu menutupnya dengan kasar. Rayhan terus memperhatikan Azzura yang berjalan menjauh. Rayhan yang mendengar penuturan Azzura tak lantas mempercayai ucapan itu. Pasalnya, dia selalu bertemu dengan wanita yang hanya menginginkan hartanya saja. Anggaplah Rayhan sombong, tetapi memang itu kenyataannya. *** Rayhan memarkirkan mobilnya di dalam garasi setelah itu ia masuk ke dalam rumah dan memanggil Bu Astrid dengan berteriak. Kebiasaannya memang. “Mama ...?” Rayhan berteriak sepanjang rumah untuk menemukan Bu Astrid, tetapi hasilnya nihil.  Tadi, sehabis pulang mengantar Azzura, Rayhan berencana untuk ke club. Namun, ia memutuskan untuk membicarakan masalah perjodohan konyol yang direncanakan mamanya terlebih dahulu. Entah ini perjodohan ke berapa, yang jelas ini adalah perjodohan teraneh baginya. Karena tak kunjung menemukan Bu Astrid, Rayhan memilih duduk di atas sofa lalu menghidupkan televisi. Saat sedang mengganti channel TV, Rayhan merasakan hidungnya mencium bau gosong. Ia pun menoleh ke belakang, tetapi ia tidak melihat Bu Astrid sedang memasak. Rayhan beranjak dari duduknya untuk melihat masakan yang gosong tersebut. “Mama masak apaan sih kok ....” Rayhan tak sempat meneruskan kata-katanya karena ia melihat Bu Astrid tergeletak pingsan di dapur. “Mama!” pekik Rayhan lalu menghampiri Bu Astrid dan membawa kepala Bu Astrid ke pangkuannya. Tak lupa, Rayhan mematikan api kompor yang sudah berwarna merah karena terkena kuah santan yang melimpah. “Ma? Mama!” ucap Rayhan sangat panik lalu mengambil ponselnya dan menelpon Ryan. “Assalamualaikum Han, kenapa?”  “Mas masih di rumah sakit, 'kan? Aku on the way ke sana. Mama pingsan.”  “Astaghfirullah, ya udah kamu bawa ke sini cepat!”  “Iya. Waalaikumsalam.”  Rayhan menutup ponselnya. Lalu, ia menggendong Bu Astrid ke dalam mobil, setelah itu Rayhan menjalankan mobilnya menuju rumah sakit. Setelah sampai, Rayhan segera memanggil suster untuk membawa brangkar setelah itu mereka membawa Bu Astrid menuju ICU. Rayhan menunggu di ruang tunggu dengan gelisah. “Rayhan,” panggil seseorang, Rayhan menoleh ke samping kiri yang mana orang tersebut berada. Ternyata Mbak Laras, istri Mas Ryan alias ipar Rayhan. “Eh Mbak, Mas Ryan-nya mana?” tanyanya sambil mencari keberadaan Ryan. “Mas Ryan bentar lagi nyusul, dia tadi ada pasien,” jawab Laras lalu duduk di kursi ruang tunggu, Rayhan mengangguk paham dan ikut duduk di samping Laras. “Gimana keadaan Mama?” tanya Laras sambil menatap Rayhan yang sangat gelisah. “Belum tau Mbak,” jawab Rayhan lalu menyandarkan tubuhnya. Sempat tak ada perbincangan di antara Rayhan dan Laras, sampai akhirnya Laras mengeluarkan suara. “Mama bilang kalau malam ini kamu ketemu sama calon istri kamu, kalau gak salah namanya Azzura, ya? Dia gimana?” tanya Laras. Rayhan menaikan sebelah alisnya sambil menatap Laras. “Mbak tau?” Bukan tanpa alasan Rayhan bertanya seperti itu. Pasalnya, hubungan antara Bu Astrid dan Laras kurang akrab, karena mengingat Laras yang belum bisa memberikan cucu. “Iya, tadi siang Mama nelpon Mba. Keliatannya Mama seneng banget kalau kamu bisa nikah dengan Azzura itu,” jawab Laras, Laras melirik Rayhan yang mengusap wajahnya kasar, ia yakin Rayhan pasti tidak mau menerima perjodohan ini. “Aku belum siap untuk menikah Mbak, Azzura juga masih terlalu belia bagiku. Lagi pula, aku takut salah pilih seperti dulu,” jawab Rayhan sambil menerawang. “Kamu pikirin baik-baik aja dulu. Demi Mama,” ujar Laras, ia sudah tahu apa yang terjadi pada Azzura sehingga mau menikah dengan Rayhan. Rayhan menghela napas lalu menutup matanya.  “Dan Mbak harap kamu bisa nerima Azzura.” Rayhan tak menjawab apa pun, tak lama kemudian dokter keluar dari ruangan dan menghampiri Rayhan dan Laras. “Bu Astrid sudah bisa dibesuk. Beliau hanya kurang istirahat, dan juga kekurangan darah merah.”  “Oh iya Dok, kalau gitu makasih, ya,” ucap Laras, sedangkan Rayhan hanya mengangguk lalu berjalan menyusul Laras yang sudah berada didalam ruangan. Belum sampai Rayhan tiba di dekat ranjang Bu Astrid, Ryan masuk ke dalam ruangan. Rayhan menatap Ryan lalu matanya beralih pada Bu Astrid yang memakai infus. “Apa kata Dokter?” tanya Ryan. Rayhan pun menjelaskan keadaan Bu Astrid padanya, tak lupa Rayhan juga menceritakan kronologi ia menemukan Bu Astrid. Ryan menarik adiknya itu untuk duduk di ruang tunggu saja. Lama mereka berbincang, lalu Ryan pun juga ikut-ikutan bertanya tentang Azzura. “Mas sama Mama itu enggak capek apa, ya, jodohin aku terus? Sama si A-lah sama si B-lah. Mereka semua enggak ada yang cocok sama aku. Enggak ada yang bisa ngertiin aku, Mas,” ujar Rayhan pelan, Rayhan menghela dan mengembuskan napas kasar begitu pula dengan Ryan. “Kenapa? Kamu mau jawab lagi karena kamu belum nemuin yang baik kayak mantan kamu itu?” tanya Ryan lumayan tersulut emosi jika mengingat alasan Rayhan yang sudah-sudah. “Kalau dia cinta, sayang, dan baik. Dia enggak akan ninggalin kamu demi laki-laki lain, Han!” Rayhan menatap lurus ke depan. Sejujurnya Ia hanya belum bisa membuka hatinya lagi untuk sekarang. “Han, berhenti cari orang yang bisa ngertiin kamu, tapi mulai cari orang yang bisa kamu ngertiin dan tanpa kamu minta dia pasti akan ngertiin kamu balik,” ujar Ryan, Rayhan menatap Ryan yang duduk bersandar di sebelah kiri. Pikirannya kembali pada enam bulan lalu. Rayhan membuka kotak cincin berbentuk hati itu lalu menatapnya lamat-lamat, setelah itu ia menutupnya kembali dan memejamkan matanya. Ia gugup. Drt Drt Drt Rayhan melirik ponselnya yang bergetar, Rayhan tersenyum saat tau bahwa itu adalah pesan dari ibunya. Semangat, ya. Mama tau dari mas kamu. Kenapa kamu gak kasih tau Mama?              Hehe Mama udah tau, ya, padahal aku mau kasih kejutan buat Mama. Ya udah, semangat menaklukan duniamu. Dan cepat balik ke sini.              Iya Ma, dua hari lagi aku pulang. Ok hati-hati di sana. Rayhan tersenyum, lalu memasukan ponselnya ke dalam kantung celananya. Hari ini ia akan melamar sang pujaan hati yang sudah ia pacari selama lima tahun. Tepatnya sejak kelas tiga SMA. Sania Putri Wicaksono, perempuan yang sangat ayu dan pintar di mata Rayhan. Dewasa dalam bersikap dan sosok keibuan. Rayhan tersenyum mengingat gadis ayu itu dan kembali melihat kotak cincin tersebut sembari menunggu Sania datang. Rayhan bersandar di besi pembatas jembatan Henderson Waves, jembatan yang populer dan wajib menjadi destinasi jika berkunjung ke Singapore. Rayhan kembali menghela napas untuk yang ke sekian kalinya. “Mas Rayhan ...,” panggil seorang gadis. Rayhan menoleh, dan dia bukan Sania. Rayhan mengernyit dan mencari keberadaan Sania. “Eh? Hai Yass,” sapa Rayhan lalu tersenyum pada Tyass. Tak ada yang mengeluarkan suara selama beberapa menit, sampai akhirnya Rayhan membuka suaranya kembali. “Kakak kamu mana?” tanya Rayhan pada gadis yang mempunyai penampilan berbanding terbalik dengan Sania. Jika Sania itu ayu dan sangat feminim, beda halnya dengan Tyass yang terkesan tomboi. Gadis itu tersenyum lalu berjalan mendekati Rayhan, ia masih belum tau kalimat seperti apa yang harus ia gunakan untuk memberitahu Rayhan keberadaan kakaknya. Rayhan membalas senyuman itu meskipun ia heran,mengapa adik dari kekasihnya itu berada di Singapore. Ini bukan libur semester ataupun weekend. “Mas udah lama di sini?” tanya Tyass basa-basi, sebenarnya Tyass sudah berada di sekitar Rayhan sejak satu jam yang lalu. Rayhan tersenyum lalu mengusap lengannya sambil menatap langit yang tak berbintang karena tertutup awan mendung. “Belum, sih,” jawab Rayhan berbohong lalu memasukan kedua tangannya ke dalam kantung celana. Kalau tau akan sedingin ini, ia pasti akan memakai jaket. Cukup lama mereka terdiam, sampai akhirnya Tyass berdehem sedikit untuk meregangkan tenggorokannya. Ia harus menuntaskan semua ini sekarang. “Kak Sania nitip ini, Mas,” ujar Tyass dengan nada menyesal memberikan sebuah undangan berwarna hitam dengan hiasan emas di sekelilingnya. Rayhan mengernyit sebelum mengambil undangan itu, jantungnya berdetak sangat cepat melihat nama yang tertera dalam undangan tersebut. Rangga Adipta Pratama dan Sania Putri Wicaksono Rayhan menatap datar undangan tersebut dan mulai membukanya. Pernikahannya akan diadakan dua minggu dari sekarang. Rayhan mengeluarkan cincin tadi lalu menatapnya sebentar, Rayhan tersenyum miris dan mengeraskan rahangnya. Rayhan tidak perlu bertanya ini undangan apa, apa maksudnya dan pertanyaan dramatis lainnya. Ia sudah tahu kalau itu adalah undangan pernikahan. “Makasih udah undang saya, dan tolong kasih cincin ini buat Sania,” ujar Rayhan memberikan cincin itu pada Tyass yang sudah hampir meneteskan air matanya. Tyass tau ini menyakiti perasaan Rayhan, tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tyass mengambil cincin itu, terdengar helaan napas yang bergetar dari Rayhan “Mas?” panggil Tyass, Rayhan memasukan kembali tangannya ke dalam kantung celana dan menoleh menatap Tyass yang melihatnya iba. Rayhan benci ditatap seperti itu “Tolong kirim salam sama kakak kamu, dan saya usahakan untuk datang ke pernikahannya.” Rayhan berjalan meninggalkan Tyass yang sudah menangis. Bagaimanapun juga, Rayhan sudah seperti keluarganya sejak Sania memperkenalkan Rayhan sebagai kekasihnya. Lima tahun lalu. Rayhan terus berjalan tanpa tujuan, harusnya malam ini adalah malam yang indah baginya. Namun, terkadang kenyataan tidak seindah ekspektasi. Rayhan berhenti berjalan dan duduk di salah satu kursi taman, ia melihat banyak orang berlalu lalang. Rayhan menghela napas. Dadanya sesak dan sakit, jika ada kata melebihi dari kata sangat teramat sakit hati, Rayhan akan menggunakan itu. Rayhan menegakan kembali tubuhnya dan duduk bersandar, hujan sudah mulai turun tetapi dirinya masih enggan untuk beranjak dari sana. Tak lama kemudian, hujan turun sangat deras. Dingin sekaligus sakit terasa di kulitnya karena hujan yang menimpa. “Aku tetap belum mau nikah, Mas. Lagian apa sih yang dilihat Mama dari dia? Bocah, bahkan dia masih sekolah Mas, bayangin!” ucap Rayhan lalu mengembuskan napas kasar. “Tapi seberapa kuat usaha kamu buat nolak, kali ini Mama akan maksa kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN