15. Kamu adalah milikku

1286 Kata
Pagi itu seharusnya menjadi hari yang damai untuk Lania dan Vino dengan akting luar biasa mereka di hadapan sang kakek. Namun, jangankan bersikap tenang saat ini. Lania dan Vino justru terlihat sangat canggung. Sejak keduanya keluar dari kamar mereka dengan raut wajah yang sulit di tebak. “Ah, apa yang harus aku lakukan. Rasanya canggung jika melihat Lania seperti ini!” Vino yang masih mengingat segala perbuatannya itu tidak mampu untuk menatap wajah Lania. Ia terus memalingkan pandangannya setiap kali mata Lania dan Vino bertemu. Begitu pula dengan Lania, sikapnya juga tidak jauh berbeda dengan Vino. Lania kerap menghela napasnya dengan kasar setiap kali pandangan mata mereka bertemu. Membuat sang kakek atau pun Vino sendiri tidak mengerti apa yang mungkin ada di dalam pikiran Lania. “Apa aku salah bicara?” “Tidak seharusnya aku mengatakan bahwa aku tidak membenci perbuatan itu.” Faktanya, Lania saat ini hanya tenggelam dalam sedikit sesal di hatinya. Ia kepikiran dengan ucapannya sendiri. Sesuatu yang menjadi kode bahwa Vino sebenarnya bisa melakukan apapun pada dirinya sebagai suami. Termasuk untuk memberi nafkah batin untuk Lania. “Kenapa aku mengatakan hal itu?” “Aku kesurupan apa sampai berani berkata seperti itu.” Selama ini, Lania menghela napasnya yang kasar dan dalam setiap kali ia memikirkan tentang ucapannya sendiri yang ternyata sama sekali tidak dipahami oleh Vino. Vino tampaknya tidak sadar bahwa Lania sudah memberikannya sebuah lampu hijau untuk beraksi. Tidak ada yang pernah menduga jika akan ada hari tak terduga yang terjadi diantara Lania dan juga Vino. Keduanya terlihat canggung dengan wajah merah yang tak bisa dijabarkan. Sebuah pemandangan langka bahkan bagi sang kakek, mencemaskan kondisi cucunya yang terlihat tidak baik-baik saja. “Ada apa ini? Kenapa Lania dan Vino terlihat seperti itu?” Sang kakek menyaksikan cucunya yang selalu memalingkan wajahnya dari sang istri. Membuat kakek berpikir keras tentang apa yang mungkin terjadi. Bahkan, kakek yang sempat mendengar sedikit keributan beberapa waktu lalu sempat ragu apakah mereka sedang bertengkar atau justru sedang berpadu kasih. “Tapi, jika melihat mereka seperti ini, tampaknya mereka sedang bertengkar.” “Apa seharusnya tadi malam aku menghampiri kamar mereka?” “Tadi pagi juga aku mendengar keributan dari kamar mereka!” Resah dengan segala pikirannya, sang kakek merasa menyesal mengabaikan apa yang sempat menjadi kekhawatirannya. Ia takut jika Vino malah bersikap kasar dan membuat Lania membenci Vino. Kakek tidak ingin kehilangan Lania, ia begitu mencintai Lania dan tidak pernah membayangkan bila Vino harus menikah dengan wanita lain selain Lania. Namun, jika ternyata Lania tidak bahagia di sisi Vino. Sang kakek merasakan sesal yang luar biasa. “Apakah aku terlalu egois menikahkan mereka seperti ini?” Semakin kakek melihat keduanya, kakek pun semakin merasakan beban yang luar biasa. Keresahan bercampur penyesalan menghantui dirinya, ia bersungguh-sungguh menyayangi Lania dan hanya berharap tentang kebahagiaan Lania. Tanpa pernah membayangkan jika Vino mungkin akan membuat Lania kecewa. “Sepertinya aku memang salah telah menikahkan mereka.” Jauh di dalam lubuk hati sang kakek. Ia tampaknya semakin menyesali keputusannya itu, ia tidak ingin melihat kondisi Lania yang seperti saat ini. Terlihat murung dengan napas yang berkali-kali ia hembuskan ke udara berserat pandangan matanya yang kosong. Sedangkan Vino malah terlihat acuh dan terus memalingkan wajahnya dari Lania. Menyerah dengan segala rasa putus asa yang melintas di hatinya. Kakek pun akhirnya mencoba menutup mata atas kecanggungan antara Lania dan Vino. Ia ingin berpura-pura tidak tahu bahwa ada sesuatu yang mungkin terjadi pada mereka. Hingga suatu hal yang tak sengaja kakek lihat dan itu justru merebah segala pemikirannya. “Lebih baik kamu minum teh hangat saja untuk pagi ini. Jusnya bisa diminum nanti siang. Teh yang hangat ini juga bisa ikut menghangatkan perutmu. Aku takut kamu masuk angin.” Tanpa ada yang sadar, diam-diam Vino ternyata sudah menyedihkan teh untuk Lania. Ia mencurahkan perhatian itu pada Lania tanpa sedikit pun keributan yang ia buat. Biasanya Vino akan terang-terangan memerhatikan Lania dan terkadang hal tersebut membuat kakek sedikit berpikir, apakah keduanya sengaja memperlihatkan kemesraan mereka agar tidak ada yang mengkhawatirkan mereka atau memang kebiasaan mereka yang selalu heboh itu yang membuat mereka seperti ini. Akan tetapi, setelah menyaksikan wajah merah Vino saat memberikan secangkir teh hangat itu untuk istrinya. Kakek pun bisa menyimpulkan bahwa itu adalah sebuah perhatian yang tulus dari Vino. Lalu, saat kakek melihat Lania yang menerima teh tersebut dengan senyuman hangat yang lembut. Kakek semakin yakin bahwa keputusannya sudah tepat. “Tidak, aku benar-benar telah memilih pasangan yang tepat untuk Vino.” “Aku bersyukur meminta Lania mau menikahi Vino.” Semua itu semakin di perkuat saat sang kakek yang tak sengaja melihat sebuah bekas merah di leher cucunya. Vino yang sedari tadi mencoba menutupi lehernya dengan kerah kemejanya itu sempat tak sengaja terlihat saat menyerahkan gelas tersebut pada Lania. Leher Vino yang merah dan sedikit kebiruan, pipi yang merah, suara yang bergetar dan sedikit gugup serta napas keduanya yang ternyata sama-sama tidak teratur. “Ternyata aku hanya terlalu khawatir.” Kakek pun tiba pada satu kesimpulannya. Saat ia juga tanpa sengaja melihat beberapa bekas kecupan lagi di tengkuk belakang leher Lania. Bekas kecupan yang mungkin tidak Lania sadari karena lokasinya yang sedikit tersembunyi. Baik Lania maupun Vino keduanya memiliki bekas kecupan yang sama di tubuhnya. Bekas merah yang juga bisa dilihat oleh semua orang termasuk sang kakek. Kakek yang menyaksikan itu hanya tersenyum lebar saat sarapan pagi mereka. “Bukankah ini sudah waktu yang tepat untuk aku meminta keturunan dari mereka! Jika melihat mereka yang seperti ini. Aku yakin mereka segera memberikan aku cicit.” Pikiran dari kakek yang sudah terlanjur girang dengan apa yang ia lihat itu membuat sang kakek dengan polosnya meminta seorang cicit pada Lania dan juga Vino. "Vino, bagaimana dengan program hamil kalian?" tanya sang kakek dengan polos. Lania dan Vino tersedak, keduanya saling berbalas pandang. Belum lagi rasa canggung dari keduanya itu reda kini mereka sudah kembali di bingung tentang apa yang harus mereka jawab pada sang kakek. "Semoga aku masih sempat melihat anak kalian nantinya sebelum aku mati!" Baru saja mereka berpikir untuk menjawab pertanyaan kakek tanpa menyinggung sang kakek. Tiba-tiba sang kakek malah sudah langsung mengungkapkan hal yang paling tidak mereka sukai. "Sempat!" Keduanya berteriak lantang sambil memukul meja. Baik Lania maupun Vino, keduanya tak suka jika sang kakek membahas kematian di hadapan mereka. Rasa sayang yang mereka miliki untuk kakek tidak akan sebanding dengan sebuah harapan dari sang kakek. Meski begitu, mereka terus berharap jika kakek akan bisa berumur panjang dan bersama dengan mereka lebih lama. "Kakek pasti akan sempat melihat anak kami. Kakek tenang saja!" Begitulah akhir dari pagi yang masih penuh dengan kejutan. Tekad keduanya yang kompak untuk memberikan cicit pada sang kakek. Niat yang tak akan goyah meski apapun yang akan menghadapi mereka. Selama itu bisa membuat kakek bahagia, tak terkecuali Lania atau Vino pasti akan melakukan dengan baik segalanya. Berkat ungkapan sang kakek itu menjadikan perdebatan yang sebelumnya ada di antara Lania dan vino terlupakan begitu saja dan kesepakatan pun terjalin bagi mereka tentang menggunakan kamar yang sama, demi tercapainya sebuah tujuan baru mereka. "Pokoknya kita harus bisa punya anak secepat mungkin!" Kesepakatan tegas itu dengan mudah terjalin hanya dalam beberapa waktu saja. Hingga keduanya tiba di kantor mereka dan kesepakatan itu tiba-tiba langsung goyah. "Tapi, bukan berarti kamu bisa seenaknya saja di kantor. Kita tetap harus menjaga rahasia pernikahan kita!" Perkataan Lania benar-benar membuat suasana rusak begitu saja. Padahal sebelumnya Vino sudah berharap jika ia bisa seperti pasangan menikah pada umumnya. Jika Vino bisa lebih leluasa bersama dengan Lania tak peduli di rumah, di jalanan, atau malah di kantor. "Lania, bagaimana ceritanya, kamu malah merusak suasana seperti ini?" benak Vino yang akhirnya kembali memutar otaknya untuk membalas perkataan Lania yang langsung merubah segala suasana hatinya kala itu. "Baiklah, pernikahan kita rahasia, tapi di rumah kamu adalah milikku
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN